Perlindungan sosial dimaksudkan untuk meningkatkan daya beli masyarakat berpenghasilan rendah dan meningkatkan konsumsi. Perlindungan Sosial tersebut diberikan antara lain melalui Bantuan Sosial (Bansos), Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa, subsidi listrik dan Program Keluarga Harapan. Pemerintah juga memberikan BLT BPJS Ketenagakerjaan sebesar Rp600.000 untuk karyawan swasta yang mempunyai gaji Rp5 juta/bulan ke bawah.
Namun program bantuan sosial dari pemerintah sempat menuai kritik setelah kemarin Menteri sosial Juliari Batubara terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK terkait korupsi dana bantuan sosial. Bantuan yang seharusnya menjadi stimulus untuk membantu perekonomian masyarkat malah menjadi sasaran korupsi dari pejabat pemerintah. Sehingga menimbulkan persepsi buruk dari publik tentang keseriusan pemerintah dalam menangani pandemi.
Namun sejak awal pembahasanya UU Cipta Kerja sudah mendapat banyak kritik dari masyarakat terutama para tenaga kerja. UU Cipta Kerja dianggap memangkas hak-hak dari buruh dan hanya menguntungkan pengusaha. Selain itu dalam pembahasanya, para buruh merasa tidak dilibatkan sehingga banyak aspirasi yang tidak bisa disampaikan.
Namun  pada akhirnya pemerintah tetap melanjutkan pembahasan dan mengesahkannya menjadi UU pada tanggal 5 Oktober 2020. Pengesahan UU ini mendapat banyak protes dari kalangan buruh dan mahasiswa yang melakukan aksi boikot dan mogok kerja hingga aksi demonstrasi dijalanan dan kantor-kantor pemerintah.
Aksi demonstrasi tentu menyebabkan banyak kerumunan massa dimana banyak yang tidak mengindahkan standar protokol kesehatan dari pemerintah. Bahkan aksi ini berlanjut hingga beberapa minggu kemudian dan mengakibatkan kasus corona meningkat tajam.
Banyak pihak yang menyayangkan sikap pemerintah yang terburu-buru dalam melakukan pengesahan UU Omnibuslaw dimasa pandemi seperti ini, dimana pengesahan UU tersebut malah memantik demonstrasi dari masyarakat yang berakibat pada meningkatnya kasus COVID-19.
Selain itu pemerintah juga melakukan pinjaman luarnegeri untuk membantu mengatasi pandemi dengan penandatanganan kesepakatan hutang dari Jerman dan Australia senilai Rp. 24 triliun. Kebijakan ini turut mendapat banyak kritik karena dianggap menambah beban hutang yang sudah cukup tinggi. Pemerintah mengklaim pinjaman ini diperlukan untuk menutup defisit APBN yang diperkirakan kian melebar hingga 6,34% pada akhir tahun.
Banyak pihak yang juga mempertanyakan tentang penyerapan anggaran penanganan COVID-19 yang masih belum maksimal. Anggaran penanganan Corona masih banyak yang mengendap di Pemerintah Daerah sehingga menyebabkan penanganan pandemi menjadi tidak maksimal.
Per 10 Desember lalu masih ada sekitar Rp. 247 Triliun dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang masih tersimpan di daerah. Ini menjadi ironi dimana ada anggaran yang tidak terpakai dan disatu sisi ada masyarakat yang membutuhkan bantuan dari pemerintah.
Tentu sebagai rakyat Indonesia kita percaya bahwa pemerintah mempunyai komitmen dan tanggungjawab untuk menangani pandemi ini. Namun, pemerintah juga diharapkan maksimal dalam melakukan upaya-upaya pemberantasan COVID-19 dengan tetap memprioritaskan kepentingan masyarakat.