Tiongkok gunakan untuk meredam konflik di kawasan Laut China Selatan dengan berdiplomasi. Terlebih ketika Filipina mengajukan tuntutan terhadap Tiongkok kepada Badan Arbitrase Internasional. Walaupun sebenarnya, Tiongkok tidak akan mengikuti apa pun proses yang akan diadakan oleh Badan Arbitrase Internasional karena menurut pihak Tiongkok, apa yang diajukan oleh pihak Filipina tidaklah berdasar dan para nelayan Tiongkok telah menjamah kawasan tersebut 2000 tahun yang lalu.
Strategi yang akan selaluKonflik ini dimulai ketika Pemerintah Tiongkok mengeluarkan statement jika Laut China Selatan mempunyai potensi besar minyak yang sejumlah 17 miliar ton. Tentunya, dikarenakan hal ini, banyak negara yang ingin merebut kawasan tersebut dengan beralasan kepentingan nasional. Tak terkecuali pihak Tiongkok, dengan mudah, Tiongkok membangun pangkalan laut di kawasan Laut China Selatan; tepatnya di Kepulauan Spratly. Dikarenakan hal tersebut, Tiongkok dikecam berbagai negara Asia Tenggara, namun, dengan kekuatan berdiplomasi, Tiongkok dapat mengembalikan kondisi seperti sediakala; dengan membujuk Laos dan Kamboja untuk tidak memberikan pendapatnya terhadap tindakan agresif Tiongkok pada pertemuan Menteri Luar Negeri pada tahun 2012 dan pada acara APEC yang diadakan di Laos pada tahun 2016.
Dikarenakan untuk memperkuat pertahanan nasional, Tiongkok menolak hasil PCA yang mana akan membuat Tiongkok dicap sebagai negara pelanggar hukum internasional; tentu hal ini juga akan berdampak pada hubungan bilateral antar Tiongkok dan Filipina. Namun, Tiongkok tetap berusaha untuk terus menjaga dan mempertahankan perdamaian serta keamanan negara. Tiongkok menggandeng beberapa negara ASEAN untuk menunjukkan jika Tiongkok tidak menginginkan adanya peperangan dengan negara ASEAN. Kerja sama yang tengah dijalin dengan ASEAN pun dimanfaatkan oleh Tiongkok untuk memudahkan pihaknya dalam kebijakan OBOR.
Tiongkok memberikan penjelasan jika konsep OBOR adalah bagaimana negaranya akan menjadi mitra dagang utama sepanjang jalur sutra bagi stabilitas politik. Tentu dengan hal tersebut, Tiongkok dapat meyakinkan para negara dan membuat seluruhnya bersatu pada kawasan OBOR. Tindakan ini benar-benar membuat negosiasi yang dilakukan Tiongkok untuk kepentingan nasionalnya berjalan dengan sesuai rencana.
Tiongkok mengesampingkan sengketa Laut China Selatan dan tindakannya untuk memperluas ruang lingkup ekonomi-politik dan mulai memperlihatkan hasil atas kerja sama yang telah dibangunnya bersama ASEAN sejak tahun 1990. Dengan OBOR, Tiongkok mampu membuat ASEAN menyetujui ajakannya untuk bergabung di dalam AIIB atau Asian Infrastructure Investment Bank. Dengan berdiplomasi melalui ekonomi, Tiongkok dapat mendapatkan beberapa keuntungan; tidak adanya peperangan yang pecah diakibatkan oleh sengketa Laut China Selatan dan lancarnya strategi pertahanan nasional yang dimiliki oleh Tiongkok.
Tiongkok juga melibatkan ASEAN dalam konflik Laut China Selatan, meskipun Tiongkok dapat menyelesaikannya tanpa ASEAN, tetapi Tiongkok ingin menghargai hubungan kerja sama dengan ASEAN. Maka, hal yang dilakukan ASEAN adalah membuat mekanisme penyelesaian sengketa yang bersifat informal, ASEAN Way; hal ini merupakan proses diskusi informal dan intensif untuk mencari keputusan bersama dan menentukan keputusan final dengan cara mufakat.
Adapun mekanisme selanjutnya yang diminta Tiongkok terhadap ASEAN dikarenakan ASEAN Way tidaklah formal. Maka dari itu, ASEAN membuat TAC atau Treaty of Amity and Cooperation, yang mana mekanisme ini lebih formal dan mengikat para pihak yang terlibat secara resmi. TAC sendiri merupakan hasil dari kesepakatan yang dilaksanakan pada KTT I ASEAN yang diadakan di Bali. Tak hanya untuk sengketa Laut China Selatan, TAC ini dapat digunakan untuk berbagai penyelesaian sengketa lain-lainnya.
Mekanisme ketiga adalah ARF yang mana kependekan dari ASEAN Regional Forum dari cara ini dikembangkan dari ASEAN Way yang bersifat formal dan diskusi yang dilakukan untuk menyelesaikan sengketa, termasuk sengketa Laut China Selatan. ARF sendiri memiliki upaya preverentive diplomacy yang diharapkan mampu menegah tindakan yang akan mengusik perdamaian kawasan sekitar sengketa dengan melakukan melalui lingkup politik, ekonomi, dan keamanan.
Dengan berbagai pendekatan dan usaha berdiplomasi yang dilakukan Tiongkok, membuat Filipina mengambil kebijakan luar negeri ini untuk menjauhi peperangan dan mengutamakan perdamaian dan keamanan masyarakat. Tentu hal ini membuat Filipina mendekat dengan Tiongkok agar masyarakat Filipina terhindar dari tindakan agresif yang mungkin akan terjadi jika Filipina tidak melunak pada Tiongkok.
Hal ini dapat terjadi dikarenakan pergantian Presiden Filipina yang pada awalnya Benigno mengecam tindakan Tiongkok yang melanggar kedaulatan Filipina. Sementara, Presiden Filipina yang baru, Duterte, menganggap hal tersebut tidak pernah terjadi dan membuat kesepakatan damai dengan Tiongkok. Memang hal ini terjadi dikarenakan kepentingan nasional Filipina, yang mana menjaga stabilitas ekonomi Filipina agar meningkatkan perekonomian negara dengan tetap memiliki hubungan diplomasi yang baik dengan negara maju dan berkembang seperti Tiongkok.
Pada tanggal 4 November, Tiongkok melaksanakan Declaration on Conduct of the Parties in the South China Sea bersama ASEAN yang mana tertulis jika Tiongkok dan ASEAN akan berkomitmen untuk selalu mematuhi prinsip hukum internasional dan menghormati freedom of navigation di Laut China Selatan. Tak lupa tertulis untuk menyelesaikan sengketa secara damai tanpa adanya tindakan agresif yang akan memicu memanasnya konflik sengketa. DOC yang telah ditandatangani di Phnom Penh, Kamboja, ini pun menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan Laut China Selatan dengan bertujuan untuk saling percaya tidak menyerang satu sama lain. Meskipun memang perjanjian ini tidak mengikat, namun, seluruh aktor yang terlibat setuju untuk menjadikan hal ini sebagai landasan moral bagi konflik Laut China Selatan.