Mohon tunggu...
Rizky Hidayat
Rizky Hidayat Mohon Tunggu... Ilustrator - Perluas Sudut Pandang, Persempit Memandang Sudut.

Ghostwriter

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Afeksi Sebagai Bekal Utama Kembali Belajar

3 Januari 2021   23:00 Diperbarui: 3 Januari 2021   23:35 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengawali Semester Genap dalam Tahun Ajaran 2020/2021, jagad dunia Pendidikan Nasional di tahun 2021 kembali meredup. Lentera pendidikan yang semula punya cercahan cahaya untuk kembali menyinari pendidikan di lingkungan sekolah lagi-lagi langsung padam. Bukan sengaja ditiup atau dimatikan, tapi memang rasanya semua harus Kembali Belajar pada keadaan yang serba Dirumah Saja.

Lebih baik disini.. Rumah kita sendiri.. (Bacanya pake nada ya, supaya tidak fales *ehehe)

Mengutip lirik lagu God-Bless yang berjudul "Rumah Kita", roman-romannya kita disuruh untuk terus mengeksplorasi diri dari rumah. Sebab memang fenomena yang terjadi akhir-akhir ini mengharuskan kita melakukan aktivitas dari tempat yang paling aman serta paling nyaman, yakni dirumah.

Dari fenomena belajar dirumah ini, nyatanya melahirkan problem klasik dikalangan dunia pendidikan. Yaa, kita bisa nebak sendiri kok pastinya problemnya apa. Mulai dari jaringan buruk, tidak meratanya subsidi kuota, hingga peserta didik yang tak serius belajar pasti menjadi problem klasik utamanya saat PJJ atau Pembelajaran Jarak Jauh.

Masalah kuota dan jaringan itu biasanya masalah yang di ada-adakan. Tapi kalau masalah tak serius belajar ini bisa berdampak bahaya bagi generasi serba daring.

Kenapa Kok Bisa Gitu?

Riset kecil-kecilan yang pernah saya lakukan selama PJJ dengan metode pembelajaran daring ini, biasanya adalah kurang mampunya pendidik dalam mentransformasikan ilmunya kepada para peserta didiknya selama mengajar.

Hal itu terjadi lantaran guru tak dapat mengontrol kondisi siswanya secara langsung. Jika itu dibiarkan, implikasinya bisa sangat membahayakan. Bisa-bisa percuma sekolah kalau tak dapat ilmu sama sekali.

Biasanya celetukan seperti itu akan sering muncul pada buah bibir para orang tua siswa yang sebetulnya jika dicermati, memang wajar pula untuk muncul menyeletuk dikarenakan mereka juga pada akhirnya merasakan dampak dari gelombang pandemi pendidikan (intinya mereka pada akhirnya ikut merasakan belajar juga).

Lalu, apakah ada cara untuk menanggulangi kondisi kecelakaan dalam belajar sehingga transformasi ilmu yang disalurkan dapat tersalurkan? Jawabnya sudah pasti ada.

Pembelajaran Afeksi Adalah Bekal Belajar Yang Efektif

Sebagai seorang pendidik, sudah seharusnya mengantongi pusaka-pusaka dalam pembelajaran. Jangan gadaikan profesi GURU sebagai pekerjaan formalitas yang intinya pokonya sudah ngajar, tuntas.

Pun tak hanya pada pendidik semata, orang tua peserta didik juga sudah kewajibannya untuk memberikan pendidikan pada anak-anaknya.

Pendekatan pendidikan yang dilakukan jangan hanya mengedepankan aspek formalitas saja, tapi unsur-unsur lain dari formalitas itu sendiri juga perlu. Terlebih supaya anak atau siswa atau peserta didik mampu memahami dan mengembangkan ilmu yang sudah diajarkan itu.

Caranya ialah melalui aspek pendekatan kepribadian anak. Hal inilah yang dinamakan Afeksi.

Memahami kepribadian anak mulai dari bagaimana cara ia belajar, gaya belajarnya seperti apa sampai pada karakter anak tersebut belajar adalah bekal menuju pembelajaran yang mungkin bisa saya katakan Efektif.

Efektif disini ibaratnya adalah merasa terdidik oleh serangkaian proses pembelajaran yang dialami, sehingga peserta didik merasa memiliki integritas, kapasitas, kapabilitas dan tanggung jawab akan ilmu yang telah ia dapati sehingga mampu mencerdaskan dirinya dan lingkungan sekitarnya.

Terakhir, mengutip perkataan Prof. Zainuddin Maliki selaku Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya yang kini menjabat sebagai Anggota DPR RI Komisi X mengatakan "Suatu bangsa dapat dikatakan maju bukan karena dilihat dari Sumber Daya Alamnya yang melimpah ruah atau jumlah penduduknya yang besar, melainkan dapat dikatakan maju apabila memiliki manusia-manusia atau insan-insan yang terdidik."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun