Semar dalam falsafah jawa memiliki banyak nama. Dalam versi jawa kuno dia disebut Dang Hyang Semar. Dalam agama jawa kuno yang bernama Kapitayan, dia dipercaya sebagai utusan Tuhan. Orang belanda yang tidak memahami kapitayan dulu menyebut agama ini sebagai  aliran animisme atau dinamisme. Padahal, sebenarnya, Kapitayan adalah agama. Penganut Kapitayan percaya kepada Tuhan yang bernama Sang Hyang Taya. Istilah Taya berarti Kehampaan atau Kekosongan. Maka dari itulah, orang jawa menggambaarkan Tuhan dengan istilah "Tan Kena Kinaya Ngapa" yang berarti "Tidak Bisa Dijelaskan". Dalam bahasa islam mungkin konsep ini sama seperti "laisa Kamitslihi Syaiun-yang tidak bisa diserupakan dengan apapun". Istilah Dang Hyang Semar ini sudah jauh dikenal sebelum masuknya agama Hindu dan Buddha. Dan ketika agama Hindu mulai masuk ke Jawa, banyak yang mengasosiasikan Dang Hyang Semar ini dengan sosok Resi Agastya, penyebar agama Hindu Syiwa dari India Selatan. Dia berdakwah di India Selatan dan Asia Tenggara, kemudian menyepi atau Uzlah di Gunung Kawi, Jawa Timur. Sedangkan pada zaman Majapahit Akhir, Semar sering diasosiasikan sebagai penasihat Raja Brawijaya IV dan dikenal dengan nama Sabdo Palon. Tokoh ini muncul dalam kisah Sabdo Palon-Naya Genggong, yang mengisahkan dua guru sekaligus penasihat Raja Brawijaya IV, yaitu sabdo Palon dan Naya Genggong.Â
Gambar sosok Semar tidak digambarkan secara sembarangan. Setiap sisi gambarnya mengandung filosofi. Melalui folosofi bentuk gambar itu para wali bermaksud menyampaikan sesuatu dimana ada simbol tentang sangkan paraning dumadi, kasunyatan, sekaligus sastra jendra dalam gambar tersebut. Semar biasanya digambarkan berbadan hita atau gelap, sementara wajahnya putih atau terang. Komposisi bentuk dan warna ini adalah simbol orang yang tercerahkan oleh ilmu. Â Menurut filosofi para wali, jika seseorang memiliki banyak ilmu dan penuh hikmah, wajahnya akan nyaman dan enak dilihat. Aura dan vibrasi wajahnya memancarkan aura yang membuat orang yang melihatnya merasa nyaman. Terkadang, ketika kita dekat dengan orang-orang seperti ini, kita akan langsung sadar bahwa dia adalah orang yang tercerahkan. Gender semar juga digambarkan tidak jelas apakah dia laki-laki atau perempuan. Tanda ini mengandung filsafah bahwa tubuh Semar melampaui dikotomi antara laki-laki dan perempuan. Dalam hidup ini, sebenarnya banyak hal yang tidak ada hubunganya dengan kelaki-lakian atau keperempuanan. Misalnya, keyika kita membicarakan soal pendidikan, politik, kearifan, kebudayaan, atau hikmah, semua itu bukan soal laki-laki atau perempuan. Â Nah, melalui penggambaran sosok Semar yang tidak jelas laki-laki atau perempuan, para wali mengajari kita agar melampaui dikotomi jenis kelamin. Berbuat baik, beriman, atau beramal saleh bisa dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan. Levelnya sama, standarnya sama, tidak harus dibeda-bedakan. Â Filosofi berikutnya, dilambangkan oleh perpaduan Kucung (jambul) dan wajah tua pada sosok Semar. Kucung identik dengan anak kecil, sementara wajah Semar sangat tua. perpaduan ini sebenarnya merupakan pelajaran dari para wali bahwa hidup itu tidak harus berhenti hanya pada kebenaran, tetapi juga harus mengerti kebijaksanaan, mengerti kebijaksanaan itu maksudnya, kita harus tahu kapan harus menjadi anak-anak dan kapan harus tau menjadi orang tua, itulah pandangan yang bijaksana. Bagian wajah semar juga digambarkan dengan unik. Mata Semar rembes dalam bahasa jawa, karena terus menerus menangis, tetapi mulutnya selalu tertawa. Ini adalah pelajaran tentang dinamika ruang. Maksud dari dinamika ruang itu adalah bahwa hidup kita ini kompleks. Tidak semuanya berisi tangisan, pasti ada sebagian yang bisa kita tertawakan. Selain itu, tangis tawa juga melambangkan dinamika waktu, tidak selamanya kita tertawa atau menangis. pelajaran bagi kita bahwa tangisan itu tidak selamanya, begitu juga dengan tawa, pasti berubah. Filosofi berikutnya yang tergambar dalam posisi Semar. Dia tidak jelas sedang jongkok atau berdiri. Disebut jongkok bisa, berdiri juga bisa. Gambar ini adalah filosofi para wali untuk menggambarkan keutuhan. Maksudnya, hidup ini harus kita hayati secara utuh. Kita harus bisa merendah, jangan sombong, tetapi juga jangan minder. Filosofi terakhir adalah penggambaran posisi tangan Semar, dimana satu tangan menunjuk kebawah, sementara satu tangan lainya mengadah keatas. Posisi tangan keatas menggambarkan permohonan atau berdoa, menunggu pemberian Tuhan dalam hidup, dan ketika sudah berdaya setelah mendapatkan anugrah, jangan lupa berbagai dengan yang lain yang disimbolkan dengan tangan yang menunjuk ke bawah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H