Apa itu AWD dan AWK?
AWD sering disebut sebagai analisis wacana saja, tanpa kata deskriptif. Dalam AWD, wacana dipandang sebagai unit bahasa yang lebih besar di atas kalimat atau klausa (Brown & Yule, 1988). Teks ujaran atau paragraf dalam AWD, lazim dianalisis dari sisi komponen wacana (konteks situasi, kohesi - koherensi, prinsip interpretasi lokal dan analogi, dst. Meskipun tampak lengkap, wacana dalam AWD hanya dipandang sebagai fenomena lingual semata-mata. Maka, AWD gagal menangkap dimensi konflik dan selubung kuasa di balik teks : penindasan, ketimpangan sosial, ideologi, relasi dominasi-subordinasi.
Kegagalan pada AWD tersebut tampaknya dapat diatasi oleh AWK. Wacana dalam perspektif AWK, merepresentasikan realitas sosial yang penuh dengan selubung dominasi kekuasaan dan konflik (cf. Haryatmoko 2010; Jupriono, SUkrisyanto, Darmawan, 2016). AWK memandang wacana sebagai praktik kebahasaan terorganisasi yang mengkontruksi praksis sosial (berbicara, berpikir, bertindak) untuk mengubah atau mempertahankan dominasi kekuasaan (Wodak, 2010). Tokoh AWK yang memberi banyak perhatian pada dimensi kekuasaan secara khas adalah Michel Foucault (1926-1984), seorang filosof-kekuasaan berkebangsaan Prancis (Kelly 2010). Menurut Faucolt, kekuasaan itu menyebar tanpa bisa dilokalisasi, "ada di mana-mana", meresap dalam sebuah relasi sosial; subjek kekuasaan tidak harus seorang raja, perdana menteri, atau presiden terhadap rakyatnya (cf Jupriono, 2011), Bahkan ia bisa muncul dalam relasi suami istri, sepasang kekasih, dokter-pasien, Psikiater-Klien, Dosen-Mahasiswa, Mandor-kuli, dst (cf. O'Farrell, 2007). Ia tidak dimonopoli siapapun, tetapi beroperasi dalam relasi pengetahuan dan situasi strategis kompleks dalam masyarakat. Kekuasaan merupakan tatanan disiplin yang melekat pada ambisi pengetahuan, yang tidak selalu reresif, tetapi produktif. Ia muncul manakala terdapat perbedaan dan diskriminasi. Kontrol kekuasaan dijalankan dengan mekanisme disiplin, normalisasi, sistem panoptik, klasifikasi, dan identifikasi (Haryatmoko, 2010; 2012). Tokoh yang meninggal digerogoti AIDS ini berbicara bagaimana kuasa dilihat, diterima, dipraktekkan sebagai kebenaran dan berfungsi dalam bidang-bidang tertentu.
Teknik AWK Foucault bukan saja lain sama sekali dari AWD, melainkan juga berbeda dengan sesama AWK versi lain (Van Dijk, Fairclough, Van Leeuwen, Mills, Fowler, dan mungkin juga Derrida). Yang menonjol dalam AWK-Foucault adalah ditekankannya pencarian unsur-unsur wacana yang absen/tersembunyi serta kontekstualisasi unsur wacana dalam jaringan kekuasaan-pengetahuan (Alba-Juez, 2009).Â
Treaty Shopping, menurut OECD, merujuk pada praktik dimana individu atau entitas mencoba memanfaatkan perjanjian pajak antar negara untuk keuntungan pribadi tanpa memenuhi syarat sebagai penduduk di negara-negara terlibat. Ia seringkali melibatkan skema yang rumit dan tidak selalu sesuai dengan tujuan awal dari perjanjian tersebut. Hal ini dapat mengakibatkan hilangnya pendapatan pajak yang signifikan bagi negara-negara yang seharusnya berhak mendapatkanya, dan menantang keadilan dalam sistem pajak. Ketika wajib pajak terlibat dalam treaty shopping, mereka berusahan untuk memperoleh manfaat dari perjanjian pajak tanpa memenuhi persyaratan yang ditetapkan dallam perjanjian tersebut. Ini bukan hanya melanggar kedaulatan pajak antar negara-negara terlibat, tetapi juga merupakan isu utama yang dihadapi oleh Anggota kerangka Inklusif Base Erosion and Profit Shifting (BEPS). Adapun dampak dari traty shopping dapat dirasakan secara luas. Pertama, praktik ini mengganggu keseimbangan ekonomi yang diperjanjikan oleh perjanjian pajak dengan memperluas manfaatnya ke pihak ketiga yang tidak diinginkan dan merusak prinsip kesetaraan yang menjadi dasar perjanjian tersebut. Kedua, treaty shopping dapat menyebabkan penghindaran pajak, di mana pendapatan yang seharusnya dikenakan pajak menjadi tidak terpajak atau dikenakan pajak yang lebih rendah dari yang seharusnya. Ini mengubah insentif bagi negara-negara untuk bernegosiasi perjanjian pajak antar yuridiksi, karena penerima manfaat akhir dapat memperoleh keuntungan dari perjanjian tersebut tanpa kewajiban yang sepadan.
Untuk mengatasi ini OECD telah mengambil langkah-langkah yang signifikan melalui inisiatif BEPS melalui action 6 Report yang menetapkan standar minimum untuk mencegah penyalahgunaan perjanjian pajak, termasuk treaty shopping. Anggota kerangka kerja inklusif BEPS telah berkomitmen untuk memasukkan ketentuan yang dirancang untuk melindungi perjanjian pajak dari praktik treaty shopping. BEPS Mulitilateral Instrument (MLI) memfasilitasi modifikasi cepat dari perjanjian pajak bilateral untuk memasukkan standar minimum ini dan ukuran terkait lainya.
Proses Peer Review Document atau Tinjauan sejawat yang dilakukan rutin pada tahun 2018, 2019, san 2020 memastikan bahwa implementasi standar minimum ini diikuti secara konsisten. Ini bertujuan untuk memberikan bantuan yang ditargetkan kepada anggota yang membutuhkan dukungan dalam mengimplementasikan standar minimum Action 6 Report. OECD juga mencatat bahwa hasil dari implementasi minimum Action 6 Report menunjukkan kemajuan yang signifikan, dengan sebagian besar anggota kerangka kerja inklusif BEPS mengambil langkah-langkah untuk memodifikasi perjanjian pajak mereka sesuai dengan standar yang ditetapkan. Dengan demikian, langkah-langkah ini menandai kemajuan penting dalam upaya untuk mencegah treaty shopping dan memastikan penerapan perjanjian pajak yang adil dan efektif. Meskipun demikian, perlu dipahami bahwa masalah ini masih memerlukan pemantauan dan tindak lanjut yang berkelanjutan untuk memastikan kepatuhan dan keadilan dalam sistem pajak global.
Metode AWD dan AWK pada Treaty Shopping
dengan adanya P3B (Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda) maka diharapkan kesetaraan antar negara di dalam perpajakan bisa terwujud. P3B sendiri adalah perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan Pemerintah mitra atau yuridiksi mitra untuk mencegah terjadinya pengenaan pajak Berganda dan pengelakan pajak. Metode AWD dan AWK dirasa memiliki nilai yang positif yang bisa mendasari P3B ini. Tidak boleh lagi ada dominasi kekuasaan terutama di tataran perpajakan global. Hal tersebut harus terjadi mengingat negara domisili usaha sudah sepatutnya mendapatkan apa yang seharusnya mereka dapatkan di dalam perpajakan.Â
Disini saya ingin menyisipkan tokoh yang terkenal dengan nama Semar.
Semar dalam falsafah jawa memiliki banyak nama. Dalam versi jawa kuno dia disebut Dang Hyang Semar. Dalam agama jawa kuno yang bernama Kapitayan, dia dipercaya sebagai utusan Tuhan. Orang belanda yang tidak memahami kapitayan dulu menyebut agama ini sebagai  aliran animisme atau dinamisme. Padahal, sebenarnya, Kapitayan adalah agama. Penganut Kapitayan percaya kepada Tuhan yang bernama Sang Hyang Taya. Istilah Taya berarti Kehampaan atau Kekosongan. Maka dari itulah, orang jawa menggambaarkan Tuhan dengan istilah "Tan Kena Kinaya Ngapa" yang berarti "Tidak Bisa Dijelaskan". Dalam bahasa islam mungkin konsep ini sama seperti "laisa Kamitslihi Syaiun-yang tidak bisa diserupakan dengan apapun". Istilah Dang Hyang Semar ini sudah jauh dikenal sebelum masuknya agama Hindu dan Buddha. Dan ketika agama Hindu mulai masuk ke Jawa, banyak yang mengasosiasikan Dang Hyang Semar ini dengan sosok Resi Agastya, penyebar agama Hindu Syiwa dari India Selatan. Dia berdakwah di India Selatan dan Asia Tenggara, kemudian menyepi atau Uzlah di Gunung Kawi, Jawa Timur. Sedangkan pada zaman Majapahit Akhir, Semar sering diasosiasikan sebagai penasihat Raja Brawijaya IV dan dikenal dengan nama Sabdo Palon. Tokoh ini muncul dalam kisah Sabdo Palon-Naya Genggong, yang mengisahkan dua guru sekaligus penasihat Raja Brawijaya IV, yaitu sabdo Palon dan Naya Genggong.Â
Gambar sosok Semar tidak digambarkan secara sembarangan. Setiap sisi gambarnya mengandung filosofi. Melalui folosofi bentuk gambar itu para wali bermaksud menyampaikan sesuatu dimana ada simbol tentang sangkan paraning dumadi, kasunyatan, sekaligus sastra jendra dalam gambar tersebut. Semar biasanya digambarkan berbadan hita atau gelap, sementara wajahnya putih atau terang. Komposisi bentuk dan warna ini adalah simbol orang yang tercerahkan oleh ilmu. Â Menurut filosofi para wali, jika seseorang memiliki banyak ilmu dan penuh hikmah, wajahnya akan nyaman dan enak dilihat. Aura dan vibrasi wajahnya memancarkan aura yang membuat orang yang melihatnya merasa nyaman. Terkadang, ketika kita dekat dengan orang-orang seperti ini, kita akan langsung sadar bahwa dia adalah orang yang tercerahkan. Gender semar juga digambarkan tidak jelas apakah dia laki-laki atau perempuan. Tanda ini mengandung filsafah bahwa tubuh Semar melampaui dikotomi antara laki-laki dan perempuan. Dalam hidup ini, sebenarnya banyak hal yang tidak ada hubunganya dengan kelaki-lakian atau keperempuanan. Misalnya, keyika kita membicarakan soal pendidikan, politik, kearifan, kebudayaan, atau hikmah, semua itu bukan soal laki-laki atau perempuan. Â Nah, melalui penggambaran sosok Semar yang tidak jelas laki-laki atau perempuan, para wali mengajari kita agar melampaui dikotomi jenis kelamin. Berbuat baik, beriman, atau beramal saleh bisa dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan. Levelnya sama, standarnya sama, tidak harus dibeda-bedakan. Â Filosofi berikutnya, dilambangkan oleh perpaduan Kucung (jambul) dan wajah tua pada sosok Semar. Kucung identik dengan anak kecil, sementara wajah Semar sangat tua. perpaduan ini sebenarnya merupakan pelajaran dari para wali bahwa hidup itu tidak harus berhenti hanya pada kebenaran, tetapi juga harus mengerti kebijaksanaan, mengerti kebijaksanaan itu maksudnya, kita harus tahu kapan harus menjadi anak-anak dan kapan harus tau menjadi orang tua, itulah pandangan yang bijaksana. Bagian wajah semar juga digambarkan dengan unik. Mata Semar rembes dalam bahasa jawa, karena terus menerus menangis, tetapi mulutnya selalu tertawa. Ini adalah pelajaran tentang dinamika ruang. Maksud dari dinamika ruang itu adalah bahwa hidup kita ini kompleks. Tidak semuanya berisi tangisan, pasti ada sebagian yang bisa kita tertawakan. Selain itu, tangis tawa juga melambangkan dinamika waktu, tidak selamanya kita tertawa atau menangis. pelajaran bagi kita bahwa tangisan itu tidak selamanya, begitu juga dengan tawa, pasti berubah. Filosofi berikutnya yang tergambar dalam posisi Semar. Dia tidak jelas sedang jongkok atau berdiri. Disebut jongkok bisa, berdiri juga bisa. Gambar ini adalah filosofi para wali untuk menggambarkan keutuhan. Maksudnya, hidup ini harus kita hayati secara utuh. Kita harus bisa merendah, jangan sombong, tetapi juga jangan minder. Filosofi terakhir adalah penggambaran posisi tangan Semar, dimana satu tangan menunjuk kebawah, sementara satu tangan lainya mengadah keatas. Posisi tangan keatas menggambarkan permohonan atau berdoa, menunggu pemberian Tuhan dalam hidup, dan ketika sudah berdaya setelah mendapatkan anugrah, jangan lupa berbagai dengan yang lain yang disimbolkan dengan tangan yang menunjuk ke bawah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H