Mohon tunggu...
Rizky Febrinna S.Pd
Rizky Febrinna S.Pd Mohon Tunggu... Guru - Love Your Sweet Life

Write all about life, believe in your heart...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sesal Tiada Akhir (11)

7 Februari 2021   10:43 Diperbarui: 7 Februari 2021   11:35 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi-pagi sekali Rini sudah membantu Ibu mertuanya menyiapkan makanan untuk sekeluarga. Karena Agus memilih memandikan anak-anak dan sejak shubuh sudah menyuruh Rini ke dapur. Rini memperhatikan gerak-gerik Ibu mertuanya. Sejak mendapat tahu masalah penyakit Tiara, Ibu jadi bersikap dingin terhadapnya. Entah hanya perasaannya saja. Karena jujur Ibunya sedikit banyak pasti menyalahkannya gara-gara vonis Dokter kemarin terhadap Tiara. Ibunya tak mungkin lupa bagaimana dulu dia bertengkar hebat karena ketahuan minum minuman yang dilarang itu. Dari tadi dia hanya mengupas bawang dan membersihkan sayur. Biasa akan ada instruksi selanjutnya, namun sejak tadi Ibu hanya diam saja. Duh malas kalau gini. Hati Rini berkecamuk. Ditinggal salah, ditanya makin salah nanti. Mana lagi bang Agus.

Akhirnya Agus muncul dengan Tiara dan Edo.

"Eh cucu ibu dah rapih dan wangi ya. Tunggu bentar lagi kita sarapan ya. Main dulu bentar di depan Gus."

"Iya Bu, Agus siap-siap pake baju kerja dulu."

"Nanti Ibu telepon Uwak kamu di Kampung. Kamu jangan khawatir tentang Tiara dulu. Fokus kerja saja. Ya?"

"Makasih ya Bu."

Setelah Agus, Edo dan Tiara berlalu ke depan, Ibu hanya geleng-geleng kepala melihat Rini yang terdiam.

"Sudah Rin, ambil piring nasi dan lauk, kasi makan anak-anakmu, ini tinggal cabe goreng aja."

"Ibu marah dengan Rini?"

Lama Ibu mertuanya memandanginya.

"Ibu sudah tua Rin, tak bisa mau marah-marah. Namun Ibu sedih melihat keadaan Tiara. Ibu masih belum percaya sakitnya bisa mempengaruhi masa depannya. Ibu sedih Rin!"

Ibu mertuanya meluahkan kegelisahannya dari semalam. 

"Maafin Rini Bu."

"Semua sudah terjadi. Sudahlah Rin."

Rini segera beranjak menyiapkan sarapan untuk Edo dan Tiara. Bergegas dia ke ruang tamu ingin menyuapi Tiara makan. 

"Aku berangkat dulu ya Rin. Nanti biar Tiara dibawa Ibu ke Puskesmas. Biar dicek juga. Kamu jaga Edo dan Ayah ya. Dari tadi Ayah asyik bersihkan sampah di belakang tu."

"Iya hati-hati Bang." Rini risau jika Ibu membawa Tiara ke Puskesmas. Bisa-bisa satu kampung jadi tau masalah Tiara. Dengan cemas dia segera membawa bekas makan Edo dan Tiara. Ternyata Ibu sudah siap dengan kerudung panjangnya. 

"Rin, Ibu bawa Tiara dulu ya. Di sana kan ada si Yanti dan Indah yang bisa ibu tanya-tanya. Semoga mereka ada saran untuk Tiara. Kamu jaga Edo ya. Jangan ditinggal Edo, takut lasak dan terkena kaca atau jatuh."

"Ibu yakin mau bawa Tiara? Kan Tiara gak perlu dibawa Bu. Di sana kan ramai Ibu-ibu rempong. Hufh!" 

"Eh jangan ngomong gitu. Ya mesti dibawalah biar dilihat diperiksa. Udah kamu tenang aja. Ibu pasti lindungin Tiara. Cucu Ibu juga."

"Iya Bu, hati-hati ya." Rini tak mau ribut dengan Ibu mertuanya. Semoga saja memang benar Ibunya dapat solusi dari sana.

Lama juga dia harap-harap cemas menunggu kepulangan Ibu. Kenapa Ibu lama ya. Apa banyak antrian? Duh Tiara, cepat pulang Nak. Rini risau bermain berdua saja dengan Edo. Biasa main dengan Tiara dan Ibu. Karena bosan diajaknya Edo main di teras depan. Melihat pekarangan banyak sampah daun kering, diambilnya sapu dan segera disapunya sambil sesekali dilihatnya Edo yang sedang bermain dan berlari dengan pesawat mainannya. Bu Tari lewat dan berhenti di pagar depan rumah.

"Oh kenapa gak ikut anaknya ke Puskesmas Bun? Masa sih neneknya yang disuruh ngantri. Kasihan udah tua."

"Oh antriannya lama ya bun?" Rini lega dapat berita dari bu Tari.

"Makanya harusnya ibunya Tiara dong. Tapi saya turut sedih lo ya, Tiara sakit begitu. Kasihan anak cantik begitu gak bisa ngomong sampai besar."

"Maaf, jangan bicara sembarangan ya bunda. Urus anak kita masing-masing. Jangan pernah bunda ngomong gitu lagi!" Rini berlari ke dalam rumahnya setelah menarik paksa Edo dan menutup pintu dengan kasar. Rini duduk di ruang tamu dan mulai menangis sesenggukan tak terima Tiara dikatakan seperti itu. Rini ke kamarnya dan meninggalkan Edo sendiri yang bingung kenapa Ibunya menangis seperti itu.

***

"Bang, tadi siang aku dapat telepon dari kak Risa. Dia tanya kabar Abang dan anak-anak kita. Aku bilang semua baik."

"Ya baguslah Rin. Aku mandi dulu."

Rini menunggu suaminya selesai mandi karena ada hal penting yang harus diberitahukannya. 

Selesai mandi Agus mengajak Rini ke meja makan untuk makan malam.

"Bentar Bang, ada hal penting."

"Ada apa?"

"Kak Risa kan program hamil udah enam tahun namun belum berhasil. Saat ini suaminya udah setuju mau angkat anak. Tapi dia gak mau anak orang lain. Dia mau Tiara Bang. Boleh?"

"Apa?! Ya gak mungkinlah Rin. Tiara anak aku. Aku masih kuat membesarkannya. Aku tak setuju."

"Untuk sementara aja Bang. Sampai mereka punya anak."

"Aku bilang tidak ya tidak. Ayah dan Ibu pasti lebih tak setuju. Anak kita cuma dua. Kamu gak mikirin Edo?"

"Tapi Dokter bilang kan biaya terapi gak ada yang murah. Semua itu bisa kakakku ladih Bang. Percayalah Bang."

"Udah ah, aku gak mau bahas ini lagi ya. Tiara hanya butuh kita orang tuanya." Agus keluar kamar meninggalkan Rini sendiri.

Rini hanya diam dan tak mau membalas lagi. Meski hatinya yakin suatu saat bang Agus pasti setuju dengan kata-katanya. Daripada harus tinggal di sini banyak yang jahat dan busuk hati. Di sini hanya akan membuatmu sedih Tiara. Ibu dan Ayah juga tak cukup uang untuk sembuhkan kamu. Rintih Rini.

Bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun