Hujan terus turun menjelang sore. Niat Ray untuk pulang mengantar Icha terpaksa tertunda meskipun sebenarnya ini adalah malam minggu. Malam masih panjang. Namun hp Icha ribut dan kelap-kelip ditelepon terus oleh orang tuanya yang cemas.
"Aku harap hujan ini tak akan berhenti."Â
"Jangan Ray, aku harus pulang meskipun harus basah."
"Sebelum kamu jawab aku yang tadi."
"Maaf aku tak bisa."
"Apa belum cukup pembuktianku selama 10 tahun ini?"
Angin dingin mengingatkan kenangan saat itu. Indah dan lucu penuh romansa kekanak-kanakan. Penuh impian membahagiakan. Ada tekad. Ada harap. Hingga bertemu kembali entah untuk apa.
"Maaf jangan pilih aku Ray. Akan ada banyak yang terluka."Â
"Saat ini aku yang terluka, bukan mereka. Lihat aku Cha." Sedari tadi Icha membuang mukanya agar tak terlihat mata yang hampir menangis.
"Cukup yang dulu menjadi kenangan manis. Itu sudah lama berlalu. Saat itu aku tak tau latar belakangmu."
Ray tertawa mengejek seolah Icha badut yang lucu.
"Kenangan itu buatku yakin kamu belahan jiwaku."
"Maaf Ray, jangan paksa aku. Ini takdir."
"Lucu sekali, belum berusaha namun kamu mengatakan ini takdir? Kita harus mencoba dulu Cha. Baru tau akhirnya. Baru bisa dibilang takdir. Aku hanya ingin bersama kamu."
Icha menatap Ray. Namun sekarang air mata itu tumpah begitu saja. Ingin marah namun pada siapa. Hidup tak adil buatnya. Atau dia yang belum ikhlas terima segalanya.
Hujan semakin deras buat mereka bicara dengan keras suara. Tidak ada siapapun. Tempat mereka berteduh aman dari keramaian. Gubuk kecil di tengah padang ilalang saksi sejak dulu mereka isi kenangan bersama.
"Matamu sudah cukup menjelaskan semua." Ray bicara lagi. Seolah belum puas dengan keputusan Icha menolak lamarannya.
"Iya, kamu kan sudah tahu. Kenapa masih belum ikhlas? Lupakan masa itu. Aku sudah lama mengubur semuanya. Kenangan itu sama sekali tak bersisa." Aku harus bohong meski hati ini penuh nama Ray. Penuh impian untuk hidup bersamanya.
"Benarkah?" Ucap Ray dengan mata merah penuh marah tak percaya.Â
"Percayalah, doaku yang terbaik untuk bahagiamu. Akan ada yang pantas mengisi hatimu kelak. Dan itu bukan aku." Icha coba tersenyum meski air mata terus membanjiri.
Icha berlari menerobos hujan. Dingin sudah tak Ia rasakan. Tangisnya tumpah suaranya kalah dengan deras hujan. Terus ia berlari sekuat hati. Hatinya sakit mengingat pesan ibunya.Â
"Ibu tak setuju kamu dengan Ray, dia berstatus sosial tinggi. Kamu akan diinjaknya nanti. Apalagi keluarga kita yang miskin seperti ini."
Icha terus menangis seiring hujan semakin deras. Berjalan mengikuti arah jalan menuju rumahnya. Sengaja ia pelankan langkah agar hujan menghapus wajah sedihnya. Sekejam inikah waktu, buat hati menunggu dan berharap tanpa pasti. Buat hancur jiwa tanpa bisa dibuang segala indahnya rasa. Biarlah mengorbankan cinta demi kebahagiaan orang tua. Mencoba ikhlas dengan sakit yang entah sampai kapan sembuhnya.
ALC, wnsri 6 Des 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H