"Kenangan itu buatku yakin kamu belahan jiwaku."
"Maaf Ray, jangan paksa aku. Ini takdir."
"Lucu sekali, belum berusaha namun kamu mengatakan ini takdir? Kita harus mencoba dulu Cha. Baru tau akhirnya. Baru bisa dibilang takdir. Aku hanya ingin bersama kamu."
Icha menatap Ray. Namun sekarang air mata itu tumpah begitu saja. Ingin marah namun pada siapa. Hidup tak adil buatnya. Atau dia yang belum ikhlas terima segalanya.
Hujan semakin deras buat mereka bicara dengan keras suara. Tidak ada siapapun. Tempat mereka berteduh aman dari keramaian. Gubuk kecil di tengah padang ilalang saksi sejak dulu mereka isi kenangan bersama.
"Matamu sudah cukup menjelaskan semua." Ray bicara lagi. Seolah belum puas dengan keputusan Icha menolak lamarannya.
"Iya, kamu kan sudah tahu. Kenapa masih belum ikhlas? Lupakan masa itu. Aku sudah lama mengubur semuanya. Kenangan itu sama sekali tak bersisa." Aku harus bohong meski hati ini penuh nama Ray. Penuh impian untuk hidup bersamanya.
"Benarkah?" Ucap Ray dengan mata merah penuh marah tak percaya.Â
"Percayalah, doaku yang terbaik untuk bahagiamu. Akan ada yang pantas mengisi hatimu kelak. Dan itu bukan aku." Icha coba tersenyum meski air mata terus membanjiri.
Icha berlari menerobos hujan. Dingin sudah tak Ia rasakan. Tangisnya tumpah suaranya kalah dengan deras hujan. Terus ia berlari sekuat hati. Hatinya sakit mengingat pesan ibunya.Â
"Ibu tak setuju kamu dengan Ray, dia berstatus sosial tinggi. Kamu akan diinjaknya nanti. Apalagi keluarga kita yang miskin seperti ini."