Mohon tunggu...
ANDI MUH. RISKI AD
ANDI MUH. RISKI AD Mohon Tunggu... Mahasiswa - FOUNDER PALPASI

Membaca, Olahraga dan Diskusi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Agama dan Manusia: Refleksi Subjek Agama

8 Februari 2017   23:08 Diperbarui: 8 Februari 2017   23:40 2374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Ibarat kata gelap yang mendefenisikan ketiadaan cahaya, maka kejahatan adalah kata yang mendefenisikan ketiadaan Tuhan di hati seseorang”

Kata “agama” sempat menjadi perdebatan dikalangan pakar bahasa Indonesia. Apakah ia terambil dari gabungan kata a yang berarti “tidak” dan gama yang berarti “kacau”, atau konon ia terambil dari bahasa Indo-Germania yang katanya melahirkan antara lain kata go, gein, gang,sehingga “agama” berarti “jalan menuju surga”.[1] Bukan hal yang mudah khusunya bagi para pakar untuk memberikan defenisi “agama” yang baik dan benar yag harus mencakup segala unsur yang didefenisikan dan megeluarkan yang bukan unsurnya, karena agama sering kali di pahami sebagai hubungan pribadi antara manusia dengan tuhan yang diyakininya, sehingga, dengan demikian, pasti timbul subjektivitas pada diri masing-masing agama dan penganutnya.[2]

Maka berangkat dari pengertian tersebut factor pemeluk agama menjadi sangat jelas, karena agama merupakan hasil interpretasi dan respon masyarakat terhadap ajaran-ajaran suci dari Tuhan. Yang perlu digaris bawahi adalah bahwa para pemeluk agama apapun itu terdiri dari kumpulan manusia-manusia, yang telah dianugerahi potensi untuk melakukan kebaikan dan keburukan. “demi jiwa serta penyempurnaannya, Allah mengilhamkan kepadanya (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya” (QS Al-Syams [91]:7-8). Dan tidak satupun manusia yang senantiasa berbuat kebajikan tanpa kesalahan dan dosa, demikian pula sebaliknya. “sesungguhnya usaha kamu beraneka ragam (berbeda-beda, ada yang baik dan ada yang buruk)” (QS Al-Lail [92]:4).

Ternyata perebatan mengenai agama tidak hanya sampai dalam tataran defenisi. Konteks kekinianpun memberikan sebuah perdebatan yang sebenarnya memberikan tampakan empiris yang berbeda pula. Tidak heran ketika banyak opini yang terbangun bahwa agama tidak lagi dijadikan sebagai penuntun umat manusia, melainkan media perpecahan, tidak heran ketika agama dijadikan alat untuk mencapai keinginan praktis , dan tidak heran pula melihat tindakan atas nama agama melakukan kekerasan. Agama bukan lagi dijadikan dasar sebelum seseorang melakukan sesuatu hal melainkan agama dijadikan pemberanaran setelah melakukan sesuatu. Intinya lakukanlah dulu setelah itu dicari dalilnya. Agak sedikit lucu namun itu yang terjadi. agama yang sejatinya mengajarkan nilai-nilai kebaikan kini berubah menjadi momok yang menakutkan dengan serangkaian kejadian yang memilukan, sehingga membawa kita untuk mempertanyakan kembali apa itu agama? mengapa kekerasan /konflik atas nama agama itu terjadi? dan Bagaimana penyelesaiannya?

Agama memang mengalami perubahan-perubahan, tetapi yang berubah adalah tradisi-tradisi keagamaan  dan system keyakinan keagamaan, sedangkan doktrin dan teks agama itu sendiri, sebagaimana yang tertuang dalam kitab suci  tidak berubah. Perubahan keyakinan keagamaan, disebabkan oleh adanya perbedaan interpretasi oleh penganut agama tersebut secara berlainan.[3] Maka tak heran jika di dunia ini ekspresi kegamaan muncul beragam, ada yang formalis-ekstremis , radikalis ,substansialis-humanis dan lain sebagainya.    

Tidak ada satupun agama secara normatif di dunia ini yang mengajarkan keburukan, kebrutalan, ataupun  kekerasan ( violence) yang nantinya berujung pada  pengrusakan atau bahkan pembunuhan.  Justru sebaliknya, agama-agama yang ada di dunia dewasa ini, selalu mengajarkan kebaikan kepada para penganutnya, seperti Islam dengan ajaran Rahmatan lil Alamin-nya, Kristen dengan “ Cinta Kasihnya”, Hindu dengan ajaran Tatawwa Asi, dan Budha dengan ajaran Catur Paramitha-nya. Namun demikian, secara sosiologis agama tidak dapat dipungkiri telah banyak menyebabkan terjadi konflik.

Saat ini orang banyak melihat hal yang menyimpang terhadap tindakan atas nama agama sudah membudaya, hal ini menujukan secara perlahan hubungan antar kelompok manusia tidak hanya diwarnai dengan eskalasi kekerasan tetapi juga sofistikasi kekerasan. Persoalan ini menjadi rumit ketika masuk dalm praktik-praktik dengan legitimasi etika-religius atau penggunaan idiom-idiom agama demi ambisi yang non religius. Jika demikian maka dalam kehidupan kontemporer di bumi yang luas ini agama menjadi alat pertarungan antara kebenaran dan kebatilan. Sesekali kebenaran menang, dan pada kali lain kebatilan yang menang.

Dalam kaitannya dengan Uraian diatas, seyogyanya kita perlu merujuk apa yang di catat oleh Kimball. Ia menjelaskan bahwa tanda-tanda kerusakan agama yang akhirnya menimbulkan konflik dan kekerasan, setidaknya dilatarbelakangi oleh lima factor. Pertama, bila suatu agama mengklaim kebenaran agamnya sebagai kebenaran yang mutlak dan satu-satunya.[4] dalam setiap agama, klaim kebenaran merupakan pondasi yang mendasari keseluruhan struktur agama. namun, ketika interpretasi tertentu atas klaim tersebut menjadi proposisi-proposisi yang menuntut kebenaran pembenaran tunggal dan diperlakukan sebagai doktrin kaku, kecenderungan terhadap penyelewengan dalam agama itu muncul dengan mudah.[5] 

Bahkan keyakinan-keyakinan yang bertolak sari truth claim  tentunya berimplikasi pada religiusitas soliptisime yang akan terus bergerak pada pencapaian peniadaan kelompok keyakinan dan agama lain. Kedua, ketaatan buta kepada pemimpin keagamaan mereka. Kesetian buta merupakan suatu tanda yang pasti tentang agama yang rusak. Karena ia membatasi kebebasan intelektual dan intregitas individu pengikutnya. Ketika para penganut individual mengabaikan tanggung jawabnya pribadi dan mengabdi pada otoritas pemimpin karismatik atau diperbudak oleh gagasan-gagasan atau ajaran tertentu, agama itu dapat dengan mudah menjadi kerangka kekerasan dan kerusakan. Ketiga, agama mulai gandrung merindukan zaman ideal, kemudian para penganutnya bertekad merealisasikannya ke dalam zaman sekarang. Banyak contoh kasusnya , seperti gerakan Thaliban di Afganistan, New Religion Right di Amerika, dan kelompok-kelompok agama militan lainnya. Keempat, apabila agama tersebut membenarkan dan membiarkan terjadinya  “ tujuan yang membenarkan cara”, atau dengan kata lain tujuannya menghalalkan cara. Contoh dari peristiwa ini adalah terjadinya konflik antara mayoritas umat Hindu dan minoritas umat Islam di India pada tahun 2002, yang menewaskan ratusan bahkan ribuan umat keduanya.  Kelima, menyerukan perang suci. Contohnya adalah perang salib.

Perbedaan interpretasi tak sedikit yang menyisahkan konflik baik dalam intern suatu agama itu sendiri ataupun dengan agama lain, karena ada bias yang menyelimutinya. Dikatakan oleh kimbal setidaknya ada lima factor yang merusakkan agama, yang apabila kita telisik lebih jauh bahwa konflik yang terjadi bukan disebabkan oleh agama itu sendiri, melainkan kepentingan  dari segelintir orang yang ada di  baliknya. Sekali lagi agama tidak dapat dinilai dari satu sisi yang di tampakkan oleh para penganutnya melainkan mari memahami agama secara holistic dan komprehensif agar anasir-anasir negative terhadap agama tidak memberikan defenisi yang buruk terhadap agama.

Tentu saja persoalan diatas mempunyai kaitan dengan aspek-aspek social, ekonomi, budaya dan politik. Agama, dalam hal-hal tersebut, memiliki nilai-nilainya yang dapat memberikan sumbangan dalam segala aspek tersebut. Untuk itu paling tidak ada 3 hal yang diuraikan dalam buku Quraish Shihab yang dapat ditonjolkan.[6]

  • Agama hendaknya dapat menjadi pendorong bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia.
  • Agama hendaknya memberikan kepada individu dan masyarakat suatu kekuatan pendorong untuk meningkatkan partisipasi dalam karya dan kreasi mereka.
  • Agama dengan nilai-nilainya harus dapat berperan sebagai isolator yang merintangi seseorang dari segala macam penyimpangan.

Ketiga hal tersebut kait-berkait. Kalau ia dapat diibaratkan listrik, maka yang pertama adalah penambahan daya, yang kedua kesinambungan cahaya dan daya, sedang yang ketiga adalah pemeliharaan.

Maka agama dan manusia adalah 2 hal yang tak dapat dipisahan, agama adalah penuntun jalan yang tepat ketika mampu dipahami secara benar baik secara normatif maupun historis, dan manusia sebagai aktor yang menggunakan agama itu sendiri. Agama tidak bisa menggunakan analogi bahwa agama yang baik tergantung manusianya, melainkan interprtasi manusia terhadap agama itulah yang terkadang membuat agama itu tampak sebagai momok yang tak seharusnya di refleksi, karena agamapun itu pada hakikatnya mengantar manusia menuju jalan yang tanpa hal yang menyimpang. 

Dan ketika agama coba untuk dilepaskan dari kehidupan manusia(sekuler) maka berujung pada kehancuran karena tidak adanya pedoman untuk melakukan hal yang seharusnya. Maka bukan agama yang patut untuk di refleksi namun manusia dalam menginterpretasikan ajaran agama itulah yang patut untuk di refleksi.

Demikian, wallahu a’alam

Daftar Pustaka

Kimball, Charles. Kala Agama Jadi Bencana.terj. Nurhadi. Bandung: PT Mizan Pustaka,2003.

Syamsul Arifin “ Memahami Kekerasan atas Nama Agama” dalam Sugiono, Sugeng (ed). Menguak Sisi-sisi Khazanah Peradaban Islam. Yogyakarta: Adab Press, 2008.

TIM. Islam dan Budaya Lokal. Yogyakarta: pokja, 2005

Quraish Shihab. Secercah Cahaya Ilahi.Bandung: Mizan,2002

[1] M.Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi,Mizan, Bandung, 2002.hlm 52

[2] Ibidhlm 53

[3] TIM. Islam dan Budaya Lokal, (Yogyakarta: pokja, 2005).hlm 4

[4] Kimball, Charles. Kala Agama Jadi Bencana.terj. Nurhadi. PT Mizan Pustaka, Bandung,2003. Hlm 8

[5] Ibidhlm 84

[6] Loc.cit hlm.56

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun