Sedari saya kecil, pemandangan orang datang meminta sumbangan sudah familiar adanya. Kadang kala sumbangan yang diminta ditujukan untuk membangun tempat ibadah, memberi kepada pondok pesantren, panti asuhan atau tujuan yang lainnya lagi.
Orang di rumah menyambut kehadiran mereka dengan baik, walau pada akhirnya memberi hanya sekadarnya. lima, sepuluh atau dua puluh ribu di rentang nominal tersebut.
Tidak sekali atau dua kali saja saya dibuat terperangah. Apa sebab? Sebab pada lembaran di dalam stopmap permohonan sumbangan tertera alamat-alamat yang jauh. Yang lebih dari sekali atau dua kali saya jumpai adalah kop surat yang tertera di situ beralamat dari Sumenep, Madura. Â
Ya, Sumenep. Kabupaten paling timur yang terdapat di Pulau Madura. Yang saya baru merasakan betapa jauhnya ngomprengnaik kendaraan umum ke sana beberapa tahun yang lalu.
Dari Purwokerto harus menempuh perjalanan dengan bus semalaman, itu baru sampai Surabaya. Dari Surabaya sambung naik bus sampai Bangkalan, Kabupaten paling Barat di Madura, waktu itu baru saya melanjutkan naik Minibus 4 jam lamanya barulah sampai Sumenep.
Begitulah perjuangan seorang amil sedekah menempuh perjalanan yang begitu jauh demi menghimpun dana yang recehan demi recehan seperti yang didapat dari rumah saya.
Perjalanan yang begitu jauh itu pastilah membutuhkan ongkos. Kendaraan untuk berangkat dan pulang. Ketika sudah sampai kota tujuan kerap mereka kedapatan berjalan kaki dari rumah ke rumah, entah untuk jarak yang seberapa jauhnya. Pastilah membutuhkan akomodasi sekedar pelepas dahaga dan pemulih tenaga. Belum ditambah kebutuhan untuk bermalam.
Sebetulnya pekerjaan semacam itu tidaklah ringan. Dengan kalkulasi sederhana biaya berperjalanan di atas, mereka tidak bisa memperoleh sekedar sedapatnya uang. Dengan kata lain, harus ada target minimal yang mesti dicapai. Karena kalau tidak mencapai target, bisa-bisa perolehan crowd funding justru habis untuk biaya di jalan.
Taruhlah hak bagi amil adalah seperlima dari perolehan uang sedekah. Maka kalkulasi sederhananya, target minimal yang harus mereka peroleh adalah lima kali lipat dari gabungan antara biaya operasional berperjalanan dan insentif alias imbal jasa. Sebab ketika mereka pergi berkeliling menghimpun dana, ada keluarga yang mereka tinggalkan yang harus tetap ngebuldapurnya.
Maka kalau Anda sedekah sepuluh ribu ke pejalan dari Sumenep yang singgah ke rumah  Anda itu, dua ribu atau seperlimanya adalah untuk biaya operasional dan insentif mereka.
Saat ini, sudah semakin jarang  kita jumpai pejalan semacam tersebut. Jaman sudah berubah menjadi begitu praktis. Ada berderet lembaga penghimpun dana sosial buatan ormas maupun swasta.
Namun, dalam beberapa hal mereka tetap mempunyai kesamaan. Yakni misalnya mereka sama-sama tidak berasal dari kota tempat tinggal saya. Serta sama pula seperti orang-orang Sumenep itu, yakni mereka harus pandai-pandai mengejar target agar rasio biaya operasional dan insentif ter-cover.
Menyadari akan hal itu, mereka dalam membuat gedung, merancang program acara maupun pelatihan tidak bisa bermewah-mewah seperti yang perusahaan komersial buat. Sebab, dengan rasio seperlima katakanlah, maka pada setiap satu miliar biaya pembangunan gedung, maka bernilai target lebih dari 5 miliar perolehan penghimpunan dana.
Semakin mewah sarana dan biaya yang timbul, semakin tinggi target dana yang harus dihimpun. Apabila target tidak tercapai, maka akan beresiko rasio distribusi dana bagi subyek penerima sedekah menjadi terganggu.
Jatah untuk anak-anak yatim, janda-janda tua dan orang-orang jompo yang tidak mampu dibalik dijadikannya mereka brand program, adalah amanah yang harus dipegang dengan erat, seerat kaum pejalan dari Sumenep menenteng stopmapnya.[]rz
---
Tulisan ditayangkan pula di : sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H