Mohon tunggu...
Rizky D. Rahmawan
Rizky D. Rahmawan Mohon Tunggu... Entrepreneur -

Menyukai jalan-jalan. Mencari inspirasi, mengulik potensi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Peluru

22 Juli 2017   19:32 Diperbarui: 22 Juli 2017   20:27 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Lidah Selongsong Peluru

"Ajal" itu terjadi di Kepulauan Seribu. Lidah menjadi selongsong bagi peluru momentum yang melahirkan keadaan seperti yang hari ini kita saksikan, petahana yang bukan hanya gagal mempertahankan kekuasaannya, tetapi juga harus pensiun dini dan beristirahat di pesanggrahannya. 

Seorang saudara yang tinggal di ibukota, saat mudik Lebaran kemarin berkisah kepada saya tentang hari pemilihan yang lain dari sebelum-sebelumnya. Tempat Pemungutan Suara (TPS) bukan hanya dikawal oleh Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan para saksi yang resmi terdaftar dan dihonori. Tetapi juga hadir di tiap-tiap TPS orang-orang yang mengaku sedang mengikuti Wisata Al-Maidah. 

Pelancong Al-Maidah itu tidak ngapa-ngapain, begitu saudara saya bertutur. Tetapi kehadirannya cukup membuat bergidig, sehingga saudara saya itu mengaku terpaksa cukup mendukung petahana dalam hati, was-was kalau mencoblosnya.

Kepulauan Seribu adalah ajal bagi me-mahsyur-nya Al-Maidah ayat 51 secara begitu seketika. Ajal dalam definisi bahasa Indonesia telah mengalami reduksi dari muatan makna menurut bahasa asalnya, yakni momentum. Tidak perlu dibacakan seribu atau sejuta Qori', kalau Allah menghendaki momentum bisa lahir terjadi, semua perhatian tertuju pada Al-Maidah 51. Dari obrolan di warung kopi hingga talkshow bergengsi di televisi. 

Bukan hanya berujung pada obrolan dan diskusi. Momentum tersebut juga melahirkan aksi-aksi. Aksi-aksi bernomor cantik mencuat, memagnet puluhan bahkan ratusan ribu orang dari berbagai penjuru untuk mengikuti. 

Perluas Medan Perang 

Saya terbiasa untuk tidak ikut latah pada apa yang sedang ramai menjadi mainstream.Ketika aksi-aksian marak, saya lebih memilih untuk menahan diri. Di saat-saat saya menahan diri itulah saya menemukan pernyataan jernih di forum Maiyahan Kenduri Cinta. Di dalam forum itu Cak Nun berpesan, "Perluas Medan Perang!".

Berputar mesin di benak saya bahwa memang Kepulauan Seribu benar-benar hanyalah peluru. Bukan kepada peluru itu kita harus fokus, tetapi pada keadaan yang lebih luas, bentuk-bentuk kecurangan, ketidakadilan dan kedzaliman yang ada di seputar pemantik peluru tersebutlah yang harus kita gempur. Sebab kalau terlalu sempit medan perang, andai pun berhasil apa yang menjadi tujuan, tetap akan melahirkan luka dan pertentangan yang lebih besar sesudahnya.

Dan benar saja, tak ada yang hirau dengan pesan tersebut. Peluru yang satu butir itu dibuat panas membara yang berujung pada sentimen agama. Akhirnya lahir keterbelahan yang menganga mengerikan, kelompok pro keberagaman dan anti keberagaman. Sebuah pemecah belahan yang sebetulnya sangat terasa "maksa" tetapi menjadi bola salju yang menggelinding kian besar dari hari ke hari.

Bagaimana tidak kian menggelinding membesar kalau justru keterbelahan tersebut diangkat menjadi hidden tema kampanye pemenangan. Sebuah gagasan yang bukan hanya tidak genius, tetapi konyol bukan kepalang. Konon, digelindingkannya tema tersebut ditengarai menjadi salah satu penyebab harus dideranya pahit getir kekalahan.

Momentum Legit bagi para Buzzer

Tidak ada yang untung dari situasi keterbelahan. Pelaku politik di lapangan terkaget-kaget oleh tidak tertebaknya skenario. Jangankan pemain, bahkan sutradara dan penulis naskah di balik layar pun semakin bias untuk mengamati dan menganalisa untuk kemudian merancang bangun skenario-skenario baru. 

Hal apa hari ini yang tidak jadi pertentangan. Redaktur media massa pun kewalahan menyusun plot berita. Dunia maya diterima atau tidak diterima kini memberi pengaruh besar pada lahir dan tenggelamnya sebuah berita, sungguh merecoki kedaulatan redaktur-redaktur media massa. Ini pun menjadi momentum legit bagi para buzzer untuk memburu traction. 

Lalu bagaimana kita sebagai audiens dunia Maya memilah, antara mencuatnya berita yang alamiah dan mana yang merupakan suguhan lapis legit dari para buzzer? Dengan rendahnya journalisme awareness lebih-lebih cekaknya kuota internet, paling praktis memang ikut latah saja pada apa yang sedang ramai. 

Merasa paham keseluruhan, padahal hanya fragmen. Merasa berhak ber-statement padahal bukan bidang dan kapasitasnya. Semua itu adalah penyakit yang sangat umum saat ini yang cukup diuntal dengan puyer. 

Sayangnya di mesin digital informasi yang super duper canggih ini kita masih memperlakukannya secara sendau gurau. Menjadikan celoteh sebagai statement. Memenggal fragmen dan menceraikannya dari keutuhan. Tidak sadar satu klik send ada ratusan penerima yang siap melahapnya. Kalau setiap mereka juga mempunyai sejumlah ratusan audiens di gadget yang mereka genggam, tak pernah difikir berapa hitungan fitnah yang menyebar jika apa yang kita ungkap bukanlah sebuah kebenaran atau sesuatu yang jernih.

Padahal tidak perlu melamar apa-apa untuk menjadi buzzer. Kalau kita paham peta, mengerti keseluruhan dari sebagian maka setiap kita bisa menjadi pelontar peluru dari apa-apa saja yang sebetulnya adalah sesuatu yang baik. 

Lagi-Lagi Perluas Medan Perang

Hari ini umat dengan umat sedang dibuat berantem. Bapak dan anak juga Kakek dan cucu dibuat jengkelan. Ilmu parenting kontemporer sepertinya telah benar-benar mencerabut model pendidikan alamiah yang kita miliki. 

Kegagalan parenting individu sudah dicontohkan oleh berbagai kasus pelanggaran HAM oleh guru yang berakahir di balik jeruji besi sebab mencubit muridnya. Pun demikian kegagalan parenting kita sebagai bangsa, senakal apapun anak bangsa berbuat yang disalahkan adalah orang tuanya yang menjewer. Meskipun menjewer dengan kasih sayang untuk kebaikan anaknya. 

Yang dipahami masyarakat semua harus dielus-elus, yang diterima di masa kini adalah pola pendidikan dengan afirmasi. Tak ada cubit, tak ada jewer, tak ada setrap, meskipun anak sudah berbuat bandel. Kalau ada cubit, jewer dan setrap semua perhatian tertuju pada orang tua yang melakukan itu. Tidak ada yang menyelisik, gerangan kesalahan sebesar apa yang telah diperbuat si anak sampai dia dijewer? 

Mendadak weling untuk "Perluas medan perang!" menggelayut di benak saya lagi. Peluru jenis apakah gerangan yang hari ini terlontar? Dan mengarah kemana peluru tersebut? Maka, ajal apa yang sebetulnya sedang Allah hadirkan hari ini? 

Lalu, ada di posisi mana kita berada? Menjadi buzzer yang memanfaatkan momentum ini untuk mendulang keuntungan? Atau menjadi pengamat yang mencoba mencari kealamiahan diantara manipulasi-manipulasi lalu kemudian menyuguhkan kejernihan? 

Apakah kita akan berhasil me-utilisasi peluru kali ini? Atau kembali gagal mengolah momentum dan membiarkannya berlalu. []

   

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun