Momentum Legit bagi para Buzzer
Tidak ada yang untung dari situasi keterbelahan. Pelaku politik di lapangan terkaget-kaget oleh tidak tertebaknya skenario. Jangankan pemain, bahkan sutradara dan penulis naskah di balik layar pun semakin bias untuk mengamati dan menganalisa untuk kemudian merancang bangun skenario-skenario baru.
Hal apa hari ini yang tidak jadi pertentangan. Redaktur media massa pun kewalahan menyusun plot berita. Dunia maya diterima atau tidak diterima kini memberi pengaruh besar pada lahir dan tenggelamnya sebuah berita, sungguh merecoki kedaulatan redaktur-redaktur media massa. Ini pun menjadi momentum legit bagi para buzzer untuk memburu traction.
Lalu bagaimana kita sebagai audiens dunia Maya memilah, antara mencuatnya berita yang alamiah dan mana yang merupakan suguhan lapis legit dari para buzzer? Dengan rendahnya journalisme awareness lebih-lebih cekaknya kuota internet, paling praktis memang ikut latah saja pada apa yang sedang ramai.
Merasa paham keseluruhan, padahal hanya fragmen. Merasa berhak ber-statement padahal bukan bidang dan kapasitasnya. Semua itu adalah penyakit yang sangat umum saat ini yang cukup diuntal dengan puyer.
Sayangnya di mesin digital informasi yang super duper canggih ini kita masih memperlakukannya secara sendau gurau. Menjadikan celoteh sebagai statement. Memenggal fragmen dan menceraikannya dari keutuhan. Tidak sadar satu klik send ada ratusan penerima yang siap melahapnya. Kalau setiap mereka juga mempunyai sejumlah ratusan audiens di gadget yang mereka genggam, tak pernah difikir berapa hitungan fitnah yang menyebar jika apa yang kita ungkap bukanlah sebuah kebenaran atau sesuatu yang jernih.
Padahal tidak perlu melamar apa-apa untuk menjadi buzzer. Kalau kita paham peta, mengerti keseluruhan dari sebagian maka setiap kita bisa menjadi pelontar peluru dari apa-apa saja yang sebetulnya adalah sesuatu yang baik.
Lagi-Lagi Perluas Medan Perang
Hari ini umat dengan umat sedang dibuat berantem. Bapak dan anak juga Kakek dan cucu dibuat jengkelan. Ilmu parenting kontemporer sepertinya telah benar-benar mencerabut model pendidikan alamiah yang kita miliki.
Kegagalan parenting individu sudah dicontohkan oleh berbagai kasus pelanggaran HAM oleh guru yang berakahir di balik jeruji besi sebab mencubit muridnya. Pun demikian kegagalan parenting kita sebagai bangsa, senakal apapun anak bangsa berbuat yang disalahkan adalah orang tuanya yang menjewer. Meskipun menjewer dengan kasih sayang untuk kebaikan anaknya.
Yang dipahami masyarakat semua harus dielus-elus, yang diterima di masa kini adalah pola pendidikan dengan afirmasi. Tak ada cubit, tak ada jewer, tak ada setrap, meskipun anak sudah berbuat bandel. Kalau ada cubit, jewer dan setrap semua perhatian tertuju pada orang tua yang melakukan itu. Tidak ada yang menyelisik, gerangan kesalahan sebesar apa yang telah diperbuat si anak sampai dia dijewer?