Mohon tunggu...
Rizky D. Rahmawan
Rizky D. Rahmawan Mohon Tunggu... Entrepreneur -

Menyukai jalan-jalan. Mencari inspirasi, mengulik potensi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Agus Sukoco, Mendidik Masyarakat dan Birokrat dengan Pendekatan Dekonstruksi Berpikir

24 Januari 2016   12:40 Diperbarui: 31 Januari 2016   22:46 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Pemimpin dalam masyarakat lebah sudah dipilihkan langsung oleh Tuhan. Sedangkan manusia, kita masih harus direpotkan untuk memilih pemimpin diantara kita". Ungkapan tersebut adalah salah satu sentilan Agus Sukoco kepada masyarakat di Kabupaten Purbalingga dalam rangka mengajak berpikir dekonstruktif mengenai proses pemilihan kepala daerah beberapa waktu yang lalu. Agus sengaja menjadikan masyarakat lebah sebagai analogi, dimana di masyarakat lebah proses pemilihan ratu diantara mereka masih berlangsung alamiah, spesifikasi dan kriteria yang sudah disiapkan Tuhan diiyakan begitu saja untuk masyarakat lebah mengangkat ratu sebagai pemimpin mereka. Masyarakat dan para tokohnya diajak untuk mau membuka pikiran membaca ketidakalamiahan dan rekayasa yang berlangsung dalam mekanisme pemilihan pemimpin yang saat ini dianut oleh bangsa ini.

Sentilan Agus Sukoco untuk mengajak berpikir dekonstruktif mengenai kepemimpinan pertama kali ia torehkan dalam orasi kebudayaan bertajuk "Mandat Suci Kepemimpinan". Gagasan tersebut disampaikan dalam forum dialog budaya dengan menghadirkan Muspida Purbalingga, pejabat Pemkab dan para tokoh masyarakat di Kabupaten Purbalingga. Agus Sukoco sengaja membawakan gagasan tersebut semoderat mungkin dengan kemasan kebudayaan, dengan harapan gagasan tersebut dapat diterima secara maksimal dengan reaksi penolakan yang minimal. Karena capaian dari dilontarkannya gagasan tersebut bukanlah mengincar kedudukan tertentu atau menggoyang posisi seseorang di jabatan tertentu, tetapi semata-mata bertujuan memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai berpolitik sesuai akal sehat.

Bagi pria kelahiran Purbalingga 8 September 1976 ini, karier untuk menduduki jabatan dan posisi tertentu bukanlah sesuatu yang ia idam-idamkan. Disela-sela kesibukannya sebagai seorang yang berprofesi di dunia perbankan, Agus Sukoco aktif berinteraksi dengan berbagai kalangan. Tanpa memiliki bendera LSM tertentu, Agus Sukoco terbiasa diminta duduk sejajar bersanding bersama para tokoh LSM dan penggerak sosial untuk mengatasi berbagai problematika sosial di Kabupaten Purbalingga. Di kalangan Nahdlatul Ulama, ia termasuk salah satu tokoh muda paling pro-aktif dengan dipercaya memegang jabatan sebagai Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan SDM di dalamnya. Ia yang sejak puluhan tahun silam dekat dengan masyarakat dan kaum jalanan, kerap didatangi kalangan pemerintah untuk menjadi penyambung birokrasi dengan rakyat. 

Gagasan "Mandat Suci Kepemimpinan" kemudian bertransformasi menjadi "Mandat Politik Walisongo". Masyarakat dan para tokohnya seolah diajak untuk rehat sejenak dari keimanan yang mutlak kepada demokrasi, untuk melihat kemungkinan adanya konsep-konsep alternatif mengenai kepemimpinan dan kekuasaan sebelum Demokrasi hadir di negeri ini. Agus Sukoco mencoba mengubah pengenalan yang sempit terhadap peran Walisongo yang hanya sebatas juru dakwah, karena fakta sejarah menyebutkan bahwa Walisongo memiliki peran strategis di bidang politik, kekuasaan dan penataan masyarakat.

Agus Sukoco mencoba mengangkat hubungan Sunan Kalijaga dan Raden Patah dalam Kesultanan Demak, Sunan Kalijaga sang Walisongo menjadi Sesepuh, sebagai pengayom juga penasehat. Sedangkan Raden Patah sebagai eksekutornya. Inspirasi Sunan Kalijaga dan Raden Patah sebetulnya masih dibawa hingga awal berdirinya NKRI, yakni KH. Hasyim Asy'ari sebagai representasi spiritualitas Bangsa sebagai sesepuh, dan Bung Karno sebagai representasi nasionalis sebagai eksekutornya. Agus Sukoco mengkhawatirkan hilangnya inspirasi brilian tersebut saat ini, sehingga yang terjadi adalah gelaran penobatan penguasa yang semakin hari semakin jauh dari tatanan masyarakat ideal.

Ujung dari letupan gagasan-gagasan "radikal" yang dibawakan secara kultural dengan demikian moderat oleh Agus Sukoco tersebut adalah memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai pendidikan kepemimpinan, politik dan penataan masyarakat. Edukasi tersebut sebetulnya adalah tugas dan tanggung jawab partai politik. Akan tetapi Agus Sukoco mengambil sejumput peran tersebut, karena partai politik kini alpa kepada tugasnya. 

Indikasi yang ditemukan oleh Agus Sukoco berikutnya adalah bahwa yang terjadi dalam tananan masyarakat saat ini adalah hilangnya sesepuh. Ia membuat analogi, ibaratnya negara ini adalah sebuah rumah. Rakyat adalah anak-anak di dalam rumah tersebut. Sedangkan Pemerintah adalah pembantu yang diberi imbalan untuk melayani. Serapih apapun aturan di sebuah rumah, kalau tidak ada orang tua, maka anak-anak bisa berbuat sekehendak hati, bertengkar satu sama lain. Lalu, siapakah orang tua di dalam rumah bernama negara? 

Rekontekstualisasi lokal dari analogi tersebut, ibarat Kabupaten Purbalingga adalah sebuah rumah, rakyat purbalingga adalah anak-anaknya. Pemerintah adalah pembantunya. Lalu siapakah orang tua Purbalingga? Gagasan ini tidak dianggap sebuah penemuan yang berarti, karena cara berpikir orang modern selama ini tidak menemukan pembeda antara ada dan tidak ada orang tua di "rumah" bernama negara atau kabupaten. Yang dipersalahkan selalu saja sistem dan aturan, tidak mencoba menelusuri kebobrokan yang terjadi saat ini kepada sebab yang lebih mengakar. 

Butuh waktu panjang untuk mengajak masyarakat menemukan keberadaan "orang tua", kemudian menengahkannya dalam artian memberikan legitimasi untuk melakukan intervensi kekuasaan. Oleh karenanya, Agus Sukoco mencoba tidak terburu-buru dan larut dalam obsesi. Tahap yang baru bisa dicapai saat ini baru pada tahap memberikan lontaran-lontaran gagasan dengan tujuan menggoda masyarakat dan para tokohnya untuk mau berpikir lebih luas. 

Ditengah mengerjakan gagasan besar mengenali kembali sesepuh, menemukan dan menengahkan "orang tua" kultural, Agus Sukoco disibukkan dengan permintaan penyelesaian problematika sosial yang kasuistik. Ia kerap diundang untuk mengisi orasi budaya di kalangan institusi pemerintahan dengan menyampaikan tema seputar rekonstruksi kepemimpinan dan paradigma kerja birokrasi. Kejaksaan Negeri Purbalingga adalah salah satu institusi yang intens berdialog, berkonsultasi dan memberikan ruang. Diantara edukasi yang ia tanamkan kepada para Jaksa adalah bahwa profesi Jaksa adalah pejabat Negara sekaligus pejabat Langit. Jaksa menjadi kepanjangan tangan Tuhan untuk menegakkan hukum-Nya "Faman ya'mal mitsqaala dzaratin khairay yarah, waman ya'mal mitsqaala dzaratin syarray yarah", yang kurang lebih artinya barang siapa mengerjakan kebaikan sebesar biji, maka kebaikan balasannya. Barangsiapa mengerjakan keburukan sebesar biji, maka keburukan balasannya. Dikuatkan lagi dalam putusan peradilan selalu tertera "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Dasarnya berpangkal dari Tuhan, bukan semata demi Negara. 

Dari urusan para Jaksa hingga pedagang keliling diterima di kediaman sederhananya di Desa Sokawera, Kecamatan Padamara, Kabupaten Purbalingga. Pedagang Somay diajak berpikir dekonstruktif bahwa berdagang bukanlah kegiatan mencari uang. Membuat somay dan mendorong gerobak keliling adalah dalam rangka memberi makan makhluk-makhluk Tuhan, kalau Tuhan senang dengan perbuatan itu, rejeki sudah pasti akan Dia turunkan. Cara berpikir semacam ini menjadi energi yang lebih steady ditengah peliknya persaingan dan melelahkannya berprofesi menjadi pedagang kecil.

Agus Sukoco menerima semua kalangan dengan baik. Ia adalah salah satu dari sedikit saja tokoh muslim di Purbalingga ketika hari raya Islam mendapat kunjungan dari pastur dan pendeta. Agus Sukoco beberapa kali menjadi narasumber seminar dan diskusi di gereja. Untung saja Agus Sukoco bukan figur populer yang lezat dimata infotainment, sehingga tuduhan kafir dan sesat tidak diarahkan kepadanya. Perlu menjadi pemahaman bersama bahwa forum lintas agama yang Agus ikuti adalah seminar atau dialog, bukan ceramah keagamaan. Agus menjalani prinsip, Agama adalah urusan dapur masing-masing, yang kita sajikan kepada khalayak adalah sajian bernama akhlak sosial yang baik.

Agus Sukoco sangat memelihara tradisi leluhur. Bukan berarti semua ritual leluhur dilaksanakan, tetapi nilai-nilai luhur di dalam ritual warisan leluhur yang seringkali dijadikan bahan diskusi di Padepokan Ki Ageng Juguran yang ia asuh. Bagaimana leluhur memiliki adab yang demikian luhur kepada orang tua, bagaimana leluhur memiliki sistem yang demikian cerdas untuk menjaga "jamaah" dan solidaritas sosial. Banyak sekali nilai-nilai luhur itu hilang dan Agus Sukoco mencoba membangunnya kembali di kalangan generasi Purbalingga. Diantara konsep yang dikenalkan kepada generasi muda Purbalingga adalah diuri-urinya prosesi "nedhak-sungging" atau melacak dan mengenali silsilah dalam keluarga, kemudian mengenalkan konsep ekonomi berbasis "manajemen brayan" dan banyak lagi kontekstulasisi ajaran leluhur dengan kekinian lainnya.

Sayangnya, tradisi menulis dan menginventarisir belum berlangsung baik di Padepokan Ki Ageng Juguran dan forum diskusi yang intensif berlangsung didalamnya, sehingga karya-karya pemikiran Agus Sukoco masih tercerai-berai belum tersusun rapih dan apik. Beberapa gagasan dekonstruktif dan kontekstual Agus Sukoco juga dimuat di media massa lokal serta media online. Sejauh sepak terjang Agus Sukoco yang saya ikuti, saya tidak melihat ada kedudukan tertentu yang ia incar. Sehingga Agus tidak melakukan personal branding dalam segi apapun.

Disamping menorehkan pemikiran dalam bentuk tulisan, menyampaikannya dalam diskusi publik dan dialog serta memberikan orasi kebudayaan, Agus juga menciptakan beberapa lirik lagu. Mini Album yang pertama menjadi kiprah Kelompok Musik Ki Ageng Juguran diberi nama "Tahta Cinta". Sebuah kumpulan lagu kontemplatif dan refleksi diri yang cocok dikonsumsi oleh generasi muda. Dari karya yang ia hasilkan, Agus kerap disebut sebagai budayawan serta pemerhati budaya.

Namun, ia juga tidak mengambil pusing ketika orang-orang dari kalangan pedesaan kerap datang ke rumahnya dengan memposisikannya sebagai ahli spiritual. Orang dari kalangan pedesaan datang berobat kepadanya sebagai paranormal atau bahkan mungkin mereka anggap dukun. Agus menerima orang-orang tersebut tetap dengan cinta dan kasih sayang, sembari tulus mendoakan masalah dan sakit yang sedang mereka hadapi. Kerap kali para pasien yang datang tersebut memberikan kabar kondisinya sudah membaik sesudahnya. Agus sendiri tidak pernah paham atas mekanisme kesembuhan yang terjadi, ia mengaku tidak memiliki kesaktian apapun. Ketulusan doa kepada Tuhanlah yang menjadi perantara kesembuhan orang-orang tersebut.[]

 

 

Tulisan terkait :

1. Agus Sukoco, Gafatar Dibuatnya Antipati 

2. Agus Sukoco, Meruhanikan Pekerjaan Petugas Negara

3. Agus Sukoco, Membangun Tradisi Berpikir di Masyarakat

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun