Diantara dua murid Guru Bangsa Tjokroaminoto yang menonjol adalah Agus Salim dan Semaun. Meskipun berguru pada orang yang sama, kedua orang ini memiliki sudut pandang yang berbeda. Semaun bersikeras bahwa pemberdayaan ekonomi harus dipriotitaskan, sementara Agus Salim berpendapat bahwa pendidikanlah prioritas utama. Perdebatan alotpun terjadi diantara keduanya, hingga selang 2 dekade berlalu kemudian Indonesia Merdeka. Agus Salim mendapat amanah menjadi menteri, sementara Semaun hidup dalam pembuangan oleh pemerintah Hindia Belanda sebelum akhirnya dipanggil pulang oleh Soekarno.
Kerinduan akan Indonesia Baru saat ini, mungkin kurang lebih sama dengan kerinduan akan kemerdekaan ketika seabad yang lalu di era Tjokroaminoto, Agus Salim dan Semaun. Kala itu banyak pergerakan berdiri, sama seperti hari ini, baik social movement maupun youth movement tumbuh dimana-mana. Bagaimana kita bisa mengambil pelajaran dari sejarah, ditengah hiruk-pikuk pergerakan yang semakin hari semakin banyak? Dimana kebanyakan diantara mereka concern pada pemberdayaan ekonomi dimana-mana.
Sepertinya kita masih luput untuk menginstrospeksi cara kita membangun pendidikan. Apa yang dikeraskepalai oleh Agus Salim ada benarnya. Kita saksikan saat ini pembangunan dalam bentuk pemberdayaan ekonomi banyak yang ujungnya sad-ending. Ketika suatu kelompok masyarakat dibina, dibuat mampu berpenghasilan lebih, kemudian mereka bertengkar satu sama lain berebut hasil bagi yang lebih besar. Ketika sebuah daerah diberdayakan, alam dieksploitasi hingga berdampak kerusakan. Ketika masyarakat dimudahkan mengakses uang, budaya konsumtif merekapun meningkat secara berbanding lurus.Â
Agus Sukoco saat ini, memilih menapaki jalan yang ditempuh oleh Agus Salim : Membangun pendidikan. Bukan bangunan sekolah yang ia bangun, Agus hanya melakukan langkah sederhana menghidupkan tradisi berpikir di tengah masyarakat. Sekitar 10 tahun Agus konsisten dalam melakukan perjuangan ini, kerap ia ditagih oleh masyarakat dan pejabat yang datang dengan pertanyaan : "Hasil kongkrit dari perjuanganmu mana?"
Kalau seorang petani berpenghasilan 10 ribu rupiah sehari lalu diperjuangkan untuk bisa memperoleh dua kali lipatnya, itu disebut kongkrit. Kalau seorang anak bersekolah, lalu mendapat ijazah dan mendapat pekerjaan dengan gaji yang bagus, itu sebut kongkrit. Tapi kalau masyarakat desa yang biasa genjreng-genjreng gitar di pos ronda kemudian memiliki tradisi berpikir bak kaum intelek, itu tidak disebut kongkrit. Ketika sekelompok orang yang gemar minum-minuman keras dan main kartu berubah menjadi gemar berdiskusi, masih ditagih dengan pertanyaan : "Lalu, hasil diskusi kalian itu akan disalurkan kemana?". Sepertinya kita memang sudah terlalu berorientasi materiil.
Pemberdayaan ekonomi seperti yang diperjuangkan banyak social movement maupun youth movement saat ini, juga yang diperjuangkan Semaun seabad yang lalu adalah solusi jitu atas darurat sosial berupa masalah kemelaratan dan kriminalitas. Namun, harus disadari bahwa pemberdayaan ekonomi bukanlah solusi utuh atas masalah besar bangsa.Â
Masalah besar bangsa ini adalah kehilangan akar sejarah, kehilangan landasan berpikir. Kita terjebak dalam path dependence, alias ketergantungan pada alur berpikir buatan orang lain. Untuk membandingkan, lihat negara tetangga Malaysia, mereka telah memindahkan ibukota negara dari Kuala Lumpur ke Putrajaya. Mereka telah dua kali membangun Istana Negara baru. Sementara kita, akut terjebak pada path dependence bahwa ibukota negara adalah Jakarta, Istana negara adalah bangunan bekas Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Lihat pula negara tetangga lainnya, Filipina, mereka telah mengakomodir hukum agama (Katolik) dan hukum adat ke dalam hukum negara mereka. Sementara itu, kita masih terjebak pada path dependence bahwa hukum adalah KUHP. Panduan hukum yang kita adopsi dari Negeri Belanda.
Ketergantungan pada alur berpikir buatan orang lain terjadi pada begitu banyak hal. Ia tidak selesai dengan pemberdayaan ekonomi, ia hanya bisa dibangun secara evolutif melalui pembangunan tradisi berpikir, tradisi intelektual. Absennya tradisi intelektual bukan hanya tercermin dari fenomena path dependence, tetapi dapat kita lihat dari riuhnya "Tong kosong nyaring bunyinya" di jagad sosial media saat ini. Informasi diterima seseorang mentah-mentah, lalu oleh orang itu disajikan secara terburu-buru. Perdebatan dan polemik tanpa ujung terjadi setiap hari di sosial media di banyak tema mulai dari tema sensitif hingga tema yang remeh temeh.Â
Tradisi berpikir bagi sebagian orang mungkin dipandang hanya milik kalangan terdidik di kampus-kampus. Agus Sukoco mencoba menyederhanakan tradisi intelektual dari metodologi ilmiah yang rumit, menjadi lebih sederhana : berpikir menggunakan pola. Dengan penyederhanaan seperti ini, segerombol anak muda di pos ronda pun bisa mentradisikannya jika mereka mau.Â
Pola yang digunakan oleh Agus Sukoco adalah : 1) Menyerap Informasi, 2) Mengkontekstualisasi atau mengolahnya dan 3) Menyajikannya secara tepat. Ini adalah pola yang sangat sederhana. Tetapi sekalipun sangat sederhana, banyak orang kita saksikan di sosial media sama sekali tidak mampu menerapkan pola ini dalam cara berpikir mereka. Ia serap informasi yang bersesuaian dengan kepentingan dan sesuatu yang sudah ia yakini. Terhadap informasi itu tidak dilakukan refleksi dan kontekstualisasi. Lalu secara bias segmen ia sebarluaskan informasi itu. Dan sungguh miris akibatnya setelah itu, kita over dosis informasi, tetapi krisis rujukan.Â
Dengan cara berpikir yang sudah terbangun, kita tidak mudah terprovokasi oleh informasi dari berita. Dengan cara berikir yang terbangun, kita menemukan kontektualisasi dari dalil-dalil agama untuk diaplikasikan dalam keseharian. Dengan cara berpikir yang terbangun, kita menjadi masyarakat yang kuat bukan menjadi follower generation tetapi sebagai flower generation.[]