Mohon tunggu...
Rusdianto Samawa Tarano Sagarino
Rusdianto Samawa Tarano Sagarino Mohon Tunggu... Dosen -

Membaca dan Menulis adalah Mutiara Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Keadaban Hakim Pra Peradilan

13 Oktober 2015   14:05 Diperbarui: 13 Oktober 2015   14:13 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Masih kata Tubagus RRN, bahwa apabila hakim telah melakukan accupational crime, maka daya rusaknya sangat luas. Kejahatan ini tidak hanya merugikan pihak yang berperkara, melinkan juga merusak tatanan hukum yang berlaku. Sekalipun negara kita tidak menganut sistem common law, posisi hakim dalam pembentukan hukum (Judges made law) tetap penting. Yurisprudensi yang kacau, kalaupun tidak merusak sistem hukum secara keseluruhan, paling tidak akan mengacaukan penegakan hukum, sebagaimana yang terjadi antara KPK, pengadilan dan Polri saat ini. Bgaimanapun, antara hukum dan hakim tetap ada jarak keduanya, karena memang berbeda. Karena itu, setiap tindakan hakim dalam memutus suatu perkara, senantiasa tafsir hakim atas hukum. Karena tafsir yang paling dominan dalam pengambilan keputusan adalah nurani diri pribadi hakim. Tingkat keterampilan pengetahuan, integritas, nilai kejujuran dan keyakinan hakim sangat menentukan kualitas suatu putusan yang di jatuhkan.

Saidpun (1998:51) ikut pertegas, apabila kepentingan pribadi hakim dalam suatu perkara sangat kuat, maka dapat di duga hasil putusan yang ambil tak akan mencerminkan rasa keadilan. Segala pertimbangan hukum yang di tuangkan dalam putusan menjadi faktor pembenar bagi motif pribadi hakim. Semua perkara di tujukan untuk tujuan pribadinya. Tiada seorangpun yang dapatmenjadikan hakim yang baik di dalam kepentingannya sendiri (nemo iudex idoneus in propria causa).Kesalahan yang terus menerus ditradisikan adalah kesalahan yang disebabkan ketidaksabaran, minus integritas, hakim sehingga terlalu dini menyempal dari rasa keadilan dan melabrak prosedur hukum yang sudah baku sehingga terjebak hanya pada kepentingan diri sendiri dan kelompok. Tak heran bila banyak orang skeptis terhadap proses hukum dan keadilan.

Tetapi, selama ini belum memunculkan upaya keadaban dan berkeadilan dalam proses tindak pidana korupsi dan tindak pidana lain di luar korupsi misalnya tindak pidana imigrasi, tindak pidana kehutanan, tindak pidana pasar modal dan lain-lain dilakukan oleh penyidik yang bersangkutan PPNS tapi tidak diatur siapa penyelidiknya artinya tindak pidana-tindak pidana yang dilakukan tadi disebutkan dalam ranah itu yang dilakukan penyelidik juga tidak sah (Ibid, Indriyanto Seno Adji Kompas, 5/6/2015).

Penyebabnya terletak pada sikap yang ditunjukkan, sejauh mana tindakan hakim mewarnai putusan yang memiliki substansi keadilan sehingga dapat dinilai bahwa hakim tersebut tidak berusaha intervensi proses hokum sedang berjalan. Namun, karena pribadi hakim sangat melekat dan dominan dalam putusan maka sangat sulit untuk mengetahui motif kepentingannya. Itulah proses hukum yang sebetulnya perlu di reformasi dan memiliki peluang untuk di intervensi oleh lembaga penegak hukum lain.

Adnan buyung Nasution (Kompas, 27/5/2015) berpandangan bahwa Mahkamah Agung seharusnya melakukan intervensi agar upaya pemberantasan korupsi dapat berjalan sesuai koridornya. Tak hanya itu, negara dan lembaga legislatif juga harus turun tangan untuk mengantisipasi terjadinya gelombang praperadilan oleh tersangka kasus korupsi meluas. Kalau perlu bentuk lembaga praperadilan di bawah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Karena kejahatan korupsi ini kejahatan khusus, sehingga perlu penanganan hakim yang memiliki spesifikasi kemampuan khusus.

Hal tersebut, sesuai ungkapan Johan Budi SP (5/6/2015) bahwa tenaga penyidik di lembaga penegak hukum seperti KPK jumlahnya terbatas dengan wilayah kerja dari Aceh hingga Papua. Tidak bertambahnya penyidik dengan perbandingan jumlah personal kasus mengajukan praperadilan sehingga memengaruhi kecepatan dari proses pengusutan kasus korupsi itu. Gelombang praperadilan yang terus menerus menyita perhatian. Dengan segala keterbatasan itu, tentu berusaha bekerja maksimal untuk menuntaskan semua kasus korupsi.

Padahal, apabila hakim memakai logika hukum yang melekat dalam setiap putusan atau ketetapan yang wujudnya berupa teknis hukum, atas kepentingan yang dijalankan oleh hakim maka perdebatan menjadi sulit di berhentikan bahkan persoalan bergeser pada benturan antar lembaga hokum negara yang sebelum memiliki dasar hukum yang kuat dan diatur oleh Undang-undang. Dari sudut pandang hokum itu sendiri, jabatan hakim dapat digunakan secara leluasa di dalam proses hokum itu sendiri, dibandingkan dengan profesi penegak hokum lainnya. Manakala hakim berkomplotan melakukan kejahatan hokum dalam proses praperadilan maka kerusakan Negara nyaris sempurna. Sebab kejahatan itu terbungkus rapat oleh hokum itu sendiri. Hal ini terjadi karena hakim berusaha mencampuri pihak manapun dengan logika hukumnya sendiri.

Apalagi menjalankan proses hokum oleh hakim memakai pendekatan kekuasaan dan tanpa control sehingga tak dapat dielakan dari cara-cara mengadili koruptor pun dengan cara yang korup pula. Bila hakim manapun melakukan konspirasi bersama kekuatan kekuasaan politik, maka tentu peradaban hakim akan terkunyah zamannya sendiri tanpa bias melahirkan hukum yang adil dan beradab. Poros peradaban hokum selama ini yang diyakini berada pada hakim harus di pertanyakan kembali. Pasalnya rakyat atau masyarakat seolah-olah puasa keadilan sehingga sangat dahaga dan haus terhadap pemberlakuan hukum yang adil di negeri ini.

Agar keahlian hakim tidak menjadi tumpul, maka kemampuan yang sudah di milikinya harus di pertajam melalui proses pembelajaran dan pengalaman persidangan agar bentuk-bentuk sidang praperadilan yang di ajukan para pelaku kejahatan tidak harus di laksanakan dengan pertimbangan rasionalitas kasus maupun hukum. Karena hokum menjadi lahan subur untuk menetapi keadilan dan membentuk peradaban manusia yang jujur dan bertanggungjawab. Di dalam mengemban tugas sebagai hakim tentu harus memiliki prinsip adil dan memenuhi unsur-unsur yang terkandung di dalam kandungan hukum, dan benar-benar melihat fakta yang terjadi dilapangan serta merasakan langsung apa yang sedang menjadi kerisauan masyarakat.

SatjiptoRahardjo (kompas, 3/2/1997) orang terkadang mengumpamakan hokum itu sebagai gerobak yang dapat dimuati berbagai barang, artinya tidak hanya satu jenis barang yang dapat di muat. Perumpamaan ini ingin mengatakan bahwa hokum dapat dimuati berbagai macam kepentingan, sesuai dengan pihak yang memiliki motivasi kepentingan sama. Dengan demikian peraturan yang kelihatannya “tidak punya salah” itu, dalam penegakannya ternyata di lakukan dengan memasukan kepentingan dari mereka yang terlibat. Maka, sesungguhnya hokum Negara itu lebih ada diatas kertas, tetapi dalam penegakannya sarat kolaborasi kepentingan jahat. Praktis hukumitu agar tidak salah agar di tafsirkan dengan teknik-teknik maupun materi hukum yang sudah di atur dalam berbagai kaidah pasal yang ada.

Moralitas hakim terdepan diutamakan, karena garda terdepan penjaga keadilan masyarakat. Tentu dengan integritas moral yang dimiliki secara otomatis peradaban hakim tercipta dalam system dan subsistem hukum yang sedang dijalankan. Dengan landasan morallah hokum itu di tegakkan.  Meminjam kata Sophocies, filosof Yunani bahwa sebab tidak ada orang lain yang paling mempunyai kewajiban suci untuk mentaati dan mematuhi hokum lebih dari pada mereka yang pekerjaannya adalah membuat dan menjalankan hukum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun