Kompasiana - Seorang taruna dari Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP), Putu Satria Ananta Rastika (19), kehilangan nyawanya setelah dianiaya oleh seniornya, Jumat (3/5/2024). Kapan kekerasan yang diwariskan di sekolah kedinasan ini akan berakhir?
Putu dan empat temannya tertangkap oleh seniornya, Tegar Rafi Sanjaya (21), mengenakan pakaian olahraga di kelas, yang dianggap sebagai pelanggaran. Sebagai bentuk pendisiplinan, Tegar memanggil Putu dan teman-temannya ke kamar mandi, di mana dia memukul ulu hati Putu lima kali hingga korban terjatuh.
Tegar mencoba menarik lidah Putu untuk memberikan pertolongan, namun hal itu justru mengakibatkan Putu meninggal karena kekurangan oksigen akibat terhalangnya saluran pernapasan saat lidahnya ditarik oleh Tegar.
Sehari setelah kejadian, penyidik Polres Metro Jakarta Utara menetapkan Tegar sebagai tersangka. Kapolres Jakarta Utara, Kombes Gidion Arif Setyawan, menyatakan bahwa Tegar adalah tersangka tunggal dalam kasus ini dan didakwa berdasarkan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dengan hukuman maksimal 15 tahun penjara.
"Karena yang memukul hanya dia. Yang lainnya tidak terlibat dalam kejadian di ruangan tersebut," ujar Gidion.
Menjadi Kebiasaan
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menyatakan bahwa kasus meninggalnya Putu memperpanjang daftar arogansi senior terhadap junior di institusi pendidikan.
"Hal ini perlahan menjadi kebiasaan. Ini menciptakan sistem yang buruk, sebuah ekosistem yang merusak, hingga mempengaruhi pola pikir," kata Ubaid.
Dia juga mengungkapkan bahwa kekerasan senior terhadap junior terus berulang karena adanya pembiaran dalam lingkungan pendidikan.
"Ada pembiaran yang terjadi. Kejadian seperti ini tidak mungkin luput dari pengamatan siapa pun. Selidiki para korban, lakukan investigasi, pasti ini sudah diketahui," tambah Ubaid.