Mohon tunggu...
Rizki Kurniawati
Rizki Kurniawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga - 21107030061

Mahasiswa Universitas Islam Negeri Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hari Perempuan Internasional 2022, #BreakTheBias: Kesetaraan Tanpa Bias Gender

8 Maret 2022   06:32 Diperbarui: 8 Maret 2022   06:36 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: masagipedia.com

Setahun sekali, tepat pada 8 Maret diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional atau International Women's Day (IWD). Ternyata Hari Perempuan Internasional (International Women's Day) merupakan bentuk peristiwa yang terjadi pada tahun 1908, di mana saat itu sebanyak 15.000 wanita berunjuk rasa di New York City, Amerika Serikat. 

Bukan tanpa alasan, mereka melakukan aksi tersebut sebagai bentuk menuntut beberapa hak mereka, seperti jam kerja yang lebih pendek, gaji yang sepadan, serta hak perempuan untuk ikut serta dalam pemilu. Dikutip dari situs m.liputan6.com, setahun kemudian, Partai Sosialis Amerika mendeklarasikan tanggal 28 Februari sebagai Hari Perempuan Nasional pertama di Amerika. Hari Perempuan Nasional tersebut terus dirayakan setiap tahunnya pada minggu terakhir bulan Februari hingga tahun 1913.

Kemudian pada tahun 1910, saat Konferensi Wanita Buruh Internasional kedua di Copenhagen, pemimpin partai sosial demokratis Jerman, Women's Office yakni Clara Zetkin, mengusulkan Hari Perempuan  Internasional. Ia juga mengusulkan bahwa setiap tahun di setiap negara harus memiliki Hari Perempuan Internasional (International Women's Day) yang sama. Setelah itu, terjadi kesepakatan bahwa pada tanggal 19 Maret 1911 ditetapkan sebagai Hari Perempuan Internasional (International Women's Day) yang pertama kali dirayakan di Jerman hingga Swiss.  

Menjelang Perang Dunia I, pada tahun 1913 hingga 1914 perempuan Rusia merayakan Hari Perempuan Internasional (International Women's Day) pertama kali pada 23 Februari. Mereka merayakan hari tersebut dengan melakukan aksi pemogokan sebagai bentuk protes atas kurangnya makanan, kondisi hidup yang buruk, dan Perang Dunia I. Pada tahun 1914, wanita di Eropa yang mengadakan aksi kampanye menjadi lebih banyak sebagai aksi protes perang.

Hingga setelah terjadi kesepakatan, Hari Perempuan Internasional (International Women's Day) sepakat diperingati setiap tahun pada 8 Maret. Dikutip dari situs wikipedia.com, pada tahun 1977, Hari Perempuan Internasional (International Women's Day) diresmikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai perayaan tahunan untuk memperjuangkan hak perempuan dan mewujudkan perdamaian dunia. Di beberapa negara, Hari Perempuan Internasional (International Women's Day) dipandang setara dengan Hari Ibu.  Hari Perempuan Internasional ini juga ada kaitannya dengan Hari Ibu dan Hari Anak.  

Seperti tahun-tahun sebelumnya, ditahun 2022 saat ini juga memperingati Hari Perempuan Internasional (International Women's Day) yang mengusung tema #BreakTheBias. Bukan tanpa alasan, tema #BreakTheBias diusung dalam peringatan tahun ini karena untuk menentang bias gender yang ada di sekitar kita, seperti tempat kerja, sekolah, ataupun lingkungan masyarakat. 

Di mana bias gender ini  dapat membuat perempuan sulit untuk berada di depan. Sehingga, diharapkan dengan tema tersebut di Hari Perempuan Internasional (International Women's Day) ini, wanita di seluruh dunia dapat memperjuangkan dan menyuarakan kesetaraan gender.

Hingga saat ini perempuan belum memiliki jumlah porsi yang sama dengan laki-laki dalam berbagai bidang, misalnya pada bidang politik. Dalam sejarah Indonesia, Megawati merupakan satu-satunya presiden wanita pertama hingga saat ini. Namun, ketika menjelang pemilu 1999, terjadi penolakan sebagian kalangan Islam terhadap presiden perempuan karena menganggap bahwa tidak akan sukses suatu masyarakat yang menyerahkan urusan kepemimpinannya kepada wanita. 

Nyatanya, Megawati dianggap berjasa dalam menyelenggarakan pemerintahan dengan aman dan damai. Sejarah Megawati yang menjadi presiden wanita ini seakan menghancurkan statement yang menyatakan perempuan tidak boleh atau tidak layak menjadi seorang pemimpin apalagi menjadi presiden yang harus memimpin banyak orang.  

Seiring bertambahnya waktu, perempuan mulai banyak yang memasuki dunia politik. Misalnya saja diera kepemimpinan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin (2019-2024) cukup banyak wanita yang menjabat sebagai menteri di Kabinet Indonesia Maju. 

Setidaknya ada 6 perempuan hebat dan menginspirasi, seperti I Gusti Ayu Bintang Darmawati (Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), Ida Fauzia (Menteri Ketenagakerjaan), Retno Marsudi (Menteri Luar Negeri perempuan pertama di Indonesia), Siti Nurbaya Bakar (Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan), Sri Mulyani (Menteri Keuangan), dan Tri Rismaharini (Menteri Sosial). 

Selanjutnya, perempuan dianggap tidak perlu memiliki pendidikan yang setingi-tingginya. "Buat apa sih perempuan sekolah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya menjadi ibu rumah tangga? 

Sering kali kita mendengar pertanyaan tersebut. Lantas mengapa perempuan jika perempuan memilih untuk sekolah setinggi-tingginya? Bukankah menuntut ilmu adalah hak semua orang tanpa memandang gender? Justru seorang perempuan harus cerdas karena ia akan menjadi ibu yang kelak juga akan menjadi guru pertama bagi anaknya. 

Dengan ilmu yang tinggi itulah anak juga menjadi cerdas karena didikan ibunya juga. Perempuan yang memiliki pendidikan tinggi tidak akan menghilangkan kodratnya, tetapi justru akan mengupayakan kehidupan yang lebih baik untuk keluarganya. 

Serupa dengan harapan RA. Kartini yang ingin agar perempuan berpendidikan supaya lebih baik dalam mendidik anak-anaknya dan mengurus rumah tangganya, serta lebih cakap dalam mengabdikan diri kepada masyarakat, bangsa, dan negaranya.

Selain itu, perempuan menjadi incaran dalam kekerasan. Dikutip dari tribunnews.com, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mencatat bahwa terjadi peningkatan terhadap kasus kekerasan pada perempuan dan akan ditahun 2019 hingga 2021. Tetapi, kekerasan terhadap perempuan dan anak tersebut sempat mengalami penurunan pada tahun 2020 dengan jumlah sebelumnya tercatat terdapat 8.854 kasus menjadi 8.686 kasus. 

Namun, mengalami lonjakan yang cukup signifikan ditahun 2021 dengan catatan 10.247 kasus. Lonjakan tersebut diharapkan mengalami penurunan ditahun 2022 dan tidak akan ada lagi kekerasan pada perempuan dan anak ditahun-tahun berikutnya.   

Kampanye yang dilakukan sebagai peringatan Hari Perempuan Internasional (International Women's Day) dapat dilakukan melalui media sosial. Mereka beramai-ramai menggunakan hastag #BreakTheBias dan telah sekiranya telah terkumpul sebanyak 75,5 ribu postingan.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun