Mohon tunggu...
Rizkikazahra
Rizkikazahra Mohon Tunggu... Penulis - chill bro', chill vibes✨, with the cherry on top🍒

Live, chase, run, happy happy^^

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Teks Kritik Film ''Bumi Manusia'', Romansa-Kolonial Lelaki Pribumi dan Wanita Neetherland

7 Maret 2021   12:43 Diperbarui: 7 Maret 2021   13:27 2855
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
id.pinterest.com/pin

Semakin berkembangnya zaman milenial, film bertema kolonial dianggap menjadi film membosankan dibandingkan dengan peminat drama atau sinetron yang sudah banyak perkembangan. 

Budaya, bangunan, tempat wisata, pendidikan bahkan hingga jodoh ber-kebarat-baratan menjadi kemewahan bagi pribumi hingga saat ini. Namun, berbeda dengan film Bumi Manusia garapan sutradara Hanung Bramantyo yang diadaptasi dari karya legendaris Pramoedya Ananta Toer dengan durasi yang kurang lebih mencapai 3 jam itu. 

Film Bumi Manusia menuangkan segala hal yang terjadi di Indonesia antara tahun 1898 sampai dengan tahun 1918. Dimana masih lekat-lekatnya antar kebudayaan Bangsa Eropa yang berbanding 360 derajat dengan kebudayaan pribumi khususnya Jawa.

Minke (Iqbaal Ramadhan) nama panggilannya. Seorang pribumi Jawa totok yang belajar di HBS (Hogere Burger School), alias sekolah menengah umum untuk kaum Belanda dan para priyayi yang dimana Minke dapat sekolah disitu karena kepintarannya, bukan akan anak pejabat atau priayi bahkan petinggi. 

Di masa-masa remajanya, ia jatuh cinta pada Annelies (Mawar de Jongh), gadis cantik Neetherland yang kekanak-kanakan, putri Nyai Ontosoroh (Sha Ine Febriyanti) berdarah Jawa dan Herman Mellema (Peter Sterk). Kisah cinta Minke dan Annelis tumbuh di antara sekian banyak permasalahan sosial dan ketidakadilan di masa penjajahan Belanda.

Perasaan yang membuatnya mengalami pergulatan batin tak berkesudahan. Ayahnya yang baru saja diangkat jadi bupati jelas tak setuju Minke dekat dengan keluarga Nyai. Sebab, posisi Nyai pada masa itu dianggap sama rendah dengan binatang peliharaan. Namun, ibunda Annalies berbeda. 

Ia pintar walau tak pernah mengenyam pendidikan. Ia juga mampu mengelola bisnis tuannya serta memiliki sikap dan pendirian tegas yang tidak lazim pada seorang nyai sehingga dapat menumbuhkan sedikit tingkatan Nyai dimata Bangsa Eropa walaupun ia merupakan simpanan Tuan Mellema, seorang petinggi Belanda.

Berbagai kontradiksi mengenai plot dalam film ini tidak lepas dari pro-kontra. Keputusan yang diambil oleh sutradara lebih berfokus pada kisah romansa dan colonial dari Minke dan Annalies walaupun banyak mengorbankan detail-detail lain, terutama seputar perkembangan karakter Minke. 

Dari semula yang sangat memuja Eropa hingga menjadi lebih nasionalis. Pada film ini juga cerita yang disajikan terlalu terburu-buru sehingga untuk 3 jam itu belum cukup walaupun dikhawatirkan membuat bosan kaum milenial sebelum menontonnya sebab 3 jam saja untuk film bertema colonial sudah dirasa akan membosankan jika belum menontonnya.

Namun, Terlihat sekali Hanung Bramantyo dan seluruh personel yang terlibat bekerja keras dalam film kolosal yang melibatkan begitu banyak orang, Bumi Manusia mampu disajikan secara rapi, minim kesalahan dan dapat membekas di ingatan. Dari pembuatan set dan pemilihan aktor, termasuk hadirnya orang-orang Belanda asli, semua tidak tanggung-tanggung. Hanung berhasil menghadirkan Indonesia akhir abad ke-19 di depan mata. Apalagi, dengan balutan lagu kebangsaan Indonesia Raya yang di awal film untuk dinyanyikan bersama dan Lagu Ibu Pertiwi sebagai penutupan film ini sehingga penonton dapat lebih merasakan zaman itu sepenuhnya.

Peran actor dalam film ini juga berkontribusi besar. Tokoh utama, Iqbaal sebagai Minke pun menjadi jangkar untuk menarik kaum milenial yang dihadapkan dengan Mawar De Jongh yang saat itu sedang naik daun. Walaupun sangat timpang dengan karakter yang dimainkan oleh kedua tokoh itu sebelumnya, tapi masyarakat bahkan kaum milenial tetap antusias dalam menonton film bertema colonial ini yang juga sebagai rasa meningkatkan kecintaan nasionalisme bahwa dengan perjuangan yang dilakukan tidak membuat kalah sepenuhnya seperti kutipan legendaris yang dikatakan Nyai Ontosoroh "Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.''

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun