PENDEKATAN SOSIOLOGI TERHADAP ETIKA INTERAKSI TOKOH PUBLIK : STUDI KASUS GUS MIFTAH SEBAGAI PEMUKA AGAMA TERHADAP BAPAK PEDAGANG ES
Rizki Juliana Rosalinda  240210204217
Â
PENDAHULUAN
Etika interaksi merupakan salah satu aspek penting dalam hubungan sosial, terutama ketika melibatkan tokoh publik yang memiliki pengaruh besar di masyarakat. Dalam konteks ini, etika interaksi tidak hanya menjadi sebuah kewajiban pribadi, tetapi juga menjadi landasan penting dalam membangun hubungan sosial yang harmonis dan bermartabat. Etika interaksi mempengaruhi cara kita berkomunikasi, berperilaku, dan menjalin hubungan dengan orang lain, yang pada gilirannya akan menentukan kualitas kehidupan sosial kita secara keseluruhan. Sikap saling menghargai, empati, dan pengakuan terhadap hak-hak orang lain menjadi kunci utama dalam menciptakan lingkungan sosial yang inklusif dan penuh kedamaian.
Salah satu kasus yang menjadi perhatian adalah peristiwa yang melibatkan Gus Miftah, seorang pemuka agama yang cukup dikenal di Indonesia, dalam interaksinya dengan seorang pedagang es di ruang publik. Tindakan yang dianggap merendahkan harga diri pedagang tersebut menjadi sorotan tajam masyarakat, terutama di era digital saat ini di mana segala sesuatu dapat dengan cepat tersebar melalui media sosial. Masyarakat yang semakin kritis dan cepat menilai suatu tindakan melalui platform online turut memperburuk dampak dari kejadian tersebut, yang pada akhirnya memunculkan diskursus tentang tanggung jawab moral dan sosial dari tokoh publik.
Kasus ini juga memunculkan diskusi yang lebih luas tentang bagaimana etika interaksi harus dijaga dalam berbagai situasi. Dari sudut pandang sosiologi, interaksi sosial memiliki makna yang lebih dalam daripada sekadar komunikasi verbal. Setiap interaksi melibatkan simbol, makna, dan pesan yang memengaruhi cara masyarakat memandang dan menilai norma-norma yang berlaku. Apa yang dikatakan atau dilakukan dalam sebuah interaksi tidak hanya mencerminkan identitas individu, tetapi juga nilai-nilai dan pandangan sosial yang ada dalam kelompok tersebut.
Teori interaksionisme simbolik, misalnya, menekankan bahwa setiap tindakan dan ucapan memiliki makna yang dapat membentuk atau mengubah persepsi masyarakat terhadap suatu peristiwa. Dalam kasus tokoh publik seperti Gus Miftah, peran ini menjadi lebih kompleks karena ia tidak hanya mewakili dirinya sendiri, tetapi juga nilai-nilai moral dan agama yang ia bawa. Sebagai seorang figur yang dihormati dan memiliki pengaruh besar, setiap gerak-geriknya menjadi perhatian publik dan dapat memengaruhi cara orang lain memandang norma-norma sosial yang ada.
Pendekatan sosiologi terhadap peristiwa ini membantu kita memahami kompleksitas interaksi sosial, termasuk bagaimana ketimpangan status sosial dan relasi kuasa dapat memengaruhi cara seseorang memperlakukan orang lain. Ketika kekuasaan atau pengaruh digunakan secara tidak bijaksana, itu dapat memperburuk kesenjangan sosial dan memperburuk ketidakadilan yang sudah ada. Sebaliknya, dengan menjaga etika interaksi yang baik, seseorang bisa menjadi agen perubahan sosial yang positif, yang mendorong terciptanya masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.
Pendahuluan ini menjadi landasan untuk menggali lebih dalam tentang perspektif sosiologi terhadap etika interaksi tokoh publik, khususnya dalam kasus Gus Miftah. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih luas tentang pentingnya menjaga martabat dalam setiap bentuk interaksi sosial, baik dalam kehidupan pribadi maupun publik. Semoga pembahasan ini dapat memberikan kontribusi yang bermanfaat, baik sebagai bahan refleksi bagi tokoh publik maupun sebagai pembelajaran bagi masyarakat luas tentang pentingnya etika dalam kehidupan sehari-hari, serta bagaimana etika interaksi dapat membangun atau merusak citra diri seseorang, terutama bagi mereka yang memiliki pengaruh besar di masyarakat.
Â
Â
PEMBAHASAN
Etika Komunikasi Dalam Perspektif Sosiologi
Dalam sosiologi, konsep etika interaksi dapat dilihat melalui teori interaksionisme simbolik yang dikembangkan oleh George Herbert Mead. Teori ini menekankan pentingnya simbol dan makna dalam hubungan sosial. Setiap tindakan yang dilakukan seseorang, terutama oleh tokoh publik, memiliki nilai simbolis yang dapat memengaruhi cara masyarakat memahami norma dan etika. Selain itu, teori dramaturgi dari Erving Goffman juga relevan, di mana individu dianggap memainkan "peran" di depan umum sesuai dengan harapan masyarakat. Tokoh publik, dalam hal ini, memiliki tanggung jawab lebih besar untuk menjaga "panggung depan" yang mencerminkan etika dan moralitas.
Etika komunikasi dalam sosiologi menekankan pentingnya kesadaran akan posisi sosial dan pengaruh yang dimiliki seseorang dalam struktur masyarakat. Hal ini mencakup pemahaman terhadap urutan sosial dan bagaimana interaksi bisa memengaruhi hubungan antar individu. Gus Miftah, sebagai seorang tokoh agama yang dihormati, diharapkan mampu menunjukkan sikap yang penuh rasa hormat dan empati kepada seluruh lapisan masyarakat, termasuk mereka yang berada dalam kelompok ekonomi yang lebih rendah, seperti pedagang kecil. Dalam konteks ini, komunikasi yang terkesan merendahkan atau mengabaikan mereka bisa dilihat sebagai bentuk ketidakpekaan terhadap ketimpangan sosial yang ada dalam masyarakat.
Dalam perspektif teori interaksi simbolik yang dikemukakan oleh George Herbert Mead, komunikasi lebih dari sekadar sarana untuk menyampaikan informasi; komunikasi juga mencerminkan cara individu memahami, merespons, dan menghargai peran serta posisi orang lain dalam interaksi sosial. Mead menganggap bahwa setiap tindakan komunikasi tidak hanya berdampak pada penerimaan pesan, tetapi juga pada bagaimana hubungan sosial antara pengirim pesan dan penerima pesan dibentuk dan dipelihara. Oleh karena itu, ketika seorang figur publik, seperti Gus Miftah, gagal untuk memperhatikan dan menghargai dimensi sosial ini dalam komunikasi mereka, hal tersebut bisa menciptakan gangguan dalam hubungan sosial yang lebih luas. Ini bisa mengakibatkan terjadinya jarak emosional antara tokoh tersebut dan masyarakat yang menjadi audiensnya, yang pada gilirannya bisa merusak hubungan saling percaya dan solidaritas.
ANALISIS KASUS
Gus Miftah dikenal sebagai seorang pemuka agama yang sering berdakwah dengan gaya santai dan humoris. Namun, dalam interaksi dengan seorang pedagang es, ia dianggap melakukan tindakan yang merendahkan harga diri pedagang tersebut. Kejadian ini dapat dianalisis dari beberapa aspek:
- Relasi Kuasa dan Status Sosial
Sebagai seorang tokoh agama, Gus Miftah memiliki status sosial yang tinggi. Ketika ia berinteraksi dengan seorang pedagang yang berada di posisi sosial lebih rendah, relasi kuasa ini memengaruhi dinamika interaksi. Perilaku merendahkan dapat mencerminkan ketimpangan kekuasaan dan mengabaikan prinsip kesetaraan dalam hubungan sosial.
- Pengaruh terhadap Masyarakat
Perilaku seorang tokoh publik sering kali menjadi panutan atau pembelajaran bagi masyarakat. Dalam hal ini, tindakan Gus Miftah dapat memberikan dampak negatif, yaitu menguatkan stereotip bahwa orang dengan status sosial lebih rendah dapat diperlakukan tidak hormat. Hal ini bertentangan dengan nilai-nilai agama yang mengajarkan penghormatan terhadap sesama.
- Respons Publik dan Media Sosial
Dalam era digital, tindakan seorang tokoh publik mudah tersebar luas melalui media sosial. Publik cenderung memberikan penilaian secara langsung tanpa melihat konteks penuh dari peristiwa tersebut. Respons terhadap kasus ini menunjukkan bahwa masyarakat memiliki harapan tinggi terhadap tokoh agama dalam menjaga nilai-nilai etika.
DAMPAK SOSIAL DARI PERILAKU TOKOH PUBLIK
Dampak sosial yang ditimbulkan oleh pernyataan tokoh publik seperti Gus Miftah sangat penting untuk diperhatikan. Berdasarkan informasi dan algoritma kasus yang terjadi melalui sumber media sodial terdapat beberapa akibat yang terjadi, diantaranya :
Penurunan Kepercayaan Masyarakat terhadap Tokoh Agama:
Tindakan atau ucapan yang dianggap tidak etis atau tidak mencerminkan nilai-nilai moral yang seharusnya dijunjung tinggi oleh seorang pemuka agama dapat merusak citra tokoh tersebut di mata masyarakat. Ketika tokoh agama melakukan pernyataan yang kontroversial atau tidak pantas, masyarakat mulai meragukan integritas dan kapasitasnya sebagai figur otoritatif dalam masalah agama dan moral. Hal ini dapat menyebabkan penurunan jumlah pengikut atau penurunan partisipasi dalam kegiatan keagamaan yang dipimpin oleh tokoh tersebut. Selain itu, keraguan terhadap kepemimpinan moral mereka juga dapat menyebar ke level institusi agama, yang mengarah pada merosotnya kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga keagamaan secara keseluruhan.
Polarisasi Sosial dan Ketegangan Antar Kelompok Masyarakat:
Ucapan kontroversial dari seorang tokoh publik berpotensi memicu perdebatan sengit di antara berbagai kelompok dalam masyarakat. Ketika pernyataan tersebut memicu ketidaksetujuan atau perbedaan pandangan, opini publik akan terpecah menjadi dua kelompok yang saling bertentangan: yang mendukung dan yang menentang. Polarisasi ini bisa meluas ke berbagai aspek kehidupan sosial, seperti politik, agama, dan budaya. Dampak yang lebih jauh dari polarisasi ini adalah terciptanya ketegangan sosial yang lebih besar, konflik antar kelompok, dan terkadang bahkan kekerasan verbal maupun fisik. Polarisasi ini juga bisa memperburuk perpecahan di dalam keluarga, tempat kerja, atau bahkan dalam komunitas lokal yang seharusnya harmonis.
Stigma Sosial dan Peningkatan Ketidakadilan terhadap Kelompok Marginal:
Dalam kasus tertentu, seperti pernyataan yang merendahkan profesi pedagang es, kita dapat melihat dampak yang lebih dalam terkait dengan stigma sosial terhadap kelas bawah. Ketika seorang tokoh publik menghina atau meremehkan profesi tertentu yang banyak digeluti oleh kalangan masyarakat bawah, hal tersebut memperkuat stereotip negatif dan ketidakadilan sosial yang sudah ada. Akibatnya, pekerja kelas bawah atau mereka yang menjalani profesi tertentu bisa merasa dihina, diremehkan, dan dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Stigma ini dapat memperburuk kondisi mereka, baik secara sosial maupun ekonomi, serta memperdalam kesenjangan antara kelas sosial. Selain itu, dampaknya juga bisa merembet pada kebijakan publik atau perundang-undangan yang tidak memihak pada kesejahteraan kelas bawah, karena publik merasa bahwa profesi tersebut tidak layak dihargai.
Penciptaan Ketidakpercayaan Terhadap Keadilan Sosial:
Ketika ucapan atau tindakan seorang tokoh publik memperburuk stigma terhadap kelompok tertentu, hal ini juga bisa mengarah pada persepsi bahwa keadilan sosial tidak dijalankan dengan adil. Masyarakat akan semakin merasa bahwa ada ketidaksetaraan dalam perlakuan terhadap kelompok-kelompok tertentu, yang pada gilirannya dapat menciptakan rasa frustrasi dan ketidakpuasan terhadap sistem sosial dan hukum yang ada. Dalam jangka panjang, ketidakpercayaan terhadap sistem keadilan ini bisa menyebabkan apatisme sosial, di mana individu merasa bahwa usaha untuk memperbaiki nasib mereka sia-sia, karena sistem yang ada tidak adil atau tidak berpihak pada mereka.
Dampak Jangka Panjang Terhadap Hubungan Sosial dan Integrasi Masyarakat:
Selain dampak yang langsung terlihat, pernyataan yang menyinggung kelompok tertentu juga dapat merusak hubungan sosial yang telah terjalin dalam masyarakat. Ketika kepercayaan antar individu atau kelompok terganggu, integrasi sosial bisa terganggu. Masyarakat yang terpecah-belah akan lebih sulit untuk bekerja sama dalam menyelesaikan masalah bersama, seperti pembangunan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi, atau penciptaan kebijakan publik yang inklusif. Perasaan terasingkan dan terdiskriminasi oleh kelompok tertentu dapat menyebabkan meningkatnya ketidaksetaraan sosial, menciptakan ketegangan antar kelas, serta memperburuk krisis identitas sosial dalam jangka panjang.
PENDEKATAN SOLITIF : MENGEDEPANKAN ETIKA DAN EMPATI
Untuk menghindari terulangnya insiden serupa, sangat penting bagi tokoh publik untuk menyadari dan menjalankan tanggung jawab sosial yang mereka miliki. Pendekatan yang dapat diterapkan untuk mencapai hal ini antara lain:
Peningkatan Pemahaman dan Praktik Literasi Sosial.
Tokoh publik harus diberi pelatihan yang lebih intensif dalam hal literasi sosial dan budaya. Mereka perlu dilatih tidak hanya dalam hal komunikasi yang efektif, tetapi juga bagaimana cara berkomunikasi yang sensitif terhadap keberagaman sosial, etnis, dan budaya. Hal ini dapat dilakukan melalui seminar, pelatihan, atau lokakarya yang mengedukasi mereka tentang pentingnya empati, pengertian, dan penghormatan terhadap perbedaan yang ada di masyarakat. Dengan demikian, mereka akan lebih mampu menghindari ucapan atau tindakan yang bisa menyinggung kelompok tertentu.
Penerapan Prinsip Egalitarianisme dalam Tindakan Sehari-hari.
Tokoh publik harus diberi pemahaman mendalam bahwa setiap individu, apapun latar belakang sosial atau ekonominya, memiliki hak yang setara untuk dihormati. Oleh karena itu, mereka perlu berkomitmen untuk menerapkan prinsip egalitarianisme dalam setiap interaksi dan kebijakan yang mereka buat. Ini bisa melibatkan pendekatan dalam hal pemberdayaan berbagai kelompok, pengutamaan keberagaman dalam tim kerja, serta menghindari segala bentuk diskriminasi dalam kebijakan atau pernyataan mereka. Hal ini juga mencakup penerapan kebijakan anti-diskriminasi yang jelas dalam organisasi atau lingkungan kerja mereka.
Peran Kritik Konstruktif dari Masyarakat dalam Pengawasan dan Evaluasi.Â
Kritik dari masyarakat harus dilihat sebagai bagian dari upaya menjaga keseimbangan dan akuntabilitas. Oleh karena itu, tokoh publik perlu membuka ruang dialog yang lebih terbuka, di mana kritik yang disampaikan oleh masyarakat dapat diterima secara objektif dan konstruktif. Pendekatan yang bisa diterapkan adalah dengan menyelenggarakan forum diskusi atau sesi umpan balik yang memungkinkan masyarakat untuk memberikan masukan secara langsung. Selain itu, tokoh publik juga perlu memiliki mekanisme evaluasi diri yang transparan, di mana mereka secara rutin mengevaluasi tindakan dan kebijakan mereka berdasarkan masukan dari publik. Hal ini akan menciptakan hubungan yang lebih baik dan saling percaya antara tokoh publik dan masyarakat.
Peningkatan Transparansi dan Akuntabilitas
Tokoh publik perlu memperkuat transparansi dalam setiap aspek kehidupan mereka, mulai dari keputusan yang diambil, penggunaan sumber daya, hingga kebijakan yang diterapkan. Mereka harus menunjukkan keterbukaan mengenai proses pengambilan keputusan, serta menjelaskan alasan di balik setiap tindakan yang mereka ambil. Ini dapat dilakukan dengan lebih sering menyelenggarakan konferensi pers atau menggunakan platform media sosial untuk berbagi informasi yang relevan dengan publik. Dengan langkah ini, tokoh publik dapat membangun rasa saling percaya dengan masyarakat.
Pembangunan Kemitraan dengan Organisasi Sosial dan Lembaga Pendidikan
Untuk memperluas cakupan pemahaman tentang tanggung jawab sosial, tokoh publik dapat bekerja sama dengan berbagai organisasi sosial dan lembaga pendidikan. Kemitraan ini dapat melibatkan pelaksanaan program edukasi atau kampanye bersama yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran sosial dan mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan dan kesetaraan. Selain itu, program-program tersebut dapat berfungsi sebagai sarana untuk melibatkan publik dalam diskusi mengenai pentingnya peran tokoh publik dalam menciptakan perubahan sosial yang positif.
IMPLIKASI SOSIAL
Kasus interaksi antara Gus Miftah sebagai tokoh publik dan seorang pedagang es memiliki beberapa implikasi sosiologis yang signifikan. Implikasi ini tidak hanya berkaitan dengan dampak langsung terhadap individu yang terlibat, tetapi juga terhadap norma, nilai, dan pola interaksi sosial di masyarakat secara keseluruhan. Beberapa implikasi sosiologis yang dapat diidentifikasi dari kasus ini adalah sebagai berikut:
- Penguatan Relasi Kuasa dalam Struktur Sosial
Dalam hubungan sosial, relasi kuasa sering kali mencerminkan ketimpangan antara individu berdasarkan status sosial, ekonomi, atau simbolis. Sebagai seorang tokoh agama yang memiliki otoritas moral dan pengaruh luas, Gus Miftah berada pada posisi sosial yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pedagang es yang dianggap berada pada kelas ekonomi rendah. Ketika seorang tokoh dengan kekuasaan simbolis bertindak merendahkan, perilaku ini dapat memperkuat struktur sosial yang hierarkis dan mendukung ketidaksetaraan dalam interaksi sehari-hari. Hal ini dapat menciptakan persepsi bahwa pihak yang memiliki kekuasaan atau status sosial lebih tinggi memiliki hak untuk bertindak tidak adil terhadap pihak yang lebih lemah. - Erosi Kepercayaan terhadap Tokoh Publik
Tokoh publik, terutama pemuka agama, memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga kepercayaan masyarakat. Ketika perilaku mereka dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai etika dan agama yang mereka ajarkan, hal ini dapat menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap mereka. Dalam konteks ini, tindakan Gus Miftah tidak hanya berdampak pada hubungan personalnya dengan pedagang es, tetapi juga berpotensi merusak citra dirinya sebagai figur yang dihormati. Erosi kepercayaan ini dapat meluas, memengaruhi persepsi masyarakat terhadap tokoh agama secara umum, dan menimbulkan skeptisisme terhadap peran tokoh publik dalam memimpin dan memberikan teladan. - Refleksi terhadap Nilai-Nilai Keagamaan dan Budaya
Sebagai seorang pemuka agama, tindakan Gus Miftah seharusnya mencerminkan nilai-nilai agama yang ia bawa, seperti kasih sayang, penghormatan terhadap sesama, dan keadilan. Ketika perilaku seorang tokoh agama bertentangan dengan nilai-nilai ini, masyarakat cenderung mempertanyakan relevansi ajaran yang disampaikan dengan praktik nyata. Hal ini menjadi momen refleksi bagi masyarakat untuk menilai kembali hubungan antara agama, budaya, dan etika dalam interaksi sosial. Dalam jangka panjang, kasus ini dapat memicu diskusi yang lebih luas tentang bagaimana agama seharusnya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari tanpa mengabaikan martabat dan kesetaraan manusia.
KESIMPULAN
    Etika interaksi tokoh publik menjadi perhatian penting dalam masyarakat yang semakin terbuka dan kritis. Perilaku yang merendahkan harga diri orang lain, terutama di ruang publik, bukan hanya mencederai individu yang bersangkutan tetapi juga merusak nilai-nilai sosial yang dijunjung tinggi. Kasus Gus Miftah mengajarkan kita pentingnya refleksi diri, terutama bagi tokoh publik, untuk selalu menjaga sikap yang menghormati martabat sesama manusia.Sebagai masyarakat, kita juga perlu memahami bahwa setiap individu memiliki hak yang sama untuk diperlakukan dengan hormat, tanpa memandang status sosial atau profesinya. Pendekatan sosiologi terhadap kasus ini memberikan wawasan yang lebih luas tentang bagaimana etika dan interaksi sosial dapat membentuk hubungan yang lebih adil dan bermartabat di tengah masyaraka
DAFTAR PUSTAKA
Akhirudin, F., & Nurjaman, U. (2022). Komunikasi dan human relation pendidikan berbasis agama filsafat, psikologi dan sosiologi. Al Qalam: Jurnal Ilmiah Keagamaan dan Kemasyarakatan, 16(1), 171-184.
Susanto, Ahmad Taufik. (2021). Komunikasi dan Etika dalam Perspektif Sosiologi. Jakarta: Prenada Media Group.
Rahmat, Jalaludin. (2022). Psikologi Komunikasi: Interaksi dan Etika Sosial. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nugroho, Rinto Aji. (2020). Etika Tokoh Publik di Era Digital: Kajian Sosiologi dan Agama. Yogyakarta: Deepublish.
Effendy, Onong Uchjana. (2021). Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Hidayat, Arif. (2023). Pengaruh Media Sosial terhadap Etika Tokoh Publik. Surabaya: Airlangga University Press.
Widodo, Arief Budiman. (2022). Interaksi Sosial dalam Perspektif Multikulturalisme. Malang: UB Press.
Iswanto, Muhammad Faisal. (2023). Agama dan Etika Sosial: Perspektif Tokoh Publik di Indonesia. Yogyakarta: LKiS.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI