Mohon tunggu...
RIZKI FEBY WULANDARI
RIZKI FEBY WULANDARI Mohon Tunggu... Editor - Mencoba menyelaraskan kata dan laku.

Menorehkan segala ambisi dan luka di atas tinta, bukan bermaksud apa-apa. Hanya saja terdapat kelegaan di sana. Pelajaran yang tercatat tidak akan musnah meski waktu menggerusnya.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Opini: Diary Mahasiswa Akhir: Semester Tergetir, Menyudahi Hidup Bukan Pilihan Terakhir

11 November 2022   12:51 Diperbarui: 11 November 2022   12:51 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Saya adalah mahasiswa akhir yang sedang meraba masa depan sembari berusaha menikmati selimut ketakutan menghadapi problematika di depan mata. Jika ditelisik apa yang mengganggu ketenangan jiwa banyak sebab yaa... secara usia ini memasuki masa quarter life crisis yang banyak sekali pikiran enggak masuk akal menerjang layaknya badai yang menguji ketangguhan.

Akhir-akhir ini perasaan gelisah menyelimuti hati, entah karena kurang ngopi atau banyak beban menggelendoti diri. Kegelisahan ini muncul beberapa hari bahkan sebelum sobat saya mengirim sebuah postingan mengenai, depresinya mahasiswa akhir yang menyebabkan  bunuh diri.

Saya enggak tahu seberapa berat beban hidup yang menggelendoti pikiran mahasiswa akhir tersebut. Berita mengenai bunuh diri di kalangan mahasiswa juga tidak hanya satu dua. Kita samakan pandangan terlebih dahulu, bukan mengenai seberapa berat bebannya. Akan tetapi seberapa tangguh atau rentannya mental dalam diri seseorang.

Bukan bermaksud mendiskreditkan atau merendahkan, namun mengajak kita untuk tidak memukul rata beban yang diangkut seseorang dan menganggapnya itu suatu hal yang sepele.

Di masa perkuliahan akhir ini, semua terasa beratnya. Meskipun perkuliahan sudah tidak ada yang diselenggarakan dalam kelas. Semua dikembalikan pada kesadaran mahasiswa sendiri. Hal inilah yang menjadi momok para mahasiswa, termasuk saya. Bagaimana kita mengajak diri sendiri yang sedang dirundung kemalasan untuk bergerak.

Sebelum keluh kesah saya tuangkan dalam tulisan, rasa syukur harus terlebih dahulu tercurahkan biar bagaimana pun, alhamdulillah diri diberi kepercayaan menjadi guru dadakan yang sebenarnya tidak disangka bisa semudah itu mendapat pekerjaan sebelum lulus sarjana.

Jujur, di awal semester ini memang diri punya planning sembari memikirkan skripsi juga ingin berkerja terlebih dahulu sebelum wisuda. Itung-itung mencicipi dunia luar atau curi start. Kerja apapun kemarin tujuan yang saya canangkan.

Dilema Pekerjaan dan Peskripsian

Sebenarnya jika dilihat secara kasat mata, tidak ada beban yang besar yang saya hadapi. Hanya saja masih ada keganjalan dan sesuatu pikiran yang ingin saya selesaikan. Hal inilah termasuk yang mendasar. Berdamai dengan diri sendiri. Ini juga yang menjadi topik penelitian yang saya angkat. Mengenai luka batin masa kecil.

Sehingga, sedikit banyak saya tahu persis apa yang menjadikan kegelisahan seseorang meski dalam kehidupan kasat mata mereka dilimpahi kecukupan. Yap, berdamai dan mensyukuri diri sendiri. Meski prosesnya memakan waktu seumur hidup. Tapi kita coba untuk tergerak dari saat ini.

Belum lagi ditambah, ekspektasi sekolah yang saya ampu dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Islam sangatlah besar. Jujur, sebenarnya ini bisa diatasi saat saya sudah merasa nyaman dan tenang. Akan tetapi, kecambuk dalam pikiran yang memikirkan penelitian belum terlaksana, bagaimana pengelolaan datanya, bagaimana hasilnya, ini yang masih menggelitik relung jiwa yang membuat diri diselimuti ketidaktenangan.

Belum lagi proses adaptasi dengan guru lama di sekolah juga menjadi momok yang perlu diselesaikan sesegera mungkin. Kenyamanan akan membuat kita tenang dalam belajar. Saat ketenangan belum terasakan jangan harap proses belajar lancar. Dan, saat kita belum mampu belajar, bagaimana mungkin kita berkembang dan membuat perubahan.

Ada satu tamparan bagi diri dari seorang ustadz yang memberi saya kesempatan menjadi guru di salah satu sekolah dasar negeri yang saya ajar. Tamparannya yaitu, "Di manapun kita berada, jangan jadi seorang yang biasa." Hal ini mengisyaratkan setidaknya jika tidak memberi warna baru akan dobrakan yang besar. Minimal, beri sedikit proges yang baik dari suatu tempat yang kita pijak.

Asmara dan Jodoh yang Sebenarnya

Di awal semester ini, permasalahan asmara juga menjadi topik menarik bagi mahasiswa akhir yang dilanda kejomblooan selama perkuliahan. Entah karena, fisik atau prinsip tetap saja di akhir perkuliahan bab percintaan sangatlah menggelitik. Mulai dari ingin mencari support system, teman wisuda, bahkan pasangan masa di masa mendatang.

Jika bagi mahasiswa yang menganggap pacaran adalah hal yang wajar, tentu permasalahan ini sudah bukan hal yang krusial. Berbeda jika mereka yang serius ambis pada masa depan mungkin pemikiran mengenai jodoh masih bisa dikesampingkan.

Namun, bagi mahasiswa yang berada di pertengahan antara kedua tipe di atas, hal ini cenderung mengusik ketenangan jiwa. Bagi mereka yang selama perkuliahan belajar selayaknya, enggak terlalu ambis dan enggak juga nyeleneh banget.

Di semester ini mencuat tajam di permukaan mengenai niat hati ingin berpacaran tapi saking lamanya menjomblo lupa akan segala pengalaman.

Nah, hal ini yang membuat kecambuk hati meronta, mengenai niat hati jodoh dipertemukan. Tapi kesepian dunia membuatnya merana. Ditambah para kawan yang satu persatu punya gandengan. Apalagi pandangan mengenai orang yang dirasa senior yang mengatakan, "Kalau selama kuliah belum punya gandengan, di dunia pekerjaan tambah susah dalam dunia perjodohan."

Kegelisahan ini yang saya rasakan. Berniat membuka hati memberi peluang bagi setiap orang yang ingin mendekati sungguh sangat membuang waktu. Namun, jika tidak memberi peluang bagi para pria yang mendekat bagaimana akan masuk tahap seleksi.

Perbincangan dari banyak kawan dari berbagai pandangan. Orang tua memberi wejangan, serta beberapa pria yang sempat menikmati kesempatan pembukaan hati di awal semester ini memberikan saya benang merah meski sementara. Saya sudah terlampau jenuh dengan berbagai drama dan skenario yang dibuat saya dan lawan.

Kesimpulan sementara dari itu semua yasudahlah, jodoh tidak perlu dipikir terlalu rumit. Masalah percintaan meskipun tidak semua selalu beruntung mendapatkan kesempatan saling mencintai. Tapi saya masih berharap Tuhan punya rencana yang luar biasa dalam dunia percintaan saya.

Beberapa yang mendekat tidak sesuai dengan kriteria yang saya buat. Ada juga salah satu yang sesuai kriteria namun bermilih menikmati kesendiriannya. Yaa, mungkin saat ini memang semesta menakdirkan kita berjuang di medan juang sendiri, entah untuk saling memantaskan, atau untuk menjaga kodrat kesucian masing-masing diri.

Tidak perlu cemas dan takut pada hal yang sudah ditetapkannya. Jodoh sudah diatur dalam tinta emas dalam kemegahan lauh mahfudz-Nya. Ketakutan akan lelahnya mencintai seorang diri atau jenuhnya dihujani kecintaan tanpa bisa mencintai singkirkan terlebih dahulu.

Semua akan bertemu dan menyatu jika ada kecocokan dan kesyukuran masing-masing sejoli. Hal yang perlu dilakukan saat ini, tak perlu juga menutup hati serapat mungkin. Jika tidak diberi kesempatan, kapan kecocokan dirasa hadir? Ya sewajarnya.

Studi Lanjut dan Financial

Masalah selanjutnya yang terpikirkan, bagaimana dengan studi lanjut? Financial dan prestasi. Terlepas dari permasalahan skripsi. Kemarin dikabari sobat ia diajak kerjasama dosen dalam disertasi Dalam hati berusaha untuk tidak iri pada sobat sendiri.

Namun, tetap saja dalam kegelisahan dan ketidakseimbangan emosi hal ini menambah ke-riweh-an dalam jiwa. Bukan maksud iri dengan rejeki rumput hijau tetangga. Lebih menoleh dan memikirkan bagaimana proges diri? Meskipun sebenarnya diri juga tidak diam saja bagai mayat yang tergeletak.

Lebih ke berpikir, selama ini yang saya lakuin berdampak signifikan tidak bagi masa depan? Belum lagi perasaan tidak enak saat meminta jajan orang tua dan diri yang belum bisa menyisihkan uang untuk menabung bahkan sudah semester di penghujung.

Nyatanya selesai tulisan ini dibuat nampak bahwa diri hanya memikirkan hal yang sebenarnya tidak perlu dipikirkan. Memang benar, ada pepatah bijak yang mengatakan bahwasanya jika tujuan tidak ditetapkan secara jelas. Maka membidiknya pun tidak akan benar dan terlihat samar. Jangan kaget jika banyak semrawut pikiran kacau yang mendistraksi. Sebab, hati masih kacau dan tidak sreg bahkan pada diri sendiri.

Selamat proses di semester akhir ini membuat mu lebih mengenal diri sendiri secara lebih pasti. Jangan sampai menyerah dan berniat menyudahi kehidupan dengan alasan apapun. Mendekat pada pencipta minta ditunjukan jalannya, sungguh hanya ini obat terampuh dari segala solusi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun