Mohon tunggu...
Rizki Amalia Putri Hidayat
Rizki Amalia Putri Hidayat Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Negeri Yogyakarta

Mahasiswa Sastra dan Bahasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Angka Rasa

1 Oktober 2024   22:00 Diperbarui: 1 Oktober 2024   23:33 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pinterest.com/pngtree/

Seluruh asa tercecer di ruang tak berpenjaga. Bak tempat buku yang lama tak dirawat oleh sang empunya. Mata suntuk, pikiran terpuruk, hati seolah tertusuk mengingat keterbatasan yang menembok kokoh di hadapan pelupuk. Namun, hati tak henti-hentinya berorasi bahwa "Tuhan selalu bersama prasangka hamba-Nya". Hingga hirrahku tergugah untuk terus melangkah walau patah-patah. 

Saat remaja, memoriku mencatat bahwa bibit unggul tak selamanya menuai panen yang unggul pula. Kutipku dari pembimbing jiwa. Realitanya padi rojolele yang berbenih unggul bisa sakit karena wareng menjangkitnya. 

Nyatanya anggrek menawanbi sa layu karena dilingkupi benalu. Tak luput juga manusia. Maka, inilah mula saraf motorikku merangsang saraf pusatku untuk tetap menapak.

Setelah sekian menit otakku melilit jiwaku yang terjepit akhirnya melonggar dari segala problema yang rumit. Itupun berkat alarm ponsel tuaku yang berbisik. Dia berkata bahwa matari telah menyambut. Mesin sidik jari telah melambai agar aku menyapa tak abai. Begitulah rutinitasku setelah hari senin kembali jumpa. Bergelut dengan setumpuk data. 

Memberi jasa pada instansi yang mengangkatku sebagai pekerja. Motivasiku beranjak dari sofa sederhana. Hanya berupaya memungut sedikit materi agar tak cuci tangan terhadap buah hatiku. Bukan sesuatu yang megah hanya kesunnahan membantu meraup nafkah.

Akan tetapi, perlu diingat. Tak hanya materi yang dibutuhkan anak. Rohani juga ia perlukan. Dahulu, aku sempat berada di taraf merasa bukan siapa-siapa. Bukan apa-apa. Bukan karena aku tak mampu bergerak. 

Bukan juga karena tak sanggup tanggap. Apalagi karena hidungku tak mampu menghirup udara. Melainkan karena aku bukan konglomerat dengan segala keagungannya juga bukan alim dengan segala kesuciannya. Sugestiku mengguncang jiwaku. Namun, kiniku sadari baik buruk seseorang bukan bermuara pada benih saja. 

Melainkan tentang bagaimana kita menyirami, tentang kita memupuk, tentang kita merawat serta tentang menjaganya. Manakala sabar, tegar, sayang bersemayam maka tumbuhlah tanaman tersebut menjadi makhluk dambaan dengan penuh eksistensi. Dan yang pasti eksistensi setiap orang berbeda. Begitupun sebaliknya. Demikian yang terangsang oleh saraf sensorikku semasa bersama mamah dan papaku.

"Adiba...," panggilku.
"Iya ama," spontanitasnya sekaligus mengarah padaku.
"Ama pergi dulu ya. Jangan lupa sarapan sama belajar ya nak," senyumku sembari mengusap ubun-ubunnya.

Tak melebihi 15 menit kakiku telah menapak di depan ruang kerjaku. Disinilah kehidupan keduaku. Berkecimpung dengan ragam lapis kalangan. Sliwar sliwer mereka silih berganti berinteraksi denganku. Ada yang minta pinjaman seperti bu Asih Namanya. 

"Bisa panggil saya Mimi saja ya Bu," setengah dia memerintah.
Dia mengisahkan peminjaman uang tersebut untuk biaya anaknya kuliah jurusan kedokteran.
"Saya itu Bu nggak nuntut yang mahal-mahal. Inginnya saya yang penting ada kemantapan hati dan kemauan diri sudah lebih dari cukup. Tapi mau bagaimana lagi si anak keukeuh ingin masuk sekolah bergengsi ikut trend sukses katanya," kata beliau.
"O gitu Mi," jawabku sekenanya.

Memang, mengikuti keinginan anak perlu supaya jiwa sosial demokrasinya tak padam. Namun, bukan bermakna memenuhi setiap keinginan tanpa pertimbangan. Bukan berarti pula memberi dengan segenap kedermawanan. Hanya mengarahkan tanpa harus mengekang.

"Baik Mi, persyaratan sudah selesai tinggal menunggu tempo cair dalam satu pekan ini," terangku.
"Terima kasih banyak Bu," sahut bu Asih.

Antrean no 21 silakan menuju customer servis 3.

Nasabah berikutnya datang. Entah apa yang nantinya akan ia keluhkan. Namun,bersinggungan dengan mereka membuat hatiku terbuka. Mempersilakan jiwaku ikut merasa hal yang mereka bawa. 

"Bu saya ingin mencairkan biaya asuransi," ujar seorang bapak dengan air mukanya yang tampak menggebu.

"Maaf pak boleh saya tahu atas kepentingan apa bapak mencairkan asuransi ini?"
tanyaku.
"Oo itu. Saya melakukannya untuk meminjami tetangga saya guna membiayai resepsi pernikahan putri bungsunya," terang beliau.
"Saya hanya tidak tega melihat dia harus berhutang kepada orang lain karena dia membutuhkan uang banyak. Tentunya respon mereka negatif. Cukup dia dicaci karena berkekurangan. Jadi, saya berniat membantu dengan menghutanginya,"kukuh beliau.
"Em begitu,"simpatiku dengan sedikit senyum simpul. 

Berlapis problema mewarnai kehidupan. Menghadapkan kita akan segala keadaan. Bahwa hidup bukan tentang kehebatan melainkan tentang kasih sayang. Hidup juga bukan tentang siapa yang terdepan melainkan tentang kepedulian. 

Semua saling berkesinambungan karena terpaut dalam naungan cinta. Cinta terhadap keluarga,sesama bahkan lingkungan sekitar kita. Ah cinta. Akupun tak tahu tentangnya. 

Waktu terus bergulir. Menghabiskan sekian nasabah berikutnya. Detak jarum detik berbisik bahwa waktu terus mengejarnya. Menyisakan jarum menit yang tertatih di angka 3. Seolah kehabisan napas ia tak berputar beberapa waktu kemudian. 

Mengingatkan saatku harus kembali setelah seharian ku pulang pergi. Saat menuju perjalanan menjemput Adiba, lampu merah menghadang. Menghentikan kendaraan yang ku tumpangi. 

Tok tok tok

Beberapa detik ku melirik. Tanpa berisik ku buka jendela mobilku.

"Bu, silakan tisunya untuk mengelap keringat saat lampu merah menjerat,"wajah lusuh dan bayi kumel digendongan dengan senyum tulus melukis wajahnya. 

Kuambil uang di dashbor untuk kuberikan pada ibu tersebut. Ibu itu berbicara untuk mengelap keringat sedang dirinya bercucuran keringat. Tak lain si bayi anak yang terpapar terik Surya tanpa pelindung badan. Hanya sehelai selendang pengais untuk menjaga si bayi agar tetap aman dalam pelukan. 

Sering kali manusia ramah terhadap orang lain dan kejam terhadap diri sendiri. Layaknya ibu tersebut. Atas dasar apa beliau melakukan tersebut? Selain tanggungjawab, besarnya rasa welas kepada anaknya untuk tetap memberi nasi walau hanya sesuap.

Adiba telah di sampingku. Menunjukkan senyum manisnya padaku. Aku bersyukur melihat kepolosannya mampu menggusah penatku setelah berkutat seharian suntuk. Setidaknya dapat menjadi obat bius atas beban-bebanku.

Kuajak dia berbincang tentang cerita seharian. Bibirnya mantap bergerak seolah ada pelumas yang baru ia usap. Bulir matanya, senyum simpulnya, silau giginya mengisahkan bahwa ia begitu bahagia. Bukan. Bukan karena ia diberi kebahagiaan sepanjang hari. Tapi, karena aku membiasakannya untuk bersyukur atas apapun yang terjadi. Buktinya, hari ini aku menemukan luka di lututnya karena ia terperosok akibat dorongan temannya. 

Masa ini membisikkan bahwa tidak semua kebutuhan dapat dibayar oleh uang. Terkhusus kebutuhan jiwa. Boleh saja jika itu kebutuhan jasmani. Semisal, kesehatan yang dapat diasuransikan, Investasi untuk biaya pendidikan atau mungkin kebutuhan sosial yang bisa dibantu dengan utang piutang yang bisa dilayani oleh para pekerja bank. 

Namun, kehidupan tidak menuhankan uang. Berlaku bagi kepribadian. Karakter yang baik di dipondasikan pada kasih sayang, perhatian, simpati empati terhadap lawan.
Semua hadir karena rasa cinta. 

Setiap yang mencintai pasti menyayangi, peduli, bahkan berempati. Sebab seseorang yang mencintai tak menyadari bahwa ia mencintai. Sebab, mereka terlalu kalut hingga seandainya pun diminta seisi semesta dia pun menurut. Tidak bagi sebaliknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun