Desir angin mengelus leher hingga merinding mulai terasa. Bukan karena kehadiranmakhluk supranatural melainkan debur hujan yang begitu kencang. Pohon-pohonmenari-nari mengikuti alunan rintik air dan arah mata angin. Matari yang hariannya telah bangun tersenyum kepada dunia urung unjuk diri entah mengalah atau kalah dari mega abu-abu. Yogyakarta pagi ini pun tampak muram karena tak ada sorotan maha vitamin kalsiferol. Maha yang terusir oleh awan yang berdesir. Di balik pohon yang bergoyang terdapat gubuk sederhana yang berdiri sama reyot dengan goyangan pohon. Angin kuat seolah ingin maruntuhkan bilik kecil itu yang keras kepala tetap tegak. Tak perlu ditelisiki hingga ke dalam, meski hanya sekilas rumah itu tampak memerlukan renovasi sebab atap bercelah-celah, dinding miring dan sekeliling mulai basah yang tak lumrah. Air meninggi hampir menyaingi tinggi pondasi. Tampak memprihatinkan. Namun, yang di dalam tak pernah mengeluhkan takdir kehidupan. Meski kota ini basah dan mendung Lillah tetap tersenyum dan tak pernah murung.Â
Lillah seorang anak laki-laki berusia 6 tahun lugu nan polos yang sangat patuh kepada orang tuanya terutama ibunya. Nahas di usia belia dia sudah tidak bisa berbakti kepada ayahnya selain mendoakannya.Â
Sepeninggalan ayahnya ibunya hanya dapat tidur 3 jam dalam sehari karena harus mengurus dua anak, rumah, dan mencari nafkah. Sorot mata lelah dan kantung mata yang besar menghitam begitu jelas setiap hari dari mata Sri, ibu Lillah. Wanita muda yang menawan meski miskin kehilangan pancarankecantikannya karena sibuk banting tulang demi sesuap nasi pagi dan sesuap nasi sore.
Keseharian Lillah belum padat karena dia masih kanak-kanak.Â
Meski Lillah anak laki-laki dan masih bau kencur ia gesit bolak-balik mengambil cetakan lucu untuk membentuk kue. Setiap hari ia lakukan demi menemani sang Ibu. Karena ibunya membuat kue basah setiap fajar untuk dijual di pasar sebelum pagi hari pergi menarik ojol hingga malam menyapa. Musim penghujan memang tidak bersahabat bagi penarik ojol motor. Lain dengan taksi yang banyak peminat karena penumpang terlindungi dari air hujan.
Meski berada di jalanan ketika adzan berkumandang Sri selalu berhenti menghampiri masjid untuk berdoa batin dan lahirnya. Ketika ia pergi menarik ojol, Lillah ditinggalnya sendirian di rumah sembari menunggu kakak laki-lakinya pulang sekolah. Jika sudah duduk bersama Rafli, kakaknya mereka berbincang banyak hal hingga lupa hari mulai petang. Lillah yang menyukai menulis, menuliskan semua lintas hal ide yang dalam otaknya entah itu emosi, harapan, bayangan keseharian yang kemudian ia adukan kepada sang kakak. Karena kakanya yang sudah lebih paham dan yang telah menginjakkan bangku sekolah sedikit-dikit ia mulai menganalisis ranah kepenulisan sang adik. Rafli pun sebagai kakak mulai mengarahkan apa yang ia seharusnya tulis, bagaimana caranya menulis yang lebih, bagaimana cara menumpahkan emosi dengan nilai estetika. Rafli tak pandai menulis namun ia mengetahui beberapa teori karena ia bersekolah walau baru memasuki bangku SMP.
Rafli lebih menyukai sepak bola bahkan bermimpi masuk sekolah sepak bola. Namun, keterbatasan ekonomi menjadi tembok penghalang. Ia tak pernah menyalahkan keadaan soal kemiskinan yang ia alami. Ia mencari cara lain untuk tetap bisa berkembang dari hobinya itu. Setiap pulang sekolah ia berlatih sepak bola bersama teman-temannya. Jika tidak ia kan bermain sendiri. Yang ia pikirkan hanya berlatih seadanya agar memperoleh hasil yang terbaik.Â
Di bilik reyot pun Lillah semakin giat menulis. Di usia yang hampir masuk sekolah saja ia sudah pandai berangan-angan. Memang imajinasi anak kecil bisa dibilang liar. Bersyukurnya imanjinasi itu dapat ia tuangkan dalam sebuah coret-coret tinta yang kelak dapat berkembang menjadi tulisan layak. Setiap pagi, seperginya ibunya mencari nafkah ia Kembali ke kamar kumuhnya untuk bermain dengan kertas dan pena yang ia miliki. Sesekali ia menulis. Sesekali ia berguling-guling menatap atap yang banyak sarang laba-laba di karpet robek sembari tersenyum. Entahlah apa yang ia pikirkan. Selesai menatap kembalilah ia mencoret-coret kertas itu. Jika dikumpulkan hasil coret-coretnya sudah satu lemari penuh meski belum ada yang sebaik tulisan.Â
"Assalamu alaikum", terdengar suara lembut di balik pintu yang mendecit.
"Waalaikum salam Ibu", teriak Lillah yang berlari ke arah Ibunya.
"Di luar hujan ya Bu? Saya ambilkan handuk dulu ya Bu?" Gesit Lillah mengambil handuk di gantungan belakang dan memberikannya pada ibunya.
"Terima kasih anak baik", ucapan manis sambil mengelus wajah anaknya.
"Mari kita masuk Ibu", ajaknya.
Setelah Sri membersihkan diri, mengganti pakaian dan mengeringkan rambutnya yang basah kemudian mendekati anak bungsunya yang berada di ruang tengah.
"Lillah sudah makan?"Â
"Sudah Ibu tadi"
"Makan lagi ya? Ibu belikan nasi dan rendang kesukaanmu".
"Terima kasih Ibu"
Sembari menemani anaknya makan, ia bercerita tentang hari ini. Ibu dan anak itu bersenda gurau menikmati malam dengan penerangan seadanya dari lampu berwarna kuning.
"Besok kamu ikut ibu narik ojol ya?"
"Kalau aku ikut bagaimana Ibu mengantar pelanggan?"
"Besok kita tidak mengantar pelanggan. Besok mari kita ke taman baca sekalian bermain sejenak saat hari ulang tahunmu".Â
"Terima kasih Ibu".
"Lillah apakah kamu menginginkan hal saat ini? Hal yang bisa membuatmu tersenyum meski kamu lelah mengupayakannya?"
"Ada Ibu. Aku ingin belajar di sekolah. Aku ingin belajar menulis lebih dalam Ibu. Karena aku ingin pandai dan membagi kepandaianku melalui tulisanku kepada sesama yang kurang mampu sepertiku untuk tetap belajar meski tidak sekolah". Sri menitihkan air mata mendengar perkataan yang masih sangat belia sudah mengerti arti berbagi. Ia hanya bisa mengusap rambut Lillah.Â
"Besok kita ke taman baca ya, Nak? Kita mulai belajar di sana dan mencari apa keinginanmu."
Ia hanya merasa bersalah karena tidak bisa menyekolahkan anak bungsunya karena kakaknya tidak mungkin berhenti menjelang ujian akhir ini. Rencananya ia akan menyekolahkan Lillah setelah kakaknya selesai jenjang ini dan bergantian masanya untuk Lillah belajar. Akhirnya kedua manusia itu mulai tertidur karena malam semakin membuat mereka lelah.
Matari mulai meninggi. Hawa sejuk terasa dingin dengan awan yang cerah. Meski dingin cuaca hari ini tampak terang benderang. Sedari adzan subuh pun Sri dan Lillah sudah terbangun dan mulai bersiap-siap untuk perjalanan nanti. Memang bukan perjalanan jauh, mereka tetap bersiap-siap karena mempersiapkan minum dan bekal agar tidak mengeluarkan uang selama di luar dengan perut tetap kenyang. Sri pun mulai menanak nasi, memasak sayur dan menggoreng mendoan kesukaan Lillah.
Detik berganti menit. Menit berganti jam. Matari mulai memanas yang mengusir suhu dingin. Jalan telah mereka susuri. Kiri kanan jalan dipenuhi kendaraan karena hari tersebut hari kerja. Hal ini juga alas an sang kaka tidak bisa ikut karena bersekolah.Â
Sekitar 15 menit mereka tiba di tujuan. Memasuki pintu mata-mata terbelalak melihat banyak sekali buku terpajang di rak-rak besar. Hawa di dalam terasa sejuk berbeda dengan jalanan yang panas terik. Lillah mulai berjalan menyusuri buku-buku mencari bacaan yang ia inginkan. Dari sekian banyak buku ia malah tertarik dengan koran-koran yang terletak di pojok ruangan. Ia mengambil satu persatu koran dan mulai membacanya. Ia mulai tertarik dengan bacaan-bacaan berita.
"Ibu, aku ingin menjadi penulis berita."
"Wartawan maksudmu Lil?"
"Aku tidak tahu Ibu. Aku hanya ingin mengenal banyak orang dan belajar banyak dari mereka dan membagikan apa yang kutahu melalui berita ini Ibu".
"Mulai hari ini belajarlah yang giat ya, Nak. Semoga kelak kau bisa jadi anak yang bermanfaat", lontar Sri sembari mengelus anak bungsunya.
Matahari mulai turun akhirnya mereka pun hendak Kembali ke rumah sebelum hujan turun. Jalan-jalan kembali mereka susuri. Mereka tampak Bahagia hari ini termasuk Lillah karena hari ini  Oktober hari ulang tahunnya. Di hari ulang tahunnya ia tak meminta apapun selain ingin sekolah. Anak sederhana ini memiliki semangat tinggi untuk bersekolah. Namun, takdir lebih sayang kepadanya dan mengambilnya di jalan pulang. Kecelakaan terjadi begitu saja. Motor butut yang ditungganginya harus tertabrak mobil truk dan terpental ke samping jalan. Kepala Lillah menjilat aspal dan kepalanya terbentur terguling-guling. Darah mengalir dari dahinya tak henti-henti. Ibunya pun di seberang sana tak sadarkan diri. Dengan cepat penduduk sekitar mendekat dan mengecek keadaan anak kecil yang tampan dari wajahnya, Tak di duga bahwa anak itu sudah tak bernapas dan nadinya telah berhenti berdetak.
Mimpi sucinya harus terbawa dengan nyawanya. Ibunya pun menyusul kepergian ayahnya. Hanya tinggal kakak seorang yang belum juga siap menghadapi dunia. Mimpinya tinggal mimpi. Pergi Bersama jiwa yang suci.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H