Mohon tunggu...
RIZKI MAULANA
RIZKI MAULANA Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa

Rizki Maulana Mahasiswa FT UNISSULA Prodi Teknik Sipil

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Tajam ke Bawah Tumpul ke Atas

27 September 2021   20:39 Diperbarui: 19 Oktober 2021   14:23 4612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Hukum di Indonesia"

Indonesia adalah sebuah negara yang menganut sistem hukum dalam penyelenggaraan pemerintahannya.Semua aturan yang tertera dibentuk dan dirumuskan oleh orang-orang yang dianggap kompeten,sehingga masyarakat dapat merasakan adanya keadilan yang sama satu dengan yang lainnya.

Akan tetapi, melihat kondisi hukum sekarang ini dinilai berat sebelah. Ketika hukum dihadapakan dengan orang yang memiliki kekuasaan, baik itu kekuasaan politik maupun uang, maka hukum menjadi tumpul. Namun, ketika dihadapakan dengan orang-orang lemah, yang tidak mempunyai kekuasaan dan sebagainya, hukum bisa sangat tajam. Hal ini terjadi karena proses hukum itu tidak berjalan secara otomatis, tidak terukur bagaimana proses penegakan hukumnya. Hukum di Indonesia dinilai masih tebang pilih dalam penegakannya.

Dengan demikian, Ungkapan"Tajam Kebawah Tumpul Keatas" menjadi ungkapan yang sering di ungkapakan oleh masyarakat kecil. Hal ini tak lain dan tak bukan karena adanya perlakuan yang tidak adil dari segi penegakan hukum antara masyarakat kecil dengan masyarakat kelas atas.

Padahal undang-undang kita telah mengatur bahwa "setiap orang berhak atas pengakuan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum" UUD NRI 1945 Pasal 28D ayat 1. Undang-undang ini sudah sangat jelas bahwa tidak ada perbedaan didalam penegakan hukum antara masyarakat kelas atas dengan masyarakat kelas bawah.

Mereka semua sama dihadapan hukum, yang berkuasa dan tidak berkuasa itu sama. Tidak ada perlakuan khusus pagi pelanggar. Apakah mereka anak pejabat atau anak pemulung, mereka harus ditindak sesuai dengan apa yang mereka lakukan.

Namun kenyataanya, harapan mendapat keadilan dimata hukum seolah menjadi angan-angan saja. Masih ingatkah kalian tentang kasus bapak Aspuri yang dipenjara 5 tahun hanya karena mengambil kain lusuh yang sebenarnya sudah dibuang? Selain itu nenek Minah yang dituntut 1 bulan penjara dengan masa percobaan 3 bulan karena mencuri 3 buah kakao seharga Rp 2.000.

Lalu ada bapak Busrin yang dipidana 2 tahun dan denda 2 milyar, dengan alasan menebang pohon mangrove untuk dibuatnya bahan bakar memasak, dan yang paling kontroversi adalah nenek Asyani  diduga mencuri 7 batang kayu jati berukuran 15 cm milik Perum Perhutani, dan oleh karena itu beliau dipenjara 5 tahun.

Selain kasus diatas, dimasa pandemi ini ada beberapa kasus yang membuat ramai di media sosial pasalnya dianggap tidak adil dalam penegakannya. Sebagai contoh, seorang pedagang bubur ayam di Tasikmalaya yang didenda 5 juta disebabkan karena melayani empat pembeli makan ditempat. Sementara itu ada anggota DPRD Banyuwangi, Jawa Timur, yang melanggar PPKM dengan menggelar pesta pernikahan. Atas pelanggaran itu, ia hanya didenda Rp 500 ribu.

Contoh kasus-kasus diatas berbanding terbalik dengan beberpa kasus kasus besar yang dialami para petinggi negeri dan mereka hanya mendapat sanksi yang bisa dibilang cukup ringan. Salah satu contohnya yaitu dalam kasus korupsi mantan gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah yang hanya dijatuhi hukuman 4 tahun penjara dan denda 200 Juta Rupiah. Ia terbukti melakukan suap kepada mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar sebesar 1 Miliar Rupiah untuk memenangkan gugutan yang diajukan pasangan Amir Hamzah dan Kasmin.

Sungguh mengiris hati jika dibandingkan dengan mereka yang melakukan pelanggaran yang bisa dibilang masalah kecil, bahkan kerugianya tidak sampai jutaan apalagi sampai milyaran. Namun mereka harus menanggung hukuman diatas mereka yang merugikan negara bahkan sampai milyaran. Ketegasan dalam penegakan hukum itu sangat penting, namun ketegasan harus disamaratakan.

Dimana implementasi UUD NRI 1945 pasal 28D ayat 1 dinegeri tercinta ini?, dimana para lulusan sarjana hukum, apakah kalian menegakkan hukum sesuai bayaran yang kalian peroleh?.

Kalo memang pendampingan hukum didasarkan pada bayaran yang kalian peroleh pantas saja masyarakat kelas bawah hanya bisa pasrah dan menerima keputusan penegak hukum. Mereka hanya bisa berangan-angan agar mendapat keadilan yang tepat. Iniah negeri kami, negeri yang penuh dengan pertanyaan.

"Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan (kebaikannya). Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah Maha Mengetahui terhadap segala apa yang kamu kerjakan" Al-Qur'an Surah An-Nisaa' Ayat 135.  Semoga ayat ini selalu menjadi pengingkat kita didalam menegakkan keadilan.

Dosen Pengampu : Dr. Ira Alia Maerani S.H.,M.H(Dosen Fakultas Hukum Unissula)

Penulis : Rizki Maulana(Mahasiswa Fakultas Teknik,Prodi Teknik Sipil,Unissula)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun