Aku menunggu reda pada tiap jeda
Aku menatap senja di balik gedung-gedung tua
Tak satupun dari mereka yang singgah menetap tuk menatap
Mereka hingar bingar ditelan persepsi
Sedangkan aku dikoyak asumsi
Mereka dikejar waktu
Aku terburu sayu
Aku adalah kebekuan yang merasa bergerak
Aku adalah sekantung kacang tanah sebelum berbuah
Aku adalah hampa  yang merasa sia-sia
Aku hidup tanpa makna
Aku hidup dipayungi degup derita
Mereka datang membawa berita
Aku pulang membawa duka
Aku adalah kemalangan yang tak didengarkan
Sampah pun aku anggap sebagai teman
Kususuri jalan-jalan kota,
gedung-gedung tua,
beton-beton abadi,
dan tanah yang termarjinalkan oleh serakahnya pembangunan kota
Aku hidup dalam seonggok daging payah,
yang lemah dikoyak pasrah,
sambil menengadah  ke langit yang pemurah,
tentang sayup-sayup keringat basah dan hati yang resah
Aku mati bersamamu, kebenaran yang tak pernah terbelakan
Dari seorang anak yang bahagia, meski dia punah  sebelum berbuah.Â
Kuungkap hidupnya dalam jeda dan rangkaian diksi murni,
sajak yang layu akan tangismu
-Iqbal RM