Mohon tunggu...
M Zulmanar Rizki
M Zulmanar Rizki Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Securities Crowdfunding Beserta Aspek Syariah

9 Januari 2024   10:17 Diperbarui: 9 Januari 2024   10:32 503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sejarah

Crowdfunding adalah metode penggalangan dana untuk berbagai proyek, termasuk konsep barang, bisnis, atau aktivitas. Crowdfunding telah menjadi metode penggalangan dana yang populer di kalangan pengusaha muda. Jika kita memperhatikan kata "crowdfunding", gagasan ini tampak seperti gagasan kontemporer. Namun praktik crowdfunding ini telah terjadi selama bertahun-tahun sudah lamanya. Pinjaman diberikan oleh kelompok individu kaya yang melihatnya Irish Loan Fund sebagai cara untuk secara kolektif mendukung orang miskin. Dengan demikian, ini menyerupai apa yang sekarang kita kenal sebagai crowdfunding atau lebih spesifiknya, crowdlending, selain itu, Patung Liberty juga pernah didanai pada tahun 1885. Pada saat itu, Perancis berusaha memindahkan Patung Liberty ke New York, tetapi tidak bisa karena kekurangan dana.

Penerbit terkenal Joseph Pulitzer, yang menulis surat kabar "The New York World", memulai kampanye penggalangan dana dengan menjual versi kecil Patung Liberty sebagai imbalan. Akhirnya, berkat penggalangan dana ini, Patung Liberty dibawa ke New York, menjadi salah satu ikon kota New York. Selanjutnya, Marillion, band Inggris, mengumpulkan uang untuk tur reuni mereka pada tahun 1997 melalui donasi online, yang memulai platform crowdfunding pertama. Hal inilah yang membuat musisi senang menggunakan sistem crowdfunding, yang akhirnya mendorong Brian Camelio, seorang produser musik, untuk membuat "ArtistShare" di tahun 2001. Lalu pada tahun 2005 platform crowdlending pertama, "Zopa," diluncurkan di London, platform ini didirikan oleh tim pendiri berpengalaman di bidang keuangan yang bekerja untuk layanan internet banking Egg. Platform ini menjadi yang pertama dan sekaligus membentuk sistem peer-to-peer lending. Setelah itu, pada tahun 2006, seorang penulis bernama Michael Sullivan mencari nama pendek untuk menjelaskan metode penggalangan dana kolektif ini. Akhirnya, ini adalah nama yang dikenal sebagai crowdfunding.

Australian Small Scale Offering Board (ASSOB), yang merupakan platform berbasis ekuitas, mendirikan crowdfunding yang sekarang kita kenal sebagai salah satu pilihan investasi pada tahun 2007. Ini adalah jenis crowdfunding yang memungkinkan Anda mengumpulkan dana dari investor yang berbeda dan menginvestasikan dana tersebut dalam bisnis kecil. Sebaliknya, perusahaan menawarkan kepemilikan saham di bisnis mereka, memberikan investor kesempatan untuk berinvestasi langsung dalam bisnis kecil yang belum siap untuk beroperasi di pasar saham yang sebenarnya.

 Equity crowdfunding kemudian masuk ke Amerika Serikat dan Eropa. Pada awalnya, equity crowdfunding dilarang di Amerika Serikat. Namun, pada tahun 2012, Presiden Obama menandatangani undang-undang Jumpstart Our Business Startups (JOBS), juga dikenal sebagai "undang-undang crowdfunding". Tujuan dari undang-undang ini adalah untuk meringankan aturan yang ditetapkan pada usaha kecil dan melegalkan equity crowdfunding. Di Indonesia, sistem crowdfunding pertama kali muncul pada tahun 2012 dalam bidang non-profit sosial seperti kesehatan, pendidikan, lingkungan, dan budaya. Kemudian, mengikuti perkembangan investasi global, khususnya equity crowdfunding, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menetapkan peraturan pada tahun 2018 yang menjadi dasar bagi sistem crowdfunding di Indonesia.

Peraturan ini adalah Peraturan OJK Nomor 37 /POJK.04/2018 tentang Layanan Urun Dana Melalui Penawaran Saham (Equity Crowdfunding) yang kemudian diubah dengan Peraturan OJK Nomor 57/POJK.04/2020 tentang Penawaran Efek Melalui Layanan Urun Dana Berbasis Teknologi Informasi. Lewat perubahan tahun 2020 ini kemudian dikenalkan sistem crowdfunding baru yaitu securities crowdfunding yang merupakan pembaharuan bentuk equity crowdfunding untuk memudahkan UKM yang badan usahanya masih sulit untuk bisa memenuhi kriteria pendanaan pasar modal. Berdasarkan Peraturan OJK Nomor 57 /POJK.04/2018 maka kemudian dibentuklah Asosiasi Layanan Urun Dana Indonesia (ALUDI). ALUDI sendiri berdiri pada Juli 2020, dan kemudian mendapatkan pengakuan dari Otoritas Jasa Keuangan pada 11 November 2020. ALUDI sendiri berdasarkan Peraturan OJK Nomor 57 /POJK.04/2018 memiliki fungsi yaitu memberikan rekomendasi kepada penyelenggara terkait pelaksanaan layanan urunan dana di Indonesia serta penyelenggaraan edukasi terkait sektor urunan dana di Indonesia. Dimana dalam hal ini juga ALUDI bertugas untuk mengedukasi dan menertibkan hal-hal yang berpotensi untuk melanggar market conduct agar dapat melindungi kepentingan investor.

Pengertian Securities Crowdfunding

SCF merupakan metode pengumpulan dana dengan skema patungan yang dilakukan oleh pemilik bisnis atau usaha untuk memulai atau mengembangkan bisnisnya. Nantinya investor bisa membeli dan mendapatkan kepemilikan melalui Saham, surat bukti kepemilikan utang (Obligasi), atau surat tanda kepemilikan bersama (Sukuk). Saham dari usaha tersebut diperoleh sesuai dengan persentase terhadap nilai besaran kontribusinya. Dengan SCF, investor dan pihak yang membutuhkan dana dapat dengan mudah dipertemukan melalui suatu platform (sistem aplikasi berbasis teknologi informasi) secara online. Investor akan mendapatkan keuntungan dalam bentuk dividen atau bagi hasil dari keuntungan usaha tersebut yang dibagikan secara periodik.

Bagi investor yang tertarik, sebenarnya tidak perlu merasa terlalu khawatir karena SCF telah memiliki payung hukum dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang diatur dalam Peraturan OJK yakni POJK Nomor 57/POJK.04/2020 tentang Penawaran Efek Melalui Layanan Urun Dana Berbasis Teknologi Informasi (Securities Crowdfunding). Melalui SCF, impian perusahaan skala UMKM dalam mendapatkan tambahaan permodalan untuk peningkatan kapasitas usaha melalui penerbitan saham atau surat berharga lainnya ke masyarakat akan menjadi kenyataan. Melalui partisipasi masyarakat dalam pembelian Saham, Obligasi, atau Sukuk maka pelaku UMKM akan mendapatkan sumber dana untuk ekspansi bisnis maupun membesarkan skala usaha dengan kewajiban yang sangat ringan yaitu memberikan atau bagi hasil dari laba usaha. Pada dasarnya SCF hampir sama dengan investasi di pasar modal yaitu ada penerbit (perusahaan yang menawarkan saham perusahaannya), penyelenggara layanan urun dana, dan pemodal (investor).

Perbedaannya terletak pada mekanisme penawaran Saham, Obligasi, dan Sukuk dengan sistem SCF dilakukan oleh penerbit untuk menjual saham secara langsung kepada pemodal melalui sistem elektronik (online), lalu yang diberikan kucuran dana atau selanjutnya disebut penerbit adalah perusahaan rintisan (start-up) maupun UMKM dengan jumlah modal tidak lebih dari Rp30 miliar dan bukan merupakan perusahaan terbuka. Disisi lain bagi penyedia dana (investor), investasi melalui SCF dengan instrumen saham termasuk berisiko tinggi karena dengan membeli saham di SCF berarti investor sebagai penyedia dana dianggap telah menyetujui seluruh syarat dan ketentuan serta memahami semua risiko investasi termasuk resiko kehilangan sebagian atau seluruh modal. SCF hanya bertindak sebagai penyelenggara urun dana yang mempertemukan antara pemodal dengan penerbit (UMKM), bukan sebagai pihak yang menjalankan bisnis (penerbit). OJK bertindak sebagai regulator dan pemberi izin, bukan sebagai penjamin investasi. Memang setiap peluang pemenuhan kebutuhan dana atau sarana investasi bagi pemilik dana merupakan trade off yang harus dipertimbangkan secara matang oleh kedua belah pihak. Perlu diingat pula, bagi investor yang ingin menginvestasikan uangnya melalui perusahaan Securities Crowdfunding maka pastikan terlebih dahulu telah terdaftar dan berizin di OJK

Manfaat yang dirasakan langsung oleh perusahaan startup dan UMKM saat menggunakan SCF secara umum untuk solusi pendanaan usaha, diantaranya:

  • Tidak adanya kewajiban agunan untuk mendapatkan pendanaan. Perusahaan penggalang dana hanya perlu menawarkan saham di perusahaannya sebagai bentuk kompensasi terhadap investasi yang diberikan oleh investor. Dengan demikian pihak investor akan mendapatkan keuntungan berupa pendapatan sesuai dengan besar saham yang diikutsertakan saat proses crowdfunding berlangsung.
  • Kemudahan mengakses platform online pada layanan Securities Crowdfunding di mana saja dan kapan saja. Sehingga perusahaan dan investor dapat memantau kemajuan Crowdfunding yang dilakukan.

Securities Crowdfunding Syariah

Securities crowdfunding (SCF) merupakan penawaran efek atau surat berharga oleh UMKM Penerbit sebagai pihak yang memerlukan pendanaan secara langsung kepada investor melalui Layanan Urun Dana berbasis teknologi informasi yang bersifat terbuka dan dijalankan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Dengan memanfaatkan layanan digital, kini investor dapat menilai, memilih dan berinvestasi secara langsung untuk mendanai UMKM dengan membeli instrumen berupa surat berharga syariah baik saham syariah maupun sukuk yang ditawarkan oleh UMKM secara online pada website maupun aplikasi penyelenggara SCF. Penyelenggaraan SCF Syariah ini pada dasarnya merupakan kegiatan jasa keuangan di Sektor Pasar Modal, sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 57/POJK.04/2020 Tentang Penawaran Efek Melalui Layanan Urun Dana Berbasis Teknologi Informasi (Securities Crowdfunding). POJK tersebut merupakan perluasan dari POJK No. 37/POJK.04/2018 sebelumnya mengenai Equity Crowdfunding (ECF). Apabila sebelumnya pada Equity Crowdfunding (ECF) hanya terbatas pada saham, maka Securities Crowdfunding (SCF) diperluas dengan mencakup surat berharga lainnya. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan pilihan instrumen investasi yang lebih beragam. Dengan demikian, pada sektor Pasar Modal terdapat dua jenis penyelenggara Pasar Modal yaitu:

  • Bursa Efek Indonesia (BEI), diperuntukkan bagi usaha skala kecil, menengah, besar dan korporasi,
  • Securities Crowdfunding (SCF) yang diperuntukan bagi usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).

Keberadaan SCF Syariah ini dapat menjadi sebuah solusi bagi para investor untuk dapat melakukan investasi secara langsung pada bisnis UMKM karena beberapa keunggulan SCF Syariah sebagai berikut:

  • Pemanfaatan teknologi memudahkan investor untuk melakukan investasi, seluruh tahapan investasi pada SCF Syariah dilakukan melalui jaringan elektronik dan verifikasi elektronik. Sehingga mudah dan cepat.
  • Pilihan untuk melakukan investasi melalui SCF Syariah, sesuai dengan preferensi dan toleransi risiko dari masing-masing investor.
  • Sebelum melakukan investasi, investor dapat mempelajari dan menganalisa potensi dan kelayakan usaha dari penerbit saham syariah/sukuk melalui prospektus dari masing-masing penerbit. Prospektus atau proposal ini berisi informasi penting perusahaan penerbit termasuk Laporan Keuangan
  • Investor dapat memantau penggunaan dana yang diinvestasikan kepada penerbit dan memantau perkembangan usaha penerbit melalui sejumlah laporan berkala yang diserahkan penerbit melalui penyelenggara.
  • Dengan berinvestasi melalui SCF Syariah dan melakukan pendanaan bagi UMKM, berarti turut berkontribusi terhadap pengembangan UMKM dan perekonomian nasional, khususnya perekonomian Syariah.

Persamaan dan perbedaan antara SCF, BEI dan Peer to Peer Lending

  •  
  • SCF Syariah
  • BEI
  • P2P
  • Kategori Sarana
  • Pasar Modal
  • Pasar Modal
  • Pembiayaan
  • Berbasis Aplikasi
  • Berbasis Aplikasi
  • Berbasis Aplikasi dan Tidak
  • Prosedur Pendanaan
  • Sederhana
  • Kompleks
  • Sederhana
  • Instrumen
  • Sukuk dan Saham
  • Sukuk, Saham & surat berharga lainnya
  • Pembiayaan

 

 

 

 

 

Aspek Syariah dari Model Bisnis SCF Syariah

Bagi para calon investor maupun investor yang telah masuk ke dalam securities crowdfunding (SCF) syariah, sangat penting untuk mengetahui tentang bagaimana prinsip-prinsip syariah dalam pembagian dividen/ imbal hasil atas investasi saham dan sukuk. Terutama pada sukuk, terdapat perbedaan yang mendasar apabila dibandingkan dengan obligasi konvensional terkait model keuntungan yang diperoleh oleh para pemegang sukuk dan obligasi konvensional. Perbedaan tersebut disebabkan adanya perbedaan pada penggunaan akad masing-masing surat berharga. Obligasi konvensional menggunakan skema akad pinjaman dengan adanya imbalan berupa bunga yang akan dibayarkan kepada pemegang obligasi, sehingga menjadi mengandung riba yang dilarang secara syariah. Sementara sukuk, menggunakan skema akad produktif yang tidak mengandung riba.

Selain itu sangat penting untuk dipahami oleh investor bahwa investasi melalui SCF Syariah adalah bentuk investasi pada sektor riil yang dapat mengalami pasang-surut bisnis sehingga keuntungan yang didapatkan hasil usaha berfluktuasi sesuai kondisi. Adapun tingkat keuntungan yang disampaikan oleh penerbit pada masa penawaran merupakan proyeksi dan bukan sebuah kepastian. Sehingga realisasi keuntungan yang didapatkan oleh investor melalui SCF Syariah ini bisa lebih tinggi maupun lebih rendah dari proyeksi.

Prinsip-prinsip syariah tentang pembagian imbal hasil ini berlaku untuk pembagian imbal hasil bagi para pemegang saham dan pemegang sukuk. Prinsipprinsip syariah tersebut, tertuang dalam fatwa DSN nomor 114 Tahun 2017 Tentang Akad Syirkah dan fatwa DSN nomor 08 Tahun 2000 Tentang Pembiayaan Musyarakah.

 

Kesimpulan

Perkembangan teknologi yang begitu cepat memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kebiasaan hidup masyarakat, termasuk pada metode pengumpulan dana pada bisnis. Salah satunya adalah securities crowdfunding yang merupakan salah satu metode pengumpulan dana bagi para pelaku bisnis yang dapat memudahkan mereka untuk menjangkau investor secara lebih luas.

Securities Crowdfunding (SCF) Syariah merupakan inovasi dalam pendanaan bisnis syariah melalui platform online dengan skema patungan. OJK sebagai regulator memiliki peran penting dalam pengawasan dan izin operasional. SCF Syariah memberikan manfaat bagi UMKM dengan kewajiban ringan dan akses mudah. Key players melibatkan OJK, penyelenggara platform, penerbit, investor, bank kustodian, dan KSEI. Aspek syariah mencakup proporsi bagi hasil, periode pembagian hasil, mekanisme pembagian keuntungan, dan ketentuan penjaminan dan pengembalian modal. Risiko investasi melibatkan usaha, likuiditas, kegagalan sistem, dan risiko pembagian dividen atau dilusi saham. Investor dihadapkan pada tantangan persepsi risiko tinggi, keterbatasan informasi, dan kesulitan pemahaman karakter bisnis UMKM. SCF Syariah memberikan solusi formal dan legal, memberikan perlindungan bagi investor, dan berkontribusi pada pengembangan UMKM dan ekonomi syariah.

Pada securities crowdfunding juga terdapat asepek syariah yang membedakan dengan konsep konvensional, seperti adanya skema bagi hasil yang sudah ditentukan dan diketahui kedua pihak, sehingga bisa menghindari terjadinya konflik, Namun, metode securities crowdfunding ini bukan berarti tidak memiliki risiko. Terdapat beberapa risiko yang mungkin terjadi pada penerapan securities crowdfunding, seperti adanya fluktuasi dalam usaha, proyek yang didanai tidak menghasilkan keuntungan sesuai ekspektasi, dan risiko-risiko sejenis yang mungkin terjadi pada metode ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun