Saat diwawancarai, Oliveira mengungkapkan alasan di balik tindakannya itu, yakni karena ia menganggap bahwa Risman telah sangat banyak membantunya selama berada di Lombok dan ia menilai Risman sebagai pribadi yang baik dan sangat ramah.
Momen indah ini tentu dapat menjadi suatu highlight tersendiri dalam pergelaran MotoGP Mandalika 2022 dan menciptakan suatu citra positif yang dipersepsikan oleh tamu.
Selain itu, banyak sekali momen-momen yang menunjukkan bagaimana riders MotoGP ini membaur dengan masyarakat lokal, sebut saja momen seperti menikmati jajanan lokal, bercengkrama dengan masyarakat lokal, hingga membeli pulsa di konter.
Hal itu menunjukkan betapa eratnya interaksi antara para pembalap tadi dengan masyarakat lokal. Kita bisa melihat ini sebagai sesuatu yang positif, karena dari situ secara tidak langsung para pembalap dapat mengenal kebudayaan lokal yang ada di Lombok dan memperkenalkannya ke kancah internasional melalui unggahan-unggahan mereka di sosial media.
Sengketa Tanah dalam Sirkuit Mandalika
Di balik semua kesuksesan dan citra positif yang berhasil didapatkan dari pergelaran MotoGP Mandalika 2022, ternyata terdapat suatu isu panas terkait lahan yang digunakan dalam pembangunan sirkuit yang kemudian diberi nama Pertamina Mandalika International Street Circuit.
Proses pembangunan sirkuit tersebut menuai perhatian serius dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) karena pihak pemerintah Indonesia dinilai melakukan perampasan tanah secara agresif, penggusuran dan pengusiran secara paksa pada suatu kelompok etnis tertentu, serta intimidasi.
Laporan tersebut kemudian mendapat tanggapan dari pihak pemerintah Indonesia dengan mengatakan bahwa tujuan utama dari proyek tersebut ialah untuk mempercepat partumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan di wilayah Lombok.
Selain itu, pihak pemerintah Indonesia juga mengungkapkan bahwa semua pemanfaatan tanah ini sudah melalui musyawarah dengan masyarakat lokal dan sudah sama-sama setuju. Pemerintah juga telah mengalokasikan dana sebesar 140 miliar rupiah untuk dana kompensasi serta penyediaan lahan relokasi yang letaknya tidak jauh dari Desa Kuta.
Akan tetapi, PBB tidak dapat menerima pernyataan dari pihak Indonesia dengan menganggap bahwa segala kompensasi baik secara finansial maupun penyediaan lahan relokasi tersebut tidak sebanding dengan apa yang dirasakan oleh masyarakat lokal yang “terpaksa” harus meninggalkan daerah mereka.
PBB berargumen bahwa penyediaan lahan relokasi serta kompensasi itu tidak cukup untuk keberlangsungan hidup masyarakat, karena mereka tidak mendapatkan prospek pekerjaan yang jelas dan juga lahan relokasi dianggap belum tertata rapi sehingga belum layak untuk ditempati.