Aku membuang napas lelah sambil memandang Amin, anak didikku itu tetap duduk di kursinya sambil tersenyum kecut ke arahku sementara teman-temannya mengumpulkan lembar jawaban. Amin. Anak satu ini sangat sulit mencerna apa yang kusampaikan sehingga terkadang, aku dibuat jengkel olehnya. Bayangkan!!!!! Bahkan, soal termudah untuk anak kelas tiga SD saja tidak bisa ia kerjakan! Banyak sekali alasan yang membuatku malas untuk memasuki kelas IX B ini. Si Amin dengan....kapasitas otak yang minim, Jefri si pembuat onar, Rahma si tukang tidur, Chacha si tukang telatt dan ah, entahlah!!! Aku.....merasa tertekan untuk mengajar disini, apalagi tahun ini akulah wali kelas mereka. Andaikan aku menjadi wali kelas IX A, pasti aku akan jauh lebih bersemangat. Mereka sangat aktif, pintar dan begitu semangat belajar. Sungguh perbedaan yang begitu jauh, bagaikan langit dan bumi.
      Kulihat semua siswa sudah keluar kelas dengan riang kala Amin mmendekatiku sambil tersenyum lebar seraya menyerahkan lembar jawabannya. Kuterima dan kuteliti sebentar lalu kembali kulihat wajah polos itu.
"Mau sampai kapan kamu seperti ini terus, Amin?! nilaimu bahkan sangat jauh dari rata-rata!. Saya sudah berkali-kali membahas bab ini, tapi kamu tetap saja tidak paham! sebenarnya, kamu niat sekolah apa tidak?!! Soal seperti ini saja tidak bisa! lihat teman-teman kelas IX A! Mereka bisa menjadi siswa pintar, apa kamu tidak bisa mencontoh mereka barang sedikit saja?!", aku sudah benar-benar berang pada remaja berambut keriting ini, kutinggal lembar jawabannya dan beranjak pergi. Meninggalkan Amin yang masih terpaku memandang hasil kerjanya yang sama sekali tak kuhargai. Ia terus menunduk sampai aku hilang dari pandangannya.
.................
      Aku menyesap kopi hitam buatan istriku dengan lamban. Rasa malas untuk memasuki kelas IX B menjadikan moodku di pagi ini benar-benar buruk. Akan ada masalah apa lagi nanti? Aku mulai memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang seharusnya tak kupikirkan. Lamunanku buyar saat Erna, putri kecilku mencium tanganku dengan riang bersam ibunya. Ah, dua perempuan ini membuatku lupa tentang masalah-masalah yang ada. Ah, tak ingin berlama-lama memikirkan mereka, akhirnya aku bersiap untuk berangkat. kukendarai motor tua kesayangan dan siap untuk menerima segala macam kejutan dari anak-anak ajaib itu.
      Dugaanku ternyata tidak meleset barang seinci pun. Saat kuparkirkan sepeda motor, Andi dan Rian berlari menghampiriku dengan napas tersengal.
      "Ada apa ini?", tanyaku sambil menggantungkan helm di spion. Dua muridku itu masih berusaha mengatur napasnya.
      "Itu....itu, pak.... di kantin...Jefri....Amin.....", belum sempat mereka menyelesaikan kalimatnya, aku langsung berjalan cepat menuju kantin.
      Kemarahanku benar-benar memuncak. Sekarang, apalagi yang mereka perbuat?. Baru minggu kemarin Jefri dan Amin mematahkan hidung anak IX A, sekarang sudah kembali berulah. Saat tiba di sana, kulihat anak-anak berusaha memisahkan Jefri serta Amin dari Ethan dan Dion, siswa yang kutahu kelas IX A. Aku diam dan menatap Jefri serta Amin dengan begitu marah. Mereka terlihat masih menahan kesal. Seragam putihnya awut-awutan.
      "Sudah bertengkarnya?". Semua murid yang ada di sana terdiam sambil menundukkan kepala.
      "Jefri, Amin! Kenapa sudah ada keributan di pagi-pagi begini? Berulah apa lagi kalian?!" tanyaku dengan suara lantang memenuhi ruang kantin yang penuh siswa namun begitu senyap itu.
      Semua diam. Tapi, tak kusangka setelah itu akan ada jawaban yang mampu melumpuhkan tulang-tulangku. Rahma maju kehadapanku dengan kepala tertunduk takut.
      "Jefri dan Amin memang salah, pak.tapi......mereka juga salah." Telunjuknya mengarah kepada Ethan dan Dion. "Jefri dan Amin marah karena mereka menghina bapak. Mereka......bapak tidak tahu, mereka selalu menghina bapak di belakang. Sudah berkali-kali sepeprti itu, pak. Minggu kemarin pun juga sama", terangnya. Aku berusaha mencoba mengendalikan rasa terkejutku.
      "Benar begitu Jefri, Amin, Dion, Ethan....?!" satu, dua, tiga, empat sampai lima detik tidak ada jawaban, akhirnya Amin membuka suara, "kami tidak terima jika mereka menghina Bapak. Bapak itu guru, orang tua dan panutan kami. Bapak selau mengajari kami dengan ikhlas, sabar dan tak pernah mengeluh. Kami selalu yakin, pasti setiap pagi Bapak begitu bersemangat mengajar kami yang sangat susah diatur dan bodoh ini. Bapak adalah orang tua kami. Lalu, apa salah jika kami membela orang tua kami?"
      Aku seperti ditampar oleh tangan tak kasat mata. Tubuhku lemas, seketika mataku memanas, hatiku terasa begitu sesak.....Ya allah...semua kalimat itu berhasil menampar sekaligus menyadarkanku dari kesalahan yang selama ini terus kupelihara. Sungguh, aku begitu malu dengan kepala-kepala yang masih tertunduk itu. Apakah tadi pagi aku bersemangat? Apakah aku sudah ikhlas dalam mengajar mereka?. Tidak! Aku selalu mengeluh, selau membanding-bandingkan mereka dengan kelas lain. Bahkan, aku sempat bosan mengajar mereka. Harusnya aku lebih bisa memahami mereka. Aku benar-benar salah.....
      Masih dengan memandang kepala-kepala yang menunduk di hadapanku, aku mulai sadar. Saat ini seharusnya akulah yang pantas unuk menunduk. Bukan kepala-kepala ini...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H