Semua diam. Tapi, tak kusangka setelah itu akan ada jawaban yang mampu melumpuhkan tulang-tulangku. Rahma maju kehadapanku dengan kepala tertunduk takut.
      "Jefri dan Amin memang salah, pak.tapi......mereka juga salah." Telunjuknya mengarah kepada Ethan dan Dion. "Jefri dan Amin marah karena mereka menghina bapak. Mereka......bapak tidak tahu, mereka selalu menghina bapak di belakang. Sudah berkali-kali sepeprti itu, pak. Minggu kemarin pun juga sama", terangnya. Aku berusaha mencoba mengendalikan rasa terkejutku.
      "Benar begitu Jefri, Amin, Dion, Ethan....?!" satu, dua, tiga, empat sampai lima detik tidak ada jawaban, akhirnya Amin membuka suara, "kami tidak terima jika mereka menghina Bapak. Bapak itu guru, orang tua dan panutan kami. Bapak selau mengajari kami dengan ikhlas, sabar dan tak pernah mengeluh. Kami selalu yakin, pasti setiap pagi Bapak begitu bersemangat mengajar kami yang sangat susah diatur dan bodoh ini. Bapak adalah orang tua kami. Lalu, apa salah jika kami membela orang tua kami?"
      Aku seperti ditampar oleh tangan tak kasat mata. Tubuhku lemas, seketika mataku memanas, hatiku terasa begitu sesak.....Ya allah...semua kalimat itu berhasil menampar sekaligus menyadarkanku dari kesalahan yang selama ini terus kupelihara. Sungguh, aku begitu malu dengan kepala-kepala yang masih tertunduk itu. Apakah tadi pagi aku bersemangat? Apakah aku sudah ikhlas dalam mengajar mereka?. Tidak! Aku selalu mengeluh, selau membanding-bandingkan mereka dengan kelas lain. Bahkan, aku sempat bosan mengajar mereka. Harusnya aku lebih bisa memahami mereka. Aku benar-benar salah.....
      Masih dengan memandang kepala-kepala yang menunduk di hadapanku, aku mulai sadar. Saat ini seharusnya akulah yang pantas unuk menunduk. Bukan kepala-kepala ini...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H