Mohon tunggu...
rizkaita
rizkaita Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca, penulis, dan kawan seperjalanan

Mari berbicara lewat barisan kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Tabungan Air Bersih, Mempersiapkan Keluarga Bebas Stunting

23 Oktober 2021   23:57 Diperbarui: 24 Oktober 2021   20:14 1189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tabungan Air Bersih Mempersiapkan Keluarga Bebas Stunting | dokumen pribadi

Kekurangan air bersih tak pernah terbayang dalam benak saya, sampai sepuluh tahun lalu terjadi di rumah sendiri. Bagaimana pernah bisa membayangkan? Keluarga saya tinggal di kota dan katanya air adalah sumber daya yang dapat diperbaharui dan tak terbatas jumlahnya. Sedangkan, berita krisis air bersih atau kekeringan yang kerap diberitakan saat itu terjadi di daerah-daerah yang bahkan sampai saat ini belum bisa saya datangi.

Bukan hanya rumah kami yang waktu itu mengalami krisis air, tetangga lain dengan dua anak yang sedang aktif-aktifnya juga mengalami hal serupa. Tapi ada perbedaan yang cukup membekas di benak saya, tetangga kecil kami yang berumur lebih muda dari adik saya jadi sering sakit di masa itu. Bukan hanya salah satunya, tapi bergantian atau beberapa kali berbarengan.

Rumah kami ada di gang yang sama meski tak langsung bersebelahan tembok. Ada lahan kosong dan sawah yang berada di depan, samping, dan belakang rumah. Maklum kavling baru, waktu itu kota kami pun belum terlalu dilirik, meski sudah berdiri beberapa perumahan besar dan pabrik dalam radius lima kilometer.

Butuh sekitar satu dasawarsa untuk mengamati betul apa yang menjadi permasalahan lingkungan, termasuk  dengan ikut Danone Digital Academy, sampai ingatan ini kembali mengetuk-ngetuk untuk dihubungkan dengan berbagai pengetahuan yang terekam di kepala. Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) saat itu belum populer karena tak ada dorongan besar seperti adanya pandemi saat ini, tapi saat kebiasaan ini terbangun secara kolektif, sudahkah bisa masalah kesehatan teratasi?

Akses Air Bersih di Indonesia

Data dari bank dunia pada tahun 2014 menyatakan, ada 780 juta orang tidak memiliki akses terhadap air bersih dan lebih dari 2 miliar penduduk bumi tidak dapat mengakses sanitasi. Dampaknya, ada ribuan nyawa melayang setiap hari yang mengakibatkan kerugian materi hingga 7 persen dari PDB dunia. Tentu banyak di antara kejadian ini ada di Indonesia, jauh sebelum pandemi COVID-19 melanda.

Sebagai negara kepulauan dengan iklim torpis, air memang terlihat banyak dan mudah ditemukan di negeri ini. Namun, menurut data dari LIPI, Pulau Jawa saja diperkirakan akan kehilangan hampir seluruh sumber airnya pada tahun 2040. Padahal kebutuhan air terus meningkat, bukan hanya karena pertambahan penduduk, tapi juga adanya pandemi dua tahun ini.

Faktor penyusutan sumber air di Indonesia antara lain disebabkan oleh penebangan pohon, terutama yang berada di sekitar sumber air permukaan, seperti sungai dan waduk. Salah satu akibat dari kejadian ini adalah rusaknya 22 Daerah Aliran Sungai (DAS) di Malang pada tahun 2017. Ketiadaan vegetasi di pinggir sungai mengakibatkan sungai menjadi dangkal karena adanya sedimentasi dan terjadi penurunan kualitas air.

Kerusakan yang sama dan lebih besar terjadi di Kalimantan Selatan akibat pembukaan lahan sawit. Hilangnya hutan di pinggir sungai pegunungan Meratus tersebut, mengakibatkan banjir besar di awal 2021 ini. Deforestasi membuat air menjadi ancaman di sekitarnya, baik saat musim hujan maupun kemarau.

Selain itu, permasalahan kesehatan bukan hanya terdapat dari sumber air. Kementerian Kesehatan RI pada 2019 mencatat, akses sanitasi di Indonesia baru mencapai 78% dari sekitar 65 juta kepala keluarga. Belum semua keluarga mampu mendapatkan hal yang sama, karena selain sumber yang terkikis, terdapat cemaran air tanah yang berasal dari bahan kimia dan kotoran akibat dari pembuangan limbah yang tidak dapat terkelola.

Defisit Tabungan Air Bersih dan Stunting

Pengelolaan air bersih dan sumbernya menjadi perhatian banyak kementerian karena berdampak langsung pada pertumbuhan negara, terutama di bidang kesehatan. Salah satu tugas besar kesehatan Indonesia saat ini adalah penurunan angka stunting yang dalam Bahasa Indonesia disebut kekerdilan atau tengkes.

Menurut Endah Citraresmi, selaku dokter spesialis anak, tengkes sendiri bukan sebuah penyakit, melainkan kurangnya gizi kronis sebagi akibat kumulatif dari berbagai penyakit dan gangguan kesehatan yang dialami seseorang. Hal ini bisa terjadi sejak masa di dalam kandungan hingga usia anak-anak. Sebab bukan penyakit, stunting tak bisa diobati.

Namun beliau menambahkan, kondisi ini sangat bisa dicegah. Salah satu pencegahan pentingnya adalah dengan menghadirkan lingkungan yang memiliki akses terhadap kesehatan dasar, air, dan sanitasi. Bukan hanya untuk anak, tetapi akses ini harus lebih dulu disediakan untuk ibu yang akan mengalami proses kehamilan dan persalinan.

Muhadjir Effendy sebagai Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) juga menyebutkan, intervensi penyediaan air minum, sanitasi yang layak, dan perubahan perilaku berkontribusi 70% dalam pencegahan tengkes. Upaya ini dikejar dengan berbagai cara, karena stunting dapat menyebabkan permasalahan jangka panjang bagi individu yang mengalaminya, seperti gangguan perkembangan saraf otak dan ancaman terjangkit penyakit tidak menular.

Kondisi tengkes yang saat ini dialami 27.7% anak Indonesia, akan berdampak pada sektor kesehatan, ekonomi, dan sosial. Kasus tengkes yang tidak mendapat pencegahan dini memerlukan biaya kesehatan tambahan, potensi penurunan produktivitas, serta menurunnya kemampuan hubungan sosial saat berada di usia yang lebih dewasa.

Staf Ahli Menteri dan Kepala Sekretariat Nasional SDGs, Vivi Yulaswati mengatakan, tingginya prevalensi stunting dapat mengubah bonus demografi yang dimiliki Indonesia menjadi bumerang apabila tidak segera diturunkan. Pesan ini disampaikan saat menjadi salah satu pemateri di Danone Digital Academy 2021.

Penyakit seperti diare dan infeksi saluran kencing (ISK) sering terjadi di masa kehamilan apabila faktor air yang aman dan layak tidak terpenuhi. Keduanya dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, jamur, maupun cemaran lain yang bisa masuk ke dalam air yang digunakan. Infeksi cacing pada anak-anak yang bersumber dari air, tanah, dan bahan makanan yang tidak bersih juga dapat mendorong masuknya patogen.

Dampak langsung yang paling mengkhawatirkan dari penyakit-penyakit tersebut, adalah kurangnya penyerapan nutrisi selama kehamilan, kelahiran prematur, dan infeksi serius bagi keduanya. Bagi anak-anak, terutama pada 1000 hari pertama kehidupannya, jika beragam penyakit ini menyerang dan terjadi berulang, maka potensi stunting sangat besar terjadi.

Sistem imunitas anak-anak yang belum terbentuk sempurna mudah ditembus kuman dan tubuh terus menerus sibuk mengatasi penyakit dibanding bertumbuh. Begitu pun ketika sang ibu yang sakit, keadaan ini akan memengaruhi anak, karena mereka masih sangat bergantung untuk memenuhi kebutuhan dasar.

Bersiap Jadi Keluarga Bebas Stunting

Upaya untuk mencukupi kebutuhan air yang layak dan aman harus terus diusahakan, paling tidak dalam skala rumah tangga. Sebab tempat tinggal menjadi akses terdekat untuk memenuhi kebutuhan dasar. Dengan atau tanpa adanya ibu hamil dan anak-anak di lingkungan rumah saat ini. Lagi pula, dengan tingginya prevalensi stunting di masa lalu, kita bisa saja menjadi salah satunya, hanya tak disadari lebih dini.

Krisis sumber air yang menjadi isu nasional dapat coba diatasi dari rumah dengan memanen air hujan sebagai sumber air bersih lain yang bisa digunakan. Hal ini dapat mengurangi beban air tanah atau air perpipaan yang selama ini sebagai sumber utama.

Selain menambah sumber air yang dapat digunakan di rumah, air hujan yang tidak melewati atap dapat dimasukkan ke dalam tanah melalui berbagai resapan. Resapan alami dapat diciptakan dengan menanam pohon buah yang memiliki batang kayu keras, seperti jambu, nangka, atau rambutan. Lumayan kan, akarnya menyerap air, buahnhya bisa dipanen dan menambah gizi.

Untuk resapan air cepat, kita bisa menyediakan lubang biopori di sekitar lingkungan rumah. Biopori merupakan lubang serapan di dalam tanah yang bisa menampung air hujan dan sampah organik. Hasilnya bukan cuma tabungan air bersih, tetapi juga pupuk kompos yang bisa digunakan.

Jika sumber dan simpanan air di sekitar rumah sudah bisa bertambah, jangan lupa pastikan kualitasnya harus layak dan aman. Air yang layak tidak memiliki warna, bau, maupun rasa. Kita bisa mengupayakannya dengan memperhatikan sumber air dan septic tank memiliki jarak yang cukup, agar tidak ada bahaya masuknya limbah apapbila terjadi kebocoran. 

Limbah rumahan sintetik yang kita buang pun bisa diubah menjadi limbah alami, atau paling tidak mengurangi jumlah cemarannya. Misalnya, kita bisa mengubah deterjen ke sari lerak untuk mencuci baju atau menggunakan air bekas mencuci beras untuk menyiram tanaman. Langkah yang lebih besar untuk kesehatan lingkungan, jangan biarkan limbah apapun dari rumah kita langsung dibuang ke aliran air, karena itu hanya kembali kepada kita.

Terakhir, apapun yang bisa diupayakan hari ini, menjaga kesehatan itu datang sepaket dengan kebijaksanaan memakai sumber daya. Sebab yang kita harapkan sehat bukan hanya kita di hari ini, tapi juga diri kita nanti dan tentu saja orang-orang yang kita cintai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun