Para ustad di tempat saya mengaji punya peran yang lain lagi. Entah mengetahui atau tidak tentang hadiah yang dijanjikan bapak, saya kerap kali dibiarkan tadarus sampai lama sekali dengan satu ustad. Padahal seharusnya dua ustad yang mengajar diperuntukkan untuk semua anak yang mengaji. Kadang jika saya sudah keburu haus dan mau berhenti, pak ustad malah meminta saya melanjutkan beberapa ayat lagi. Kesempatan ini bukan hanya soal seberapa banyak yang bisa saya baca waktu itu, tapi semakin lama bacaan saya diamati lalu dikoreksi saat muncul keliru. Jadi, tak boleh mengaji di mushola dekat rumah tak sebegitunya mengecilkan semangat saya waktu itu. Ceritanya ada di siniÂ
Rasanya meski santai, masa kecil saya bersama bulan Ramadan seperti penuh gemblengan. Saya dipacu dan terpacu untuk menikmati bulan ke-9 dalam kalender Hijriah ini. Beribadah sesuai kemampuan dan bertanggung jawab atas keputusan sendiri jadi dua pelajaran yang melandasi ibadah saya selain kejujuran. Saya malah mencicipi bolos puasa dua tahun lalu, bukan bersama teman-teman sebaya saat masih di sekolah dasar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H