Mohon tunggu...
rizkaita
rizkaita Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca, penulis, dan kawan seperjalanan

Mari berbicara lewat barisan kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Bagaimana Ramadan dan Lingkungan Membesarkan Saya

19 April 2021   23:40 Diperbarui: 20 April 2021   00:23 1366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setidaknya ada 19 kali bulan Ramadan yang saya hadapi dan yang paling membanggakan justru lima tahun pertamanya. Saya menjalaninya sebagai siswa di salah satu sekolah swasta. Siswa beragama Islam di sana sejak saya kelas satu tidak pernah lebih dari 20 orang dalam satu angkatan. Murid lainnya? Di angakatan saya 70% penganut Kristen Protestan dan Katolik, serta ada satu orang beragama Hindu. Keadaan ini malah menjadikan saya mampu menjalankan puasa penuh waktu sejak kelas dua kala itu.

Bagimu Ibadahmu Bagiku Ibadahku

Sejauh memori yang berhasil saya gali, tak ada peringatan toleransi yang diulang berkali-kali oleh para guru di depan kelas hingga kami jengah. Saya justru ingat, awal-awal puasa di kelas dua atau kelas tiga SD saya cenderung menutupi diri kalau sedang berpuasa. Alasannya, saya tak ingin teman-teman yang tak berpuasa menjauh karena sungkan atau malu. Saya tetap menemani mereka jajan atau berlari-larian di lapangan. Kantin tentu saja tak tutup, karena jumlah murid TK-SMA yang tidak berpuasa tetap lebih banyak. Dan selama lima tahun di sana tidak pernah sekalipun ada orang tua murid yang protes karena hal ini.

Teman-teman saya yang tidak berpuasa, entah karena belum mampu atau memang tak menjalani, santai saja minum dan makan saat waktu istirahat. Mereka pun tak pernah melakukan itu untuk sengaja meledek saya yang berpuasa. Bisa jadi karena sejak kecil  saya cenderung berani menegur yang akhirnya dianggap galak, tapi saya pun tak pernah menemui anak yang dirundung karena berpuasa atau mengganggu orang berpuasa.

Mereka yang beragama Islam dan seangkatan dengan saya juga punya waktu memulai puasanya sendiri. Ada sudah mulai puasa di kelas satu, saya puasa penuh di kelas dua, lainnya terus menyusul seperti efek domino. Guru agama saya juga berperan penting sepertinya, karena beliau lebih dulu mengajarkan kejujuran dibanding puasa. Kami kerap ditanyai puasa atau tidak hari itu. Jika hanya setengah hari atau tidak sekali pun takkan kena marah, tapi yang puasa apa lagi siswa kelas kecil pasti mendapat pujian.

Pelajaran agama tetap dilakukan biasa saja seperti bulan-bulan sebelumnya, yakni kami yang Islam, Protestan, dan Katolik akan dikumpulkan dalam kelas berbeda sesuai dengan agama kami. Saya malah pernah menaruh iri pada teman saya yang Hindu, karena ia dipersilakan masuk ke kelas manapun yang ia kehendaki. Kadang ia bersama saya mengikuti pelajaran Agama Islam dan memulainya dengan doa sesuai kepercayaannya. Lain waktu, ia ikut bernyanyi kidung pujian di kelas lain. Asyik, kan?

Proses Pendidikan Berkesinambungan

Perlu orang sekampung untuk membesarkan seorang anak

Mengingat masa kecil saya, terutama kelakuan saya selama puasa, membuat saya memahami pepatah ini. Bukan hanya guru saya di sekolah yang berusaha menghargai anak-anak yang belajar berpuasa. Orang tua dan guru mengaji saya yang membuat barisan lebih rapat agar saya mau beribadah tanpa merasa terpaksa. Padahal zaman saya sekolah, teknologi belum menolong komunikasi antar orang tua dan guru.

Orang tua saya menerapkan sistem reward berlapis saat pertama kali saya belajar puasa. Awal Ramadan, bapak pasti menyampaikan apa yang akan saya dapatkan jika bisa puasa penuh 30 hari. Semakin naik kelas, beliau menjanjikan tambahan jika saya berhasil menyelesaikan bacaan 30 juz Al-Qur'an selama puasa. Jarang sekali ia menyebutkan apa yang akan saya terima. Tapi menghidupkan dan mematikan semangat seorang anak memang paling mudah dilakukan oleh orang tua sendiri.

Menuju penuhnya puasa dan khatamnya bacaan Al-Qur'an saya, ibu akan memberikan banyak keringanan sehari-hari. Kota tempat saya tinggal berudara cukup panas sejak dulu, jadi setiap pukul empat sore saya sudah berada di kamar mandi dan berendam di dalam bak atau ember sampai bapak pulang. Itu artinya hingga menjelang waktu maghrib. Kegiatan ini biasa saya lakukan paling di akhir minggu jika di bulan-bulan lain. Tetapi jika Ramadan, ibu jarang sekali melarang atau meminta saya mandi cepat-cepat.

Selama bulan puasa ibu juga akan menunjukkan stok makanan yang sebelumnya jarang ada di rumah secara tersirat. Mie instan, nugget, susu kotak, atau apapun yang biasanya jadi rengekan saya ketika ke minimarket, pasti ada. Padahal kami bukan keluarga yang mampu menyetok banyak makanan dari supermarket, karena pekerjaan bapak hanya pegawai swasta biasa. Agak berat sepertinya ketika adik saya juga mulai ikut puasa, karena menjelang tahun terakhirnya di SD, bapak saya kena PHK. Hehe rezeki saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun