Setiap pengalaman eros harus dihayati dengan cara membangkitkan ketertarikan terhadap segala sesuatu yang indah. Pengalaman ini menyentuh jiwa secara mendalam. Sebagai akibat dari sentuhan tersebut, jiwa tergerak untuk mencari keindahan yang ditemuinya. Jiwa yang tergerak oleh pengalaman eros ini menjadi penuh energi, dan itulah yang menyebabkan seseorang yang jatuh cinta menjadi terpesona atau bahkan terobsesi.
Berbeda dengan pandangan sebelumnya, Jean Paul Sartre, seorang tokoh eksistensialis, memiliki pandangan yang berbeda tentang cinta. Baginya, cinta menimbulkan konflik dan memiliki sifat paradoks.Â
Bagaimana mungkin cinta yang abadi itu ada? Menurut Sartre, cinta sebenarnya adalah sebuah ilusi yang membuat kita menjadi objek perbudakan cinta itu sendiri. Ini menyebabkan pertentangan dalam pemahaman tentang cinta. Meskipun di satu sisi cinta bisa dianggap sebagai anugerah, namun dalam pandangan Sartre, cinta justru menciptakan konflik.Â
Pernyataan Sartre mengenai cinta tidak terlepas dari pandangan filsafat eksistensialis yang ia anut. Filsafat eksistensialisme menekankan pentingnya eksistensi yang mendahului esensi. Oleh karena itu, penelitian yang lebih mendalam mengenai perspektif cinta Jean-Paul Sartre menjadi menarik untuk dilakukan.
Pembahasan
Selama bertahun-tahun, cinta telah dianggap sebagai sebuah kebajikan yang memiliki hakikat yang mulia dan meliputi segala hal (Muthahari, 2020). Namun, ada juga kelompok orang yang mengaitkan cinta dengan libido, yaitu intensitas metabolis naluri seksual. Mereka cenderung beranggapan bahwa cinta tidak dapat diangkat ke tingkat yang lebih tinggi dalam hal-hal yang bersifat ilahiah.Â
Bagi mereka, asal usul cinta tidak terkait dengan hal-hal yang bersifat spiritual, dan cinta tidak dianggap sebagai sesuatu yang harus manusiawi atau bertujuan untuk kemanusiaan. Salah satu tokoh yang termasuk dalam kelompok ini adalah Jean-Paul Sartre, seorang eksistensialis yang memiliki cara tersendiri dalam mendefinisikan istilah dan makna cinta.
Untuk memahami esensi filsafat cinta menurut Sartre, tidak bisa dipahami secara terpisah dari perjalanan hidup Jean-Paul Sartre sendiri. Dalam memahami cinta, jiwa dan kemanusiaan Sartre terkait dengan kisah hubungannya dengan Simone de Beauvoir, di mana mereka menjadi pasangan tanpa keterikatan dalam ikatan cinta, pernikahan, atau memiliki anak. Mereka mencintai orang lain secara bebas dan transparan. Dengan kata lain, hubungan Sartre dan Simone adalah hubungan non-konvensional.
Dalam karya Sultani (2021), dijelaskan bahwa kisah cinta Sartre dan Simone melibatkan hubungan dengan Bianca Bienefield Lamblin, Olga Kosakiewics, dan Wanda Kosakiewics. Percintaan yang kompleks ini menjadi drama emosional yang menyebabkan Sartre mengalami gangguan mental seperti maniak-depresi atau kesulitan melupakan, yang berlangsung selama bertahun-tahun.
Percintaan yang rumit dalam kehidupan Sartre telah membentuk dasar pemikirannya tentang cinta, jiwa, dan kemanusiaan. Bagi Sartre, orang yang mencintai pada dasarnya ingin menguasai dunia orang yang dicintai dengan menguasai jiwa mereka.Â
Bagi Sartre, ini adalah cara manusia mengekspresikan keberadaannya di dunia nyata dan dunia maya. Namun, memperobjekkan cinta dan meminta orang lain menyerahkan dunia dan dirinya secara keseluruhan adalah kondisi di mana seseorang "terjebak dalam dunia orang lain" atau menjadi "benda bagi orang lain".Â