Sabtu, 23 Februari 2008
Pada suatu pagi, sebuah sekolah di kota terpencil terguncang oleh suatu kabar yang sangat mengejutkan. Bagaimana tidak? Mereka baru saja mendengar kabar duka dari murid mereka yang ke-3 dalam satu bulan.Â
Sang murid yang berinisial A.S dinyatakan meninggal bunuh diri di sebuah gedung tua dekat dengan sekolah yang bernama "SMA Nusa Bangsa" itu.Â
Entah apa yang mendorongnya untuk melakukan itu, tetapi dia adalah murid ke-3 yang "bunuh diri" di bulan yang sama. Seluruh sekolah membicarakan kejadian naas tersebut dengan banyak pertanyaan di benak mereka .
"Eh, kamu udah tau belom?" ucap seorang siswa di lorong sekolah kepada temannya yang baru datang dan sedang membuka lokernya. Temannya menatapnya dengan tatapan bingung menandakan bahwa dia tidak tahu apa yang sedang dibicarakan oleh sang siswa tersebut. Sambil melihat sekeliling, sang siswa mendekatkan bibirnya ke telinga temannya dan berbisik, "Itu, ada yang bunuh diri lagi katanya".Â
Tidak percaya dengan apa yang didengarnya tadi, temannya memukul lengannya perlahan. "hus, kamu suka ngasal deh mulutnya ya Tio" ucapnya sambil menatapnya dengan tatapan yang memberi peringatan.Â
"Tio" pun membalas tatapannya dengan tatapan tak percaya. Bagaimana dia berteman dengan orang yang bahkan rasa kepercayaan kepadanya saja sangatlah sedikit? Ia pun tidak tahu. Baru saja Tio ingin menjawabnya, tiba-tiba saja bel sekolah berbunyi menandakan bahwa pelajaran pertama akan segera dimulai.
"Udah ah, udah bel masuk tuh. Kamu pasti belom selesai tugas Bina Musik Vokalia kan?". Tio yang mendengarnya memberinya tatapan 'emangnya ada tugas ya?'
Temannya hanya menghela napasnya sembari mengambil buku yang bertuliskan BMV di depannya. "Nih, kembaliin kalo pas bapaknya udah ada" ucapnya seraya memberikan bukunya itu kepada Tio. Dalam sekejap, buku itu sudah berpindah dari tangannya ke dalam tas temannya itu.
"Makasih ya buat Bulanku tersayang" ucapnya seraya mencubit pipi Bulan dengan keras. Sebuah tangan pun melayang kea rah tangan Tio dan memukulnya dengan kekuatan penuh. Karena reflex, akhirnya Tio melepaskan tangannya dari pipi mulus Bulan. Bulan memegangi pipinya yang tadi dicubit oleh Tio.Â
Dia menatapnya dengan sangat tajam yang hanya dibalas oleh senyuman 5 jari dari Tio. "Udah sana, dasar ga guna". Ucapnya yang dibalas oleh tertawaan si Tio. "Ya udah deh... tapi kamu mau kemana? Kok nyuruh aku duluan? Kan kita sekelas" dengan polosnya Tio berkata kepada Bulan. Setelah mendengarnya, Bulan hanya memutar bola matanya lalu pergi meninggalkan Tio.
"Paan sih, gak jelas deh jadi anak" Tio berkata sembari jalan menuju kelasnya yang berada tepat di ujung lorong.
(di dalam kelas)
Saat guru di dalam kelas sedang menerangkan materi dari bab baru, tiba-tiba saja ada yang mengetuk pintu ruangan BMV. Sebuah kepala muncul dari balik pintu sambil menatap sang guru dengan tatapan yang mengatakan bahwa ada yang harus dibicarakan.Â
"Permisi bentar ya, kerjakan halaman 23-24 dan jangan ada jawaban yang sama!" perintahnya dengan tegas dan dibalas dengan beberapa 'ya' dari para murid.Â
Tio yang memperhatikan dari tempat duduknya hanya diam dengan perasaan bosan yang terpampang jelas di mukanya. Karena bosan, akhirnya ia memutuskan untuk menguping apa yang sedang dibicarakan oleh para guru di luar ruangan BMV dengan serius.
"Pak tau masalah ini kan?" tanya guru piket yang tadi menghampiri.
"Iya saya tau bu, tapi emangnya kita harus ngomong disini ya? Kan gak enak kalo didenger anak-anak" timpal sang guru BMV. Dari suaranya saja sudah menjelaskan bahwa sang guru ingin kalau topik itu berhenti disitu.
"Ya udah kalo gitu, kita ga usah ngumumin yang itu. Sekarang mending kita kenalin anak baru ke dalem kelas" ucap guru piket sembari menghela napas dengan berat.
"Murid baru?", pikir Tio seraya mencoba mengintip ke luar jendela. Jantungnya hampir berhenti ketika ia melihat ada seorang gadis menatapnya balik. Gadis tersebut terlihat asing baginya, tetapi dia merasa bahwa mereka pernah bertemu sebelumnya, tetapi Tio tidak tahu dimana. Gadis tersebut mempunyai rambut panjang sebahu berwarna hitam legam yang diberi bandana untuk aksesoris.Â
Matanya yang berwarna cokelat menatapnya dalam. Tio tidak tahu mengapa, tetapi dia merasakan perasaan yang sangat  meresahkan dirinya saat menatap mata sang gadis baru tersebut, seperti merasa tidak aman.Â
Tio terus menatapnya untuk mencoba mengingat kembali dimana mereka pernah bertemu, tetapi sebuah dehaman menghentikan semuanya. Kalau tadi Tio merasa bahwa jantungnya akan terhenti saat menatap gadis itu, sekarang dia yakin bahwa jantungnya sudah benar-benar terhenti di dadanya. Ia menoleh kearah sumber suara dengan perasaan yang sedang tegang.
"Udah selesai tatap-tatapannya Satrio?" tanya guru BMV dengan muka yang datar. Entah, Tio memang bukanlah seorang psikologi, tetapi ia yakin bahwa sang guru sekarang sedang marah. Gadis baru hanya menatap Tio dengan senyuman puas. Hari pertama baginya merupakan hari yang sangat unik.
"Eh, bapak. Gak kok pak, saya Cuma mau nanya tugasnya dikumpulin sekarang pak?" tanyanya dengan senyuman sopan. Walau pun saat ini Satrio terlihat santai, dalam hatinya ia berdo'a agar sang guru tidak melayangkan spidol kea rah kepalanya nanti.Â
Sang guru hanya menghela napasnya melihat tingkah laku ajaib muridnya yang satu ini. Sang murid baru hanya diam dan hanya memperhatikan si Tiodengan tatapan yang kosong. Bahkan ia sempat terlihat sedih untuk sekilas.
"Ya sudah, masuk sana. Bapak mau ngasih pengumuman" ujar sang bapak sambil melambaikan tangannya ke arah Satrio menandakan masuk. Satrio hanya membalasnya dengan sebuah cengir kuda dan memasukkan kepalanya kembali ke dalam kelas. Jujur saja, perasaannya masih campur aduk sampai saat ini. Ia masih memikirkan gadis itu. 'Apakah mungkin ia ada hubungannya dengan kejadian itu?' pikir Tio
"Anak-anak, hari ini kita kedatangan muris baru yang pindah dari daerah Jakarta" suara lancang guru sontak membuat pemikiran Tio terhenti dan melihat kea rah depan. Murid lainnya di dalam kelas hanya bersorak dan bertepuk tangan ketika mendengar hal tersebut.Â
"Tolong diam! Biarkan murid baru masuk dan memprkenalkan dirinya" lanjutnya. Setelah pengumuman tersebut, masuklah seorang gadis ke dalam kelas. Para murid laki-laki hanya bisa bersiul ketika mereka mendapati ada seorang gadis yang masuk. Mereka malah bersorak-sorai dan mengacungkan jempol ke guru piket yang berada di luar kelas, dibalas dengan gelengan kepala darinya.Â
Ketika yang lainnya sibuk berpikir betapa cantiknya sang murid baru, Tio hnaya mencoba untuk mengingat siapa gadis yang sedang berdiri di depan kelasnya sekarang.
"Ti, Cantik ya? Dipepet aja Ti, kali aja dapet" tanya teman sebangku Tio dengan nada  menggoda . Tio hanya melihatnya aneh seakan apa yang dikatakannya adalah hal yang absurd. Cantik? Memang sih dia memiliki tubuh ramping yang tinggi bak model, kulitnya juga bersih. Tapi apakah dia tertarik? Entahlah, saat ini ia hanya sebatas penasaran dengan identitas sang gadis.
"Halo, perkenalkan nama saya Cahaya Putri Tantono, biasa dipanggil Caca. Saya pindahan dari Jakarta karena kerjaan kakak saya. Salam kenal" Ucap 'Caca' sambil tersenyum dengan manis. Semua laki-laki hanya bisa bersorak kembali melihat senyumannya itu.Â
"Apaan sih malu-maluin aja", pikir Tio sambil membalas senyuman Caca yang hanya menatapnya. Mereka saling bertatap-tatapan sampai suara lancang guru piket memecahkan keheningan diantara mereka.
"Kalian diem dulu! Gimana murid baru mau ngomong?" Teriaknya yang hanya dibales dengan keheningan. Setelah kelas menjadi hening, para guru mengisyaratkan Caca untuk lanjut bicara.
Baru saja Tio membuka mulutnya untuk bertanya,tiba-tiba suara bel yang menandakan berakhirnya jam pelajaran pertama berbunyi." Kalau semisalnya ada yang mau ditanyakan silahkan tanyanya pas istrirahat saja" ujar guru piket yang kemudian kembali ke tempatnya. Teman sebangku Tio yang melihat bahwa Tio sangatlah tertarik dengan Caca  mengambil inisiatif dan duduk di belakang Tio yang merupakan kursi kosong.Â
"Woy lah ngapain", ucap Tio setengah berbisik ketika menyadari apa yang baru saja dilakukan oleh temannya itu. Ia hanya tersenyum dengan penuh makna ketika melihat Caca mendatangi meja mereka. "Aku duduk di sini boleh?" tanya Caca sambil tersenyum menatap wajah kebingungan Tio.
Baru saja Tio akan menjawab, tiba-tiba sudah dipotong oleh temannya."Ya boleh banget dong. Duduknya sama dia ya" ujarnya sembari menepuk pundak Tio. Caca hanya tersenyum melihat tingkah laku mereka berdua. Tetapi kemudian senyumnya berubah menjadi senyum sedih. Tio yang melihat hal itu hanya bisa bingung.Â
Siapa Caca sebenarnya, kenapa ia merasakan bahwa Caca tau semua tentangnya? Caca, yang tadinya masih berdiri, duduk di sebelah Tio. Canggung. Itulah kata yang paling tepat untuk menggambarkan mereka berdua saat ini. Tidak bicara dan tidak tatap tatapan. Padahal apa yang diinginkan oleh teman Tio adalah setidaknya Tio mempunyai sedikit nyali untuk berkenalan lebih dalam.
Tidak terasa bel istirahat pun berbunyi dan Tio merasa lega. Sangat lega. Akhirnya dia bisa memiliki waktu privat tanpa ditatap oleh seluruh murid kelas dan tanpa lirikan Caca. Bukannya ia tidak suka dengan Caca, tapi apakah perlu meliriknya setiap ada kesempatan? Â Kalau ada yang mau ditanya silahkan tanya, dia saja duduk di sampingnya. Sesaat setelah Tio berpikiran begitu, Caca menoleh ke arahnya secara tiba-tiba yang membuat Tio terkejut. Ia membuka mulutnya untuk berbicara, tetapi dipotong oleh suara yang memanggil nama Tio.
"TIO!" Teriakan. Lebih tepatnya teriakan yang memanggil nama Tio.
Tio langsung menoleh ke arah sumber suara dan mendapati temannya, Bulan, sedang menatapnya tajam. Entah mengapa ia bergidik ngeri melihat sosok Bulan yang sedang marah kepadanya. Ia merasa bahwa Bulan akan membunuhnya secara harfiah.Â
"Ya Tuhan, hamba masih mau hidup", batinnya. Bagaimana Tio tidak takut? Bulan adalah seorang atlet silat yang handal, bahkan lawannya yang berlawanan jenis saja tidak mampu mengalahkannya. Walau pun Bulan terlihat anggun, tapi sesungguhnya dia sangat kuat. Oke, balik lagi ke topik. Sekarang Bulan sedang berjalan ke arah Tio dengan muka yang memerah menahan amarah.
"Kan udah kubilang kalo udah selesai kembaliin lagi tu buku" katanya sembari memukul Tio dengan kekuatan yang besar. Tio hanya bisa meringis dan menerima nasibnya sebagai samsak tinju berjalan bagi Bulan. Tio tiba-tiba tersadar bahwa masih ada Caca disampingnya, ia menoleh ke arah Caca yang sekarang sedang menatap tajam Bulan. Bulan tentu saja tidak sadar dengan tatapan tajam yang diterimanya. Ia terus bercanda bersama Tio, yang sedang memperhatikan Caca, dan tertawa. Tio merinding. Merasa takut dengan tatapan yang diperlihatkan Caca itu. Akhirnya Tio menyuruh Bulan untuk berhenti bercanda dan meminta maaf padanya.
"Bun udah ah, ada murid baru tuh" ujarnya sembari menunjuk Caca. Bulan seketika berhenti bercanda dan menoleh ke arah Caca dengan senyuman yang sumringah, tetapi mukanya tiba-tiba berubah menjadi datar saat pandangannya jatuh ke gadis itu. Mereka bertatapan dengan tatapan yang tidak bisa dibaca oleh Tio. Seperti mereka mengenal satu sama lain. Bulan mengulurkan tangannya duluan dan tersenyum, secara paksa, kepada Caca.
"Bulan." Ucapnya dengan santai. Caca melihat ke arah uluran tangan Bulan dan ke matanya. Ia tersenyum. "Caca." Ujarnya sambil menjabat tangan Bulan. Mereka terus seperti itu hingga beberapa detik, lalu akhirnya Caca pergi ke luar tanpa berbicara satu kata pun. Bulan menatap punggung Caca dengan raut wajah yang kusut. Seperti mereka pernah bertemu sebelumnya, tetapi dalam pertemuan itu mereka tidak punya niatan untuk berteman.
"Bun...Bun!" Panggilan Tio baru dibalas ketika Bulan tiba-tiba tersadar. Bulan menatap Tio untuk sesaat lalu ia melongos pergi. Tio heran, ada apa dengan Bulan dan Caca? Mereka bertingkah aneh.
Dua bulan telah berlalu, Tio dan Caca menjadi semakin dekat. Walau terkadang Tio masih merasa janggal terhadap Caca, tapi dia mulai penasaran dan ingin dekat dengannya. Tetapi, Bulan malah menjauh darinya. Ketika saat mereka bertatap muka di lorong sekolah, Bulan pasti akan selalu membuang mukanya dan pergi begitu saja. Tio bingung, apakah dia memiliki salah? Tapi menurutnya yang salah malah Bulan.Â
Di sisi lain, korban 'bunuh diri' sekolah semakin bertambah. Aneh. Padahal bulan kemarin saja sudah ada 3 orang, sekarang bertambah menjadi 5 orang. Kejadian ini tentu saja menggemparkan sekolah, karena para orang tua sudah mulai khawatir dan meminta anak mereka dipindahkan.
"Parah sih, masa korban di sekolah kita nambah?" Ujar Retno, teman Tio sambil membaca koran yang ada di tangannya. Tio yang tadinya sedang bicara dengan Caca berhenti dan merebut koran dari tangan Retno. Tio membaca headlinenya yang berjudul "Murid Sekolah Bunuh Diri". Caca pun jadi ikut tertarik untuk membacanya.
"Ada apa ?", Tanyanya kepada Tio. Tio yang mengerenyitkan dahinya menoleh ke arah Caca tanpa kelepas pandangannya dari koran. "Ada yang bunuh diri lagi di sekolah kita" katanya yang kemudian menatap Caca. Tio heran ketika melihat raut wajah Caca yang bagaikan sudah tahu kejadian itu.
"Bunuh diri?" Tanyanya dengan nada datar. Caca lalu akhirnya menatap muka Tio dan tersenyum. "Aneh gak sih kalo tiap bulan ada yang bunuh diri?" Tanyanya dengan penuh makna. Tio tertegun mendengarnya. Sebenarnya apa yang diketahui oleh Caca? Apa yang dia sembunyikan? Entahlah, hanya dia dan tuhan yang tau.
Sepulang sekolah, Tio bertemu dengan Caca yang sedang berjalan dengan seorang ibu-ibu di jalan. Ibu-ibu itu terlihat bingung dan pangling, Caca sedang membantunya. Tio ingin menyapanya, tetapi firasatnya tidak enak, jadi ia memutuskan untuk pulang ke rumahnya.
Sesampainya di rumah, ia melihat tantenya sedang memasak makan siang untuknya. Ia mengucapkan salam dan masuk ke dalam dapur. Ia menyalami tantenya dan saat akan masuk ke dalam kamar, ia tiba-tiba diberhentikan oleh tantenya. Tio tersentak kaget, ia menatap tantenya dengan bingung, "Ada apa tan?" Tanyanya. Tantenya hanya menyuruhnya untuk duduk di kursi ruang tamu.
"Kamu hati-hati ya Ti, sekarang lagi banyak kasus orang hilang yang berujung pembunuhan" ucapnya dengan tangan yang bergetar dan muka yang pucat. Khawatir, Tio mengelus tangan tantenya dengan lembut. "Tante kenapa? Sakit?" Tanyanya kepada tantenya. Ia menggelengkan kepalanya menandakan tidak, lalu ia hanya menunjuk ke arah televisi yang sedang memberitakan tentang seorang ibu-ibu yang hilang.
"Tante cuma takut Tio, kamu keluarga tante satu-satunya" ucapnya getir. Tio merasa aneh, tantenya tidak biasanya seperti ini, mungkin karena apa yang sedang terjadi sekarang adalah hal yang sama yang terjadi sebelum kedua orang tua Tio dan adiknya bunuh diri? Mungkin. Tapi apa yang dipikirkan oleh tantenya juga membuat hatinya goyah. Karena Tio juga berpikiran bahwa semua yang terjadi saat ini persis sama seperti 2 tahun lalu saat ia masih kelas X. Tidak mungkin kedua orang tuanya bunuh diri, tidak mungkin juga adiknya kabur meninggalkannya. Semua yang terjadi sekarang pasti ada hubungannya dengan apa yang terjadi di masa lalu. Apakah kedua orang tuanya sebenarnya bukan bunuh diri?
"Udah ah capek mikirinnya", batinnya, akhirnya ia memutuskan untuk tidur dan merelakannya.
"Apa ini?", Pikir Tio ketia ia merasakan rantai yang membelenggunya. Ia membuka matanya dan menatap sekitarnya. Ruangannya gelap dengan wallpaper bergambarkan robot. Tio sendiri terikat di sebuah tempat tidur bertema race car dengan mainan boneka. Tio mengrenyitkan dahinya seraya ia berpikir, 'Ini bukan kamarku, kenapa lagi ada rantai?' Batinnya. Dia berusaha untuk melepaskan diri, tapi tidak berhasil. Saat masih mencoba melepaskan diri, tiba-tiba pintu kamar terbuka lebar dan menampilkan seorang wanita paruh baya yang sedang membawa buah apel yang sudah dipotong-potong. Wajahnya sumringah, tapi Tio tidak kenal siapa dia.
"Sayang udah bangun?" Tanya wanita itu ketika melihat Tio terduduk di tempat tidur dengan muka bingungnya. Wanita itu menghampirinya dan menarik rantai dengan keras sehingga membuat Tio meringis kesakitan. Gilanya wanita itu hanya terkekeh melihat reaksi Tio yang kesakitan. Dia meletakkan tangannya di pipi Tio yang membeku di tempat. Tio menatapnya sesaat sebelum ia merasakan sensasi terbakar di tempat wanita itu meletakkan tangannya. Dia baru saja menampar pipinya. Tio yang terkejut hanya bisa melihatnya dengan ketakutan.
Mengapa ia ketakutan? Tinggal bebaskan diri saja dari belenggu itu dan menahan lengan si wanita itu dan berteriak. Tetapi mengapa tidak bisa? Itu adalah pertanyaan yang ia tanyakan sebelum ia sadar bahwa dirinya yang sekarang adalah seorang anak kecil yang sangat kecil. Apakah ini memori dari masa lalunya? Baru saja ia memikirkan itu, tamparan lain telah mendarat di pipi satunya. Sekarang wanita itu terlihat sangat marah.
"Kamu kenapa gak mau dengerin ibu sih?! Makanya dengerin kalo orang tua lagi ngomong!" Teriaknya di hadapan Tio. Tio merasakan ketakutan yang sangat luar biasa di dalam tubuhnya. Ia menangis dan memohon untuk tidak dipukuli oleh wanita yang memanggil dirinya sendiri 'ibu' itu. Sebenarnya Tio tidak mengenali siapa wanita di hadapannya ini, ibunya tidak mempunyai rambut pendek dan mata cokelat.
"Kan udah dibilang istirahat!" *plak* tamparan lain mendarat di pipinya. Ia mulai menangis lebih keras. Saat wanita itu ingin memukulnya kembali, tiba-tiba ada tangan kecil yang menghentikan tangannya.
Seketika Tio terbangun dengan keringat dingin dan mendapati bahwa pipinya basah. Jantungnya berdegup dengan kencang seperti dia baru lari marathon. Baru pertama kali selama Tio hidup dia mengalami mimpi buruk yang seperti kenyataan seperti itu. Ia terdiam untuk sesaar di atas tempat tidurnya.Â
Setelah beberapa saat, akhirnya Tio memutuskan untuk mengambil air minum di dapur. Ia masih bingung, tetapi ia beranggapan bahwa itu hanya kebetulan saja. Akhirnya dia melanjutkan tidur dan memutuskan untuk tidak memikirkannya.
Keesokan harinya ia sedang memakan roti untuk sarapan ketika mendengar televisi yang memberitakan seorang hilang yang ternyata terlihat sedang bersama seseorang dari sebuah SMA di dekat Tio tinggal. Tio tersedak roti yang ia makan, Tio pernah melihatnya! Ibu itu adalah ibu-ibu yang dilihat oleh Tio sepulang sekolah kemarin. Beliau sedang bersama Caca! Setelah tersadar akan hal itu, Tio buru-buru pergi ke sekolah untuk mencari Caca. Benar saja, Caca tidak ada di bangkunya. Dadanya semakin berdegup kencang. Apakah benar Caca adalah pelaku pembunuhan?
Saat dirinya tengah panik, sebuah tangan menepuk pundaknya. Tio bersiap untuk memukul siapa pun itu tetapi berhenti ketika ia melihat siapa yang menepuk pundaknya. Bulan. Tio lega mendapati Bulan yang sedang tersenyum kepadanya. Bulan yang melihat hal itu menunjukan muka bingung kepada Tio.
"Ada apa? Kok kamu kayak panik gitu sih?" Tanyanya kepada Tio. Tio memegang pundaknya dan membawanya ke tempat sunyi di ujung. Ia membisiki semua yang ia perkiraan selama ini kepada Bulan. Setelah selesai, Bulan yang mendengarnya memasang muka terkejut. "Serius kamu?" Tanyanya. Tio menganggukan kepalanya.
"Kalo bener berarti ini gawat Ti!" Ucapnya sambil mengguncangkan tubuh Tio. Tio menghentikakan gincangannya dan bertanya ada apa kepadanya. "
"Aku ngeliat dia bawa cowo sepantaran kita ke gudang anak-anak bunuh diri!" Serunya.
Tio merinding. Selama ini ia duduk bersama seorang pembunuh berantai dan ia bahkan mencoba mendekatinya. Akhirnya Tio dan Bulan memutuskan untuk pergi mencari dimana keberadaan siswa dan juga Caca.Â
Tio panik dan takut. Bagaimana kalau mereka sampai terlambat? Apakah mereka akan terluka? Pertanyaan itu memenuhi kepalanya seraya ia berlari ke arah gudang kosong yang ada di dekat sekolah.
Sesampainya mereka ke sana, mereka mulai berpencar dan mencari keberadaan sang sandera. "Tio!" . Berhenti. Jantungnya seperti berhenti ketika mendengar suara yang memanggilnya itu. Ia memutar badannya menghadap ke arah sumber suara. Disanalah dia berdiri, Cahaya Putri Tantono, dengan segala glorynya. Dengan wajah yang polos sepertinya tidak bersalah. Tio menghampirinya dengan perlahan. Langkahnya berat untuk menuju Caca. Setelah sampai di depan Caca, Tio mencengkram lengannya dengan keras. Caca meringis kesakitan dan meminta Tio untuk berhenti.
"Apaan sih kamu?! Sakit Tio!" Teriaknya. Caca menatap wajah Tio dan langsung berhenti bergerak. Wajah Tio seperti sedang melihat setan, dan mungkin memang sedang melihat setan. Ia membawa Caca ke tempat di dekat pintu masuk dan memegang kedua tangannya di belakang tubuh Caca.
"Kamu jujur sama aku, kamu kemaren bareng sama ibu-ibu gak?" Tanyanya datar, walaupun Caca tahu bahwa kalau itu menatap mukanya lagi, pasti Tio akan memucat. Awalnya Caca tidak mengerti, kemudian ia tersadar apa yang dimaksud dengan pertanyaan Tio tersebut. Caca tidak percaya bahwa Tio menanggap dirinya sebagai pembunuh berantai.
"Kamu mau tau? Lepasin dulu Ti" ujar Caca. Tio malah makin mengeraskan cengkramannya di lengan Caca. "Aku bilang jawab Ca" ucapnya dengan penekanan di kata 'jawab'.
"Iya aku jawab! Lepas dulu Tio tanganku berdarah!" Teriak Caca dengan lantang. Tio yang mendengarnya melihat kebawah dan mendapati bahwa tangan Caca yang sedari tadi ia cengkram ternyata luka. Tio tidak sadar. Ia langsung melepaskan genggaman tangannya. Caca langsung menutup lukanya dengan tangannya yang lainnya. Lalu setelah beberapa saat akhirnya Caca menatapnya dengan tatapan tajam dan bercampur sedih.
"Kamu gak sadar? Sekarang aku tanya, setiap korban ada hubungannya apa nggak?" Tanya Caca kepada Tio. Heran, Tio hanya menatapnya aneh. Untuk apa ia bertanya balik padahal pertanyaannya saja belum ia jawab. Tio yang melihat bahwa Caca menunggu untuk mendapatkan jawaban akhirnya menghela napas dan mencoba untuk berpikir.
"Mereka semua itu ngeganggu kamu Ti. Kamu masa gak sadar sih?" Ujar Caca. Tio tambah heran. Apalagi hubungannya dengan dia? Caca melihat Tio masih tidak percaya dengan perkataannya, jadi ia mendekatinya.
"Maksudku, coba kamu pikir-pikir lagi, murid-murid yang bunuh diri pernah ngegangguin kamu gak? Ibu-ibu itu?" Tanyanya lagi kali ini dengan tatapan yang meyakinkan. Tio tiba-tiba teringat, murid-murid yang bunuh diri adalah orang-orang yang pernah merundungnya waktu ia kelas 2, dan ibu-ibu yang hilang adalah orang yang tidak sengaja menyerempetnya saat ia sedang berjalan pulang. Ia tidak mempercayainya, Caca melakukan semua itu?
Caca yang melihatnya kembali menghela napasnya lelah. "Bukan aku, aku baru pindah ke sini Ti" ucapnya untuk meyakinkan Tio. Walau pun ragu, tapi apa yang dikatakan Caca itu benar. Perasaannya sedikit lega nengetahui bahwa bukan Caca lah yang seorang pembunuh. "Aku gak mungkin pindah kalo bukan karena kamu itu dalem bahaya. Aku gak mau kamu ngalamin kejadian yang sama seperti waktu itu Ti" lanjutnya dengan tatapan hangat.
'Kejadian... waktu itu?-' tiba-tiba saja  semua memori yang pernah ia ingat muncul kembali di benaknya. Ternyara apa yang diimpikannya adalah kejadian yang pernah dia alami sebelumnya. Ibu itu, anak itu. Anak itu! Dia adalah Caca. Caca berusaha menghentikan wanita itu- ibunya dari memukulinya. Tio adalah korban penculikan anak yang pernah terjadi 10 tahun yang lalu. Ibu dari Caca adalah wanita karir yang anak lelakinya meninggal karena dia selalu memukulinya. Tio menatap Caca dengan emosi yang campur aduk.
Caca hanya tersenyum pahit kearahnya. "Aku punya saudara angkat Tio, kamu inget ga? Anak kecil yang suka ngeliatin kamu pas kamu tidur?" Tanyanya. Tio menatapnya dengan tatapan penuh emosi. Ia mencoba mengingat lagi, dan benar, ada seorang anak kecil yang berpakaian seperti lelaki yang selalu menatapnya saat ia tidur. Anak itu selalu disayang oleh 'Wanita itu'. Ia merasa familier dengan anak tersebut, tetapi dia lupa siapa itu. Baru saja Caca membuka mulutnya untuk berbicara, tiba-tiba ada suara yang memotongnya.
"Yah, keduluan deh" ucap Bulan dari belakang Caca sambil mencekiknya. Caca hanya bisa mencoba untuk kabur, tapi cengkraman Bulan terlalu kuat. Ia tidak bisa bernapas dan pandangannya kabur. Tio panik dan mencoba untuk melepaskan cengkraman Bulan dari leher Caca, tetapi Bulan mengeluarkan pisau. Bulan melepaskan cengkramannya, tetapi sekarang ia menjambak rambut Caca dengan kuat. Lalu ia mengarahkan pisaunya ke arah leher Caca.
"Bulan! Jangan bunuh Caca!" Teriak Tio dengan panik. Ternyata selama ini pembunuhnya ada di depan matanya. "Bulan, aku tau itu bukan kamu! Kamu itu gak kayak gin-" kalimatnya terpotong oleh suara teriakan Bulan. Sekarang ia menodongkan pisaunya ke arah Tio. Ia tertawa bagaikan seorang maniak.
"Kamu gak tau apa-apa! Aku selalu harus pake dan berlaku sebagai cowo!" Teriaknya. Lalu ia mengangkat kepala Caca sambil menunjuknya dengan pisau. "Dan dia? Bebas! Dia bahkan bisa punya semua yang aku mau! Terus pas kamu dateng? Parah Satrio, parah! Aku harus menerima perlakuan yang gak manusiawi dari orang yang pernah kupanggil ibu!" Teriaknya. Tio syok, jadi selama ini yang dimaksud oleh Caca adalah Bulan. Mereka bersaudara.
"Tapi dia itu saudara kamu! Jangan bunuh dia Bulan!" Seru Tio. Ia mencoba memcari jalan keluar untuk kabur, tapi dia tidak bisa menemukannya. Bulan yang menyadarinya pun langsung menggores leher Caca. Tio terdiam. Ia tidak bisa membahayakan nyawa Caca untuk kabur. Tidak, ia tidak mau Caca terluka karena tindakan bodohnya .
"Kamu sama aja ya kayak orang tuamu" mendengar ucapan itu membuat Tio tertegun. Ia tidak pernah menceritakan tentang kedua orang tuanya kepada Bulan, dan Tio baru mengenal Bulan setelah orang tuanya wafat. Jadi bagaimana Bulan bisa tahu?
"Kamu bingung ya, nih ya aku kasih tau" ucapnya dengan nada jahil. Ia mendekatkan kepalanya dan berbicara dengan nada yang pelan. "Kan aku yang ngebunuh orang tua kamu Ti" akunya dengan senyuman yang jahil. Tio diam. Ia tidak tahu harus merasakan apa. Semuanya datajg dengan cepat, terlalu cepat baginya untuk bisa dimengerti. Ia menatap kosong Bulan.
"Aku ngebunuh semua orang itu supaya kalo misalnya kasusnya diselidikin sama polisi, semuanya ngarah ke kamu. Karena cuma kamu yang punya motif untuk ngebunuh semua orang itu" ucapnya lagi. Caca terlihat sudah pasrah ditangan saudara kandungnya. Ia tidak bergerak.
"Tapi, sekarang aku gak bisa ngebiarin kalian idup deh, aku bunuh aja ya?" Sesaat setelah ucapan itu keluar dari mulutnya, Bulan menusukkan pisau ke perut Caca. Caca tidak berteriak, ia hanya terlalu terkejut untuk bereaksi, dan pasti sekarang ia belum merasakan apapun. Tio tersadar dari lamunannya dan mencoba untuk mengambil pisau dari Bulan yang sedang lengah menertawai Caca. Saat telah memegang pisau tersebut, Tio berdiri di antara Caca dan Bulan sembari menodongkan pisau kehadapannya.
"Jangan gerak Bulan" peringatnya. Tio tidak main-main, ia memang berniat untuk menusuk manusia keji dihadapannya ini, tetapi dia sadar bahwa itu adalah tindakan yang patethic. Jadi ia hanya bersiap jika Bulan mempunyai senjata lainnya. Bulan hanya mengangkat tangannya dengan seriangan yang terpampang di wajahnya.
"Coba aja, kamu gak bakalan berani, dan lagi si Caca bakal keabisan darah tuh" ujarnya sembari menunjuk Caca yang mulai kehilangan kesadaran di lantai. Lantainya penuh dengan cairan berwarna merah gelap yang mengelilingi tubuh Caca. Seketika Tio mendekati Caca dan berusaha menutup luka tusuknya. Tio menangis karena frustrasi akan apa yang sedang terjadi sekarang. Ia tidak mau Caca mati, ia tidak mau siapapun mati karenannya.
"Ya udah deh, aku pergi ya" pamit Bulan yang sedang merapikan bajunya. Ketika ia baru saja melangkah ke arah pintu, tiba-tiba banyak mobil polisi yang sedang menghadangnya. Ada beberapa polisi di luar yang sedang menodongkan senjata api ke mukanya. Bulan hanya menghela napas dan mengangkat kedua tangannya di atas kepala. Bulan menyapukan pandangannya dan berhenti di satu orang yang memakai baju SMA-nya. Retno.
Sedangkan para polisi dan Retno sibuk menaruh borgol di tangan Bulan, di dalam gedung Tio sedang memegang pipi Caca sambil menangis. "Ca tolong bangun Ca, aku gak mau kamu mati gara-gara aku" tangisnya. Ia menempelkan dahinya ke dahi Caca dan menatap matanya. Caca hanya tersenyum hangat ke arah Tio. Ia memegang tangan Tio yang ada di pipinya dan mengelusnya.
"Berarti...kalo aku mati... bukan karena kamu....boleh Ti?" Ucapnya perlahan. Caca mencoba tertawa, tetapi rasa sakit langsung menyelimuti tubuhnya. Tio menggelengkan kepalanya. Retno, yang tadinya berada di luar, datang bersama dengan tim medis. Caca dibawa pergi setelah Tio menggenggam tangannya. Mungkin untuk yang terakhir kali.
Tio hanya menatap tubuh Caca yang dibawa menggunakan ambulans dengan tatapan kosong. Setelah ditanya oleh beberapa polisi tentang apa yang terjadi, ia masih merasa bahwa apa yang dialaminya ini hanya mimpi buruk saja. Ternyata selama ini Caca sudah mengetahui siapa pembunuhnya dan memberitahu Retno yang merupakan anak polisi untuk menyelidikinya. Benar saja, ternyata dalang di balik semua ini adalah Bulan.
Tio hanya bisa pasrah dan berdoa agar Caca baik-baik saja. Ia hanya ingin melihatnya tersenyum sekali saja dan pergi selamanya dari hadapan Caca. Walau pun ibunya merupakan sumber trauma Tio, ia hanya ingin agar kejadian yang menimpanya tidak menimpa Caca yang merupakan malaikat penolongnya saat kecil.
23 Februari 2019
"Yahhh!" Teriakan seorang anak kecil membangunkan Retno dari tidurnya yang sunyi. Ia membuka matanya dan mendapati seorang anak kecil berumur 4 tahun berdiri di hadapannya. Retno tersenyum dan mencubit pipinya yang tembem. "Apa sayangku" ucapnya lembut sambil menggendong anaknya itu. Anak itu hanya tertawa saat ayahnya menggendongnya.
"Tad-Tadi Aca liat uaya" ucapnya dengan kosa kata yang belum sempurna. Retno hanya bisa terkekeh mendengarnya. Ia berjalan keluar ruangan dan mengambil segelas kopi hangat yang tersedia di atas meja makan. Ia tersenyum hangat. Istrinya tidak pernah lupa untuk menyiapkannya kopi setiap Retno bangun. Ia menggendong anak di tangan satu dengan yang satunya lagi memegang cangkir kopi. Retno berjalan di dalam rumagnya mencari keberadaan istrinya yang tidak terlihat sejak ia membuka mata.
"Ayah!" Suara wanita terdengar dari arah ruang tamu. Retno sontak langsung menuju ke ruang tamu sambil menggendong Aca anaknya. Ia panik, kebiasaan lamanya susah hilang ditambah sekarang ia adalah seorang polisi. Retno akan berusaha sebisa mungkin untuk membahagiakan kedua wanita yang ada di hidupnya.
"Ada apa?" Tanyanya panik. Ia melihat istrinya berlinang air mata sambil menggenggam sepucuk surat dan undangan di tangannya. Retno heran, istrinya jarang menangis dan adalah kepribadian yang tegar. Jadi melihat istrinya menangis membuatnya panik. Ia datang menghampiri istrinya dan memeluknya setelah meletakkan mugnya di atas meja. Aca hanya bisa melihat ke arah kedua orang tuanya dengan bingung.
"Ada apa C-" pertanyaannya terpotong setelah ia melihat undangan dan nama yang tertera disitu. Tiba-tiba ia merebut surat dari tangan istrinya. Seketika ia bernapas lega dan menangis bahagia ketika ia melihat isi surat tersebut. Retno memeluk istrinya dengan erat dan mencium keningnya.
Satrio & Indah Satrio akan menikah! Dan dia bilang bahwa dia bahagia dan telah move on dari kejadian yang menimpanya dan Caca, istri Retno, 11 tahun silam.Â
Tentu saja Caca juga telah move on dan hidup bahagia bersama Retno. Bahkan terlalu bahagia dan tidak bisa diukur. Satrio menghilang setelah menjenguk Caca setelah ia siuman. Sekarang semuanya telah kembali ketempatnya semula. Semuanya sesuai dengan apa yang mereka inginkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H