"Patah Hati di Dalam Rumah: Kisah Penganiayaan Anak oleh Orangtua"
Oleh: Riza Umu Laylatul Khasanah
Penganiayaan anak oleh orang tua merupakan masalah sosial yang mendalam dan kompleks, seringkali terjadi di balik dinding rumah yang seharusnya menjadi tempat paling aman dan nyaman untuk anak. Dalam banyak kasus, tindakan kekerasan ini bisa berbentuk psikis seperti pengabaian, ejekan, pembandingan, perkataan yang kasar dan lain sebagainya, tindakan kekerasan ini juga bisa berbentuk fisik seperti pemukulan, penendangan yang akibatnya langsung terlihat pada fisik korban. Fenomena ini tentu mempunyai dampak yang sangat buruk bagi anak yang mengalaminya, baik secara fisik, emosional maupun psikologis yang dampaknya akan menghambat pertumbuhan anak dalam jangka waktu yang panjang.
Seperti kejadian yang terjadi pada akhir-akhir ini, kasus penganiayaan yang dialami anak laki laki berusia 5 tahun oleh ibu kandung dan ayah tirinya di Pasar Rebo, Jakarta Timur. Diduga penganiyaan ini berlangsung selama 5 bulan dari bulan Juni hingga bulan Oktober. "Pelaku memukul bersama-sama dengan menggunakan alat bantu sapu lidi dan ikat pinggang. Jadi para pelaku jika salah satu memukul korban kemudian pelaku juga bersama-sama memukul. Sehingga korban mengalami luka memar dan mengeluarkan darah di sekujur badan, muka, kepala dan pelipis," ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Ade Ary Syam Indradi kepada wartawan.
Fenomena penganiayaan anak ini adalah suatu bentuk tindakan kekerasan yang dapat kita analisis melalui Teori Keadilan John Rawls. Menurut John Rawls, teori Keadilan membawa klaim moral yaitu masalah otonomi dan independensi warga negara, distribusi yang adil dan jasa milik publik, serta responsibility, yakni beban kewajiban dan tanggungjawab yang adil terhadap orang lain. Dikatakan adil jika tiga elemen tersebut terpenuhi. Pada kasus ini, kita dapat menilai bahwa anak tersebut tidak mempunyai otonomi untuk mempertahankan dirinya baik dengan meminta bantuan atau dengan melakukan pembelaan terhadap dirinya sendiri. Yang kedua adalah seorang anak merasa kedudukannya lebih rendah dari pelaku, hingga ia merasa tidak bisa mendistribusikan apa yang sedang terjadi padanya, dan yang terakhir adalah pelaku merasa tidak mempunyai tanggungjawab dan kewajiban untuk memberhentikan aksinya. Sehingga pada kasus ini sudah terpampang jelas bahwa anak ini tidak mendapatkan keadilan sama sekali.
Orangtua yang seharusnya menjadi tempat pulang, tempat ternyaman, menjadi pelindung, pengasuh, pendidik pertama untuk anak-anaknya malah menggoreskan luka yang dalam untuk sang anak yang pasti akan melukai hatinya, tidak hanya hati saja, tetapi fisik, psikis dan emosionalnya juga terkena imbasnya. Ketika orangtua melakukan tindak kekerasan kepada anak, ini menunjukkan adanya masalah yang lebih dalam, baik itu terkait dengan faktor pribadi, psikologis, atau bahkan lingkungan sosial yang tidak mendukung. Namun alasan apapun dibalik kekerasan, anak harus dilindungi dan diberi kesempatan untuk tumbuh dalam lingkungan yang penuh kasih sayang dan aman.
Penganiayaan anak di bawah umur merupakan tindak pidana yang serius. Hukum negara Indonesia mengatur perlindungan anak dan memberikan hukuman bagi pelaku kekerasan terhadap anak. Pelaku kekerasan terhadap anak dapat dijerat dengan pidana penjara dan denda, tergantung pada tingkat kekerasan yang dilakukan. Defisi kekerasan menurut pasal 1 angka a Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU No.35/2014), yaitu: " kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan atau penelantaraan, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum."
Pelaku penganiayaan terhadap anak dapat dijerat dengan hukuman sesuai Undang-Undang Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014. Pasal 80 (1) jo. Pasal 76 c mengancam pidana penjara maksimal 3 tahun 6 bulan dan/atau denda hingga Rp72 juta. Apabila mengakibatkan luka berat, hukumannya dapat mencapai 5 tahun penjara dan/atau denda hingga Rp100 juta.
1. Pasal 80 (1) UU No. 35 Tahun 2014
"Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 c, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) Tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah)."
2. Pasal 80 (2) UU No. 35 Tahun 2014
"Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)."
Dari teori yang dibuat oleh John Rawls, ia berusaha menciptakan sebuah masyarakat yang adil di mana individu dapat menikmati hak-hak dasar secara setara, dan di mana ketidaksetaraan hanya di terima jika itu memperbaiki kondisi mereka yang paling terkesampingkan. Hal ini bertujuan untuk mengurangi ketidaksetaraan sosial, meminimalkan ketidakadilan, dan memastikan bahwa setiap orang, tidak peduli status sosial atau ekonomi mereka, memiliki kesempatan yang sama untuk meraih kebahagiaan dan kesejahteraan.
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H