Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali menemukan situasi di mana diskusi berubah menjadi debat. Imam Syafi'i, seorang ulama besar, pernah mengungkapkan sebuah kalimat penuh makna yang berkaitan dengan fenomena debat: "قال الإمام الشافعي: مَا جَادَلْتُ عَالِمًا إِلَّا غَلَبْتُهُ وَلَا جَادَلْتُ جَاهِلًا إِلَّا غَلَبَنِي."
Artinya, "Setiap kali berdebat dengan kelompok intelektual, aku selalu menang. Tetapi anehnya, kalau berdebat dengan orang bodoh, aku kalah tanpa daya." Pernyataan ini memiliki makna mendalam yang relevan dalam berbagai konteks, baik dalam dunia akademis, sosial, maupun pribadi.
Pertama, penting untuk memahami makna "orang bodoh" yang disebutkan Imam Syafi'i. Dalam konteks ini, "bodoh" tidak merujuk pada seseorang yang kurang pengetahuan, tetapi lebih kepada seseorang yang enggan berpikir kritis, tertutup dari fakta, dan tidak mau menerima argumen yang logis. Orang seperti ini sering kali terjebak dalam keyakinan yang tak dapat digoyahkan, meskipun bukti-bukti yang jelas disodorkan di hadapan mereka.
Debat dengan kelompok intelektual atau "alim" berbeda. Orang yang cerdas dan terbuka terhadap pengetahuan akan lebih bersedia untuk mendengar, mempertimbangkan, dan menimbang argumen secara logis. Dalam diskusi dengan kelompok ini, Imam Syafi'i merasa menang karena ada saling pemahaman dan penghargaan terhadap kebenaran, bukan sekedar ego atau upaya untuk mengalahkan lawan bicara.
Sebaliknya, ketika berdebat dengan orang bodoh, Imam Syafi'i merasa tidak berdaya. Mengapa demikian? Orang yang tidak terbuka terhadap logika sering kali menggunakan emosi, mengabaikan fakta, dan cenderung mempertahankan keyakinan mereka meskipun sudah terbukti salah.
Ini membuat debat menjadi tidak produktif, karena kebenaran dan argumen yang logis tidak diakui oleh pihak lawan.
Dalam konteks modern, fenomena ini masih sangat relevan. Kita sering melihat di media sosial atau bahkan di lingkungan sehari-hari, bagaimana debat antara dua individu atau kelompok yang berbeda pemikiran sering kali berakhir buntu.
Orang yang enggan mendengar argumen dengan pikiran terbuka cenderung membuat debat menjadi semakin melelahkan, tanpa ada penyelesaian yang jelas.
Imam Syafi'i dengan kebijaksanaannya seolah mengingatkan kita bahwa energi dan waktu kita lebih baik digunakan untuk berdiskusi dengan orang yang siap untuk belajar dan berbagi pemahaman, daripada terjebak dalam debat tanpa arah dengan mereka yang menolak mendengarkan. Pada titik tertentu, kita perlu memahami bahwa debat dengan orang yang tidak mau menerima argumen tidak akan membawa manfaat apa pun.
Lebih lanjut, debat dengan orang bodoh sering kali membawa dampak emosional yang negatif. Bukan hanya karena argumen kita tidak dihargai, tetapi juga karena frustasi yang muncul akibat kebuntuan dalam komunikasi.
Frustasi inilah yang sering kali menyebabkan kita merasa "dikalahkan," meskipun secara logis kita tahu bahwa argumen kita lebih kuat.
Pada akhirnya, pesan yang disampaikan oleh Imam Syafi'i ini mengajarkan kita untuk bijaksana dalam memilih perdebatan. Kita perlu mempertimbangkan apakah lawan debat kita adalah seseorang yang benar-benar tertarik pada kebenaran atau hanya ingin mempertahankan egonya. Jika yang terjadi adalah yang kedua, maka bijaksanalah untuk mundur dan menjaga ketenangan pikiran.
Dalam dunia yang semakin terhubung ini, kemampuan untuk berdialog secara sehat dan produktif semakin penting. Belajar dari kebijaksanaan Imam Syafi'i, kita diingatkan untuk tidak terjebak dalam debat yang sia-sia, dan lebih baik fokus pada diskusi yang dapat membawa pemahaman bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H