Ketika calon Presiden Petahana Joko Widodo (Jokowi) tidak diterima oleh Sri Sultan Hamengkubuwana X, Yang Mulia Herjuno Darpito pada masa kampanye saya berpikir bahwa Jokowi adalah orang yang tidak tahu sejarah.
Pikiran ini pun menguat ketika kabinetnya mengabarkan akan memindahkan ibu kota negara dari Jakarta.
Alasan sederhana saja, Jakarta menjadi Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena nilai sejarahnya yang begitu tinggi dalam perjalanan Bangsa ini.
Di Jakarta ada tiga peristiwa besar akan persatuan Indonesia yang merupakan konstanta dalam Pancasila. Â
Pertama, peristiwa Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 yang terjadi di beberapa lokasi di wilayah Jakarta Pusat.
Yakni, di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB) yang berada di Lapangan Banteng. Lalu di Gedung Oost-Java Bioscoop dan terakhir di gedung Indonesische Clubgebouw di Jalan Kramat Raya 106.
Sumpah pemuda ini memiliki makna yang berartikan telah lahirnya sebuah bangsa bernama Indonesia.
Bangsa ini kemudian berjuang secara bersama-sama dengan nuansa pasang dan surut. Puncaknya di proklamasikan kemerdekaan Bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat.
Satu hari setelah proklamasi, disahkannya Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) oleh PPKI di Jalan Pejambon, Jakarta Pusat, yang sekarang menjadi gedung Kementerian Luar Negeri RI.
Selain tiga peristiwa tersebut ada lagi peristiwa 19 September 1945, ketika Jepang meragukan kepemimpinan pendiri bangsa kita para alim ulama dan pemuda berkumpul di Lapangan Ikada memberikan dukungan atas Proklamasi Kemerdekaan dan NKRI yang baru berumur satu bulan.
Inilah makna bahwa DKI Jakarta adalah simbol Persatuan Indonesia. Sehingga wajar saja para pendiri bangsa menjadi kota yang dahulu bernama Batavia menjadi Ibu Kota Negara.