Menurut Pemerhati media dan Ruang Publik Djadjang Nurjaman pada artikelnya di Kanigoro.com yang berjudul "Menikmati Publikasi Survei Denny JA" dijelaskan, tujuan Denny merilis hasil survei Pilpres dengan posisi 27.7 persen antara Jokowi dengan Prabowo adalah memainkan upaya band wagon effect.Â
"Sebuah efek dimana seorang pemilih yang masih belum memutuskan, akan ikut memilih calon yang paling banyak dipilih."
Karena dengan hasil survei tersebut, kata Djadjang, publik diajak untuk berpikir bila Pilpres sudah selesai.Â
"Dengan waktu tinggal sekitar 40-an hari, tidak mungkin bagi Prabowo mengejar Jokowi. Jarak elektabilitasnya terlalu jauh. Hanya orang sakti mandraguna saja bisa mengubahnya."
Lain Djadjang lain juga pendapat Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Komaruddin Hidayat dalam artikelnya di koran Sindo pada Jumat (7/12/2018).
Dalam artikel yang berjudul band wagon effect, Komar menjelaskan, sejarah teori ikut-ikutan itu terbentuk.
Yakni, di mulai dari sebuah parade musik dan sirkus dalam parade itu ada  kereta khusus yang membawa alat musik dan para pemainnya untuk menyemarakkan suasana parade.Â
Parade ini tentunya untuk menarik perhatian orang banyak. "Sehingga parade menjadi success story yang disukai rakyat dan ingin diadakan setiap tahun, terutama oleh para politisi untuk merebut hati dan suara rakyat."
Sejak itu muncul istilah turunannya, yaitu jump on the bandwagon. Politisi yang ingin dikenal publik akan berebut loncat dan naik ke atas kereta musik, mengingat sorot mata masyarakat akan tertuju ke sana. Dengan berdiri di atas bandwagon, maka seorang politisi berharap nama dan wajahnya semakin terkenal.Â
Dari sini kita bisa melihat, manakah yang lebih jitu untuk menarik perhatian masyarakat apakah angka survei atau kerumunan massa.
Memang kalo kita berpegang pada sila pertama Pancasila yakni, Ketuhanan Yang Maha Esa mengajak masyarakat untuk memilih berdasarkan pilihan banyak orang adalah sesuatu yang terlarang. Begitu juga dengan sikap ikut-ikutan.