Mohon tunggu...
Rizal Ghibran
Rizal Ghibran Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa penuh imajinasi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Moderasi Beragama dalam Kehidupan Masyarakat Indonesia

11 April 2023   16:37 Diperbarui: 12 April 2023   12:42 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS


Negara Indonesia merupakan negara kepulauan, di mana masyarakatnya heteregon dari berbagai macam suku, ras, etnis dan agama, dengan kekayaan suku lebih dari 600. Setiap suku dan kebudayaan tersebut selalu terdapat ciri khas di dalamnya yang menjadi core value yang di yakini oleh suatu masyarakat. Selain itu, Indonesia juga yakini sebagai negara dengan jumlah muslim mayoritas di seluruh dunia. 

Dengan status negara muslim terbanyak di dunia yang berada dalam suatu komunitas yang sangat majemuk, umat muslim di Indonesia juga dihadakan dengan dua permasalahan: pertama, ada sebagaian komunitas/golongan muslim yang memahami ajaran agama secara tekstual, dengan kata lain mereka hanya berpedoman terhadap apa yang tertera secara tekstual baik di Al Qur'an maupun di Hadits tanpa memperhatikan unsur kontekstual dari kitab tersebut. 

Biasanya, mereka yang berada dalam golongan ini berupaya untuk memaksakan tafsir yang menurutnya paling benar, jika berhadapan dengan sekolompok orang yang berbeda pemahaman maka mereka tidak segan untuk menyebutnya "kafir atau bid'ah". Selanjutnya yang kedua, ada sekelompok golongan dalam umat Islam di Indonesia yang ersikap apatis dalam mengamalkan agamanya. Mereka tidak mempedulikan kultur sekuler atau ekstremisme yang ingin memecah belah NKRI. Kondisi perpecahan antar perbedaan pemahaman beragama ini juga diperparah dengan era digitalisasi informasi yang semakin terbuka, di mana berita bohong atau hoaks mudah terinternalisasi dalam pikiran umat islam. 

Hasilnya, informasi yang kian terdisrupsi akan mengubah opini public, khususnya dalam paradigma beragama masyarakat Islam. Hal ini tentunya perlu dikonter dengan cara merevitalisas sikap moderasi dalam beragama. Lebih jauh lagi di era pandemi saat ini yang paling mencolok dalam kehidupan keberagaman manusia, lebih khusus umat Islam.

Moderasi beragama menjadi sesuatu yang mutlak dimaksimalkan dalam menghadapi dampak situasi yang tidak normal tersebut. Masyarakat harus mampu bersikap moderat dalam menjalani kehidupan keberagamannya, bukan dengan memberikan propaganda di berbagai aspek, misalnya memberikan status tertentu di media sosial miliknya. Dengan demikian, pentingnya memiliki pemikiran yang moderat dalam beragama sangat dibutuhkan ditengah kondisi zaman yang berubah ubah sebagaimana kondisi yang saat ini kita rasakan. Dengan artikel ini diharap memberikan khazanah keilmuan terkait dengan moderasi beragama yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia saat ini untuk mengindari berbagai konflik.

Ditinjau dari bahasanya, kata moderasi berasal dari kata moderasio, artinya kekurangan. Secara istilah berarti mengurangi hal-hal yang bersifat berlebihan. Selain itu, "moderat" mengandung dua makna, yaitu pertama, mengurangi hal yang ekstrem dan kedua tidak terlalu besar, tidak terlalu kecil, serta sesuai yang juga dapat diartkan tidak condong ke kanan atau kekiri. Sedangkan lawan dari kata moderasi adalah hakim atau penghakiman yang memiliki makna menghakimi perilaku orang/kelompok lain. Lebih lanjut istilah moderasi baru muncul pada saat istilah ektremisme muncul. Sehingga moderasi merupakan kata kunci dalam mengkounter tindakan radikalisme beragama. 

Moderat menjadi sebuah kata yang seringkali disalahartikan dalam kehidupan sosial beragama di Indonesia. Ada sebagian masyarakat yang menganggap bahwa orang yang moderat tidak memiliki keteguhan dalam pendirian, tidak serius, bahkan tidak menjalankan ajaran agama dengan sungguh-sungguh. Moderat disalahartikan dengan sebagai kompromi keyakinan secara teologi antara satu agama dan agama yang lain. Moderat harus dipahami dengan percaya diri terhadap ajaran agama yang mengajarkan prinsip adil dan berimbang yang mengarahkan pada kebenaran pada tujuan subtantif dari agama itu sendiri.
Umat Islam harus lebih moderat dalam menjalankan agama. Dalam merumuskan indikator moderasi beragama, setidaknya dapat dilihat dari beberapa aspek, yakni salah satunya adalah dimilikinya komitmen kebangsaan yang kuat untuk tidak menerima dan melakukan kekerasan baik yang bersifat verbal maupun perbuatan, serta menghormati perbedaan. Selain itu, dikap moderasi beragama juga ditunjukan dengan kesadaran akan kayaknya keaneka-ragaman latar belakang dan komitmen untuk menjadi keseimbangannya. Lebih lanjut, moderasi beragama juga dibuktikan dengan sikap yang sesuai dalam menggunakan agama di ruang publik. Indicator yang paling penting daripada oderasi beragama adalah pemahaman akan konsep keadilan. Keadilan adalah perilaku yang menempatkan sesuatu dengan tepat pada tempatnya. Moderasi harus dipahami ditumbuh kembangkan sebagai komitmen bersama untuk menjaga keseimbangan yang paripurna, di mana setiap warga masyarakat, apapun suku, etnis, budaya, agama, dan pilihan politiknya mau saling mendengarkan satu sama lain serta saling belajar melatih kemampuan mengelola dan mengatasi perbedaan di antara mereka. Untuk mewujudkan moderasi tentu harus dihindari sikap inklusif. Menurut Shihab bahwa konsep Islam inklusif adalah tidak hanya sebatas pengakuan akan kemajemukan masyarakat, tapi juga harus diaktualisasikan dalam bentuk keterlibatan aktif terhadap kenyataan tersebut. Sikap inklusiv-isme yang dipahami dalam pemikiran Islam adalah memberikan ruang bagi keragaman pemikiran, pemahaman dan perpsepsi keislaman.
Banyaknya konflik, khususnya konflik iternal umat Islam faktor kuncinya adalah disebabkan dari pola beragama yang berlebihan atau dengan kata lain beberapa golongan umat islam belum dapat adil dalam menempatkan sesuatu pada tempat yang tepat. Hasilnya, fanatisme buta dan menyalahkan pemahaman yang berbeda dari keyakaninannya menyebabkan tersulutnya konflik internal umat Islam. Lebih lanjut, ia juga menjelaskan ciri-ciri segolongan umat Islam yang gemar menyulut konflik internal antara lain, 

a) Fanatisme terhadapt pemahaman yang diyakininya dan cenderung menyalahkan pendapat yang berbeda, b) cenderung mudah berjanji dan bersumpah serapah yang tidak berfaedah untuk meyakinkan kepada umat bahwa hanyalah pendapatnya yang benarc) Orang dengan beban yang tidak pada tempatnya. d) Bersikap kasar dan tegas. e) Manusia tidak dapat dipercaya. f) Dalam jurang ketidakpercayaan, orang itu jatuh. Ada yang berlebihan dalam praktik- praktik keagamaan, Enam hal tersebut disebabkan oleh pemahaman agama Islam yang ekstrem dan tidak proporsional. Moderasi beragama yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah membawa masyarakat dalam pemahaman yang moderat, tidak ekstrim dalam beragama, dan juga tidak mendewakan rasio yang berpikir bebas tanpa batas. Moderasi beragama didiskusikan, dilafalkan, diejewantahkan, dan digaungkan sebagai framing dalam mengelola kehidupan masyarakat Indonesia yang mutikultural. Kebutuhan terhadap narasi keagamaan yang moderat tidak hanya menjadi kebutuhan personal atau kelembagaan, melainkan secara umum bagi warga dunia, terutama di tengah perkembangan teknologi informasi dalam menghadapi kapitalisme global dan politik percepatan yang disebut dengan era digital. 

Pada zaman digital juga ditandai oleh merebaknya informasi yang tidak jelas yang dirancang sedemikian rupa sehingga terkesan menjadi benar, terlebih tingkat membaca warga Negara Indonesia yang rendah bisa digunakan oleh orang-orang tertentu yang ingin memecah belah NKRI. Di sisi lain peluang membumikan moderasi beragama melalui beberapa cara, seperti adat istiadat. Bangsa Indonesia dianggap sebagai masyarakat yang memiliki sikap terbuka, ramah, serta mempunyai tata krama dalam berkomunikasi. Yang kedua, faktor persaudaraan dalam berbangsa, serta kesadaran sebagai makhluk yang lemah, yang sudah pasti membutuhkan bantuan orang lain. Seseorang tidak mungkin mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri tanpa bantuan orang lain. Ketiga Intensitas relasi sosial antar tokoh masyarakat, lintas suku, budaya, agama dengan melalui pertemuan kebangsaan secara offline maupun online, agar lebih memahami dan menerima perbedaan antar umat beragama. 

Dunia digital kemudian memiliki dampak negatif dalam struktur dan narasi keagamaan. Berbagai kelompok tertentu melahirkan konten-konten keagamaan yang bertumpu pada pemahaman tunggal sehingga memicu tumbuhnya politik identitas dan konflik ketegangan. Dalam konteks ini, dunia digital (cyberspace) dimanfaatkan untuk melahirkan proliferasi miss informasi dan disinformasi oleh sekolompok orang yang mengatasnamakan agama dalam narasi kontennya. Bahkan, dunia digital digunakan sebagai wadah untuk memecah persatuan umat oleh kelompok tertentu yang merasa tidak puas dalam kontestasi tertentu dan kemudian mengambil kendali atas otoritas sumber agama melalui kanal-kanal digital. Disrupsi informasi dan semburan politik identitas mengemuka dalam ruang-ruang digital.

Konsumsi, selera, dan makna yang dihasilkan oleh dunia virtual mengantarkan pada perubahan cara berpikir, perumusan fatwa-fatwa, ekspresi keagamaan, dan bahkan landasan berkeyakinan. Kehidupan keagamaan hari ini dihadapkan pada kecenderungan yang mengeras ditandai dengan hilangnya esensi dan substansi dari agama itu sendiri. Dampaknya, imajinasi kebangsaan terkoyak dalam ruang virtualitas yang dikemas dalam balutan fanatisme. Menanggapi masyarakat yang berubah dengan cepat, pemerintah berusaha untuk meningkatkan moderasi beragama di masyarakat. Dalam hal ini Kementerian Agama melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Islam mengeluarkan Surat Edaran pada tanggal 29 Oktober 2019, yang ditujukan kepada seluruh Rektor dan Pimpinan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTKIN) untuk mendirikan dan menyelenggarakan Rumah Moderasi Keagamaan. Kementerian Agama RI berkomitmen menjadikan Moderasi Beragama sebagai bagian dari landasan berpikir, bertindak, dan merumuskan kebijakan dan program bagi seluruh pemangku kepentingan Kementerian Agama, termasuk di PTKIN. Rumah moderasi keagamaan diminta menjadi pusat pendidikan, pendampingan, pengaduan, dan penguatan wacana dan gerakan moderasi keagamaan di lingkungan. Masing-masing PTKIN kemudian mendirikan Rumah Moderasi dengan program kerja yang berbeda namun satu visi dan misi untuk menciptakan ruang keagamaan yang beradab. Beberapa pihak yang tergabung dalam gerakan bernama "PTKIN" mengambil dan memanfaatkan ruang publik digital dan media sosial sebagai wadah dan wahana pengayaan wacana moderasi keagamaan untuk terus disosialisasikan kepada masyarakat. Ide dapat menyebar melalui ruang digital dengan media teknologi informasi seperti YouTube, Instagram, Twitter, fanpage Facebook, meme, video, kutipan, penulisan artikel, publikasi karya, dan opini, atau rilis tentang studi. Kajian kerukunan umat beragama. Semua ini dibuat dan didistribusikan ke akademisi dan masyarakat umum. Dalam konteks pendidikan Islam Multikultural berwawasan Washatiyah bermaksud memberikan alternative lain pada proses pembelajaran serta mengkombinasikan bahan ajar Pendidikan Agama Islam yang bersifat doktrin dengan kontekstual modern konstruktif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun