Dini hari di bulan baru, jarak terbentang ribuan kilometer berbeda waktu.
Pukul tiga lebih sepuluh, kentongan kecil dipukul beradu.
Bersahutan generasi cilik membangunkan  dari lelapku.
Bersantap makan, masakan hangat penghilang rindu.
Riuh ibukota sepanjang waktu menjadi alasan menuntut ilmu menjauh darimu.
Demi cita cita dan mewujudkan inginmu.Â
Jauh sebelum itu, aku rindu engkau menarik selimutku.Â
Mengingat memintaku berwudhu agar kantuk menjauh dari pelupukku.Â
Kadang masih sempat engkau baca satu atau dua surat kitab suci sembari menunggu kami.
Menyentuh pipi sembari memanggil nama, untuk mengingatkan bahwa bulan ramadan telah tiba.
Entah jam berapa engkau sudah membuka mata, yang kami tahu. Engkau siapkan semua.
Baik nasi ataupun lauk lainnya engkau siapkan dengan kehangatan cinta.
Menu terbaik memulai di bulan mulia.
Berpuasa pun menjadi istimewa
Seharian tak terasa lapar dahaga.Â
AlQuran menyebutmu tiga kali lebih utama.
Karena peranmu tiada duanya.
Ibu, ramadan ini sudah berganti satu dasawarsa.
Sejak aku melangkah keluar rumah momen istimewa itu tak pernah terlupa di dalam dada.
Kadang kami saling bercerita, nikmatnya membuka mata ketika engkau masih ada.
Ibu, kini engkau tidak berada disampingku.
Hanya doa dari putramu, yang rindu sahur bersama ibunya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H