Mohon tunggu...
Rizal Djati Dwisepta
Rizal Djati Dwisepta Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Airlangga

Traveller

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menelisik Perilaku Kehidupan Masyarakat Perkotaan dan Pedesaan di Era Modernisasi

20 September 2020   19:18 Diperbarui: 21 Mei 2021   03:14 2154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana Infrastruktur Perkotaan dan Pedesaan (Sumber Gambar arsitur.com)

Kehidupan tatanan manusia di wilayah Indonesia tiap tahunnya mengalami perkembangan khususnya lingkup perkotaan dibandingkan lingkup pedesaan, perkembangan yang paling menonjol pada era sekarang ini ialah semakin banyaknya pertumbuhan laju perekonomian di pusat perkotaan yang mengakibatkan terjadinya ketimpangan pertumbuhan ekonomi perkotaan dengan pedesaan

Dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi diperkotaan banyak pembangunan-pembangunan infrastruktur yang mendukung stabilitas roda perekonomian masyarakat sehingga mengundang ketertarikan bagi masyarakat yang tinggal di luar pusat kota untuk mengadu nasib mencari pekerjaan yang layak dengan pendapatan tinggi. 

Ketertarikan kehidupan perkotaan inilah yang menyebabkan banyak urbanisasi penduduk dari desa ke kota pada tiap tahunnya yang terus meningkat dan mengalami kepadatan penduduk di wilayah perkotaan apalagi daerah pusat perkotaan metropolitan atau megapolitan. 

Namun belum tentu juga kehidupan di kawasan pusat perkotaan metropolitan atau megapolitan mengalami kesejahteraan yang merata dibandingkan kehidupan di pedesaan.

Baca juga : Kemajuan Teknologi Informasi Berdampak pada Sosiologi Masyarakat Perkotaan

Membahas lebih lanjut mengenai kehidupan masyarakat desa dan masyarakat perkotaan, terdapat sisi historisnya dalam kedua masyarakat tersebut yang berbeda lingkup wilayah tempat tinggalnya. Keberadaan desa sudah ada sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. 

Dalam cerita rakyat yang disampaikan secara lisan banyak diperoleh informasi bahwa usia desa sudah sangat tua. Seorang ahli purbakala bangsa Belanda menemukan prasasti yang diperkirakan ditulis pada pertengahan abad ke 14 atau kurang lebih tahun 1350, prasasti tersebut menginformasikan adanya desa.

Pada 7 tahun 1880 ditemukan pertulisan Walandit oleh seorang perempuan bangsa Indonesia di daerah Penanjangan Tengger Jawa Timur dan pada tahun 1899, tulisan tersebut disalin oleh Brandes. Dari piagam/tulisan tersebut diketahui bahwa warga Desa Walandit pada bulan terang (tetileman) dikenakan pungutan untuk upacara menghormati Berahma (gunung Bromo di Pegunungan Tengger).

Perintah raja mengenakan pungutan kepada wara Desa Walandit tersebut ditulis dalam piagam Loyang. Prasasti dan piagam tersebut membuktikan bahwa pada masa itu di wilayah Nusantara sudah terdapat desa.

Demikian pula dengan yang terjadi di Aceh, sistem pemerintahan desa asli Aceh sebelum pemerintahan Hindia belanda secara efektif telah menguasai Aceh. Unit pemerintahan desa di Aceh disebut Gampong, dimana sistem pemerintahan Gampong ini terdiri atas tiga unsur, yaitu: Keuchi, yang dibantu oleh beberapa wakil; Teungku, dan Ureung Tuha.

Sedangkan kota muncul untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia terjadi di lembah sungai Nil dan Efrat-Tigris. Para sarjana kebudayaan melihat lahirnya permukiman berupa kota sebagai akibat telah cukupnya bahan pangan yang dihasilkan oleh perdesaan. Oleh karena itu ada sebagian penduduk desa yang terbebaskan dari pekerjaan mengolah lahan, mereka itulah yang kelak akan mulai hidup dari kegiatan non agraris.

Kemudian terjadi persaingan, sehingga perlu ada yang mengatur, lalu ada raja dan bangsawan yang hidup di istana. Mereka mempunyai tim para ilmuwan dan penesehat yang merupakan kaum ulama. 

Kota pun kemudian memungkinkan berkembangnya berbagai seni dan keterampilan. Jones (dalam Daldjoeni, 1999:1) mengemukakan bahwa adanya kota menunjukkan the height of man’s achievements; kota bertalian erat dengan peradaban (civilization), yaitu yang mencerminkan kemenangan manusia atas bumi, karena ia tidak lagi bergantung sepenuhnya kepada pengolahan lahan.

Di kota berkembang kebudayaan umat manusia, hal ini tampak pada tingginya keterampilan teknis, berkembangnya gagasan manusia, majunya kesenian, munculnya penemuan-penemuan baru dan sebagainya. 

Dalam perkembangan selanjutnya kota menyajikan banyak hal, ada yang positif ada yang negatif. Kota berjasa karena menhasilkan berbagai barang-barang yang dibutuhkan penduduk, juga di luar kota.

Baca juga : "Memahami Perilaku Menolong Masyarakat Pedesaan Vs Masyarakat Perkotaan"

Sebaliknya kota juga membutuhkan hasil-hasil dari pedesaan, sehingga di antara kota - desa terjadi interaksi interdependensi. Dalam sejarah kota, dikenal tiga jenis kota, yaitu: a. Kota sebagai benteng keamanan dan pertahanan; b. Kota sebagai pusat pemujaan; c. Kota sebagai pusat kehidupan berbagai kelompok dengan kekhususan hidupnya sebagai simpul jaringan (Daldjoeni,1999:2).

Berdasarkan sisi historis mengenai perkembangan kehidupan masyarakat desa dan masyarakat kota terdapat perbedaan asal – usulnya bagaimana pertumbuhan kehidupan kedua tempat tersebut. 

Selain sisi historis terdapat juga perbedaan – perbedaan lain yang secara tidak langsung di alami oleh masyarakat perkotaan dan masyarakat desa, perbedaan itu terdapat pada budaya adat istiadat, gaya hidup, perilaku sosial di lingkungan masyarakat, dan lain sebagainya. Sebagai contoh pada era sekarang ini yang pertama mengenai budaya adat istidat di kota dan desa yaitu budaya gotong royong yang dilakukan oleh lingkungan masyarakat. 

Di perkotaan budaya gotong royong sangat jarang kita jumpai apalagi tempat tinggal kawasan perumahan karena mayoritas warga yang tinggal di perumahan bekerja pada sektor formal dan informal sehingga kesibukan yang dimiliki akan terkuras dengan waktu pekerjaannya dan keluarga masing – masing. 

Dan kebanyakan masyarakat yang tinggal di wilayah perkotaan cenderung individualistik dan tidak peduli kepada sesama, walaupun terdapat juga beberapa kelompok masyarakat yang tinggal di wilayah perkotaan masih mengenal budaya gotong royong melakukan kerja bakti lingkungan, membantu tetangga lingkungan saat hajatan, dan kegiatan lingkungan lainnya yang melibatkan banyak orang. Jika di kota budaya gotong royong mengalami kemunduran, namun berbeda lagi saat di desa. 

Budaya gotong royong di wilayah masyarakat pedesaan tetap dipertahankan keberadaannya dan dilestarikan turun – menurun karena masyarakat desa mempunyai sifat kekeluargaan yang tinggi antar sesama warga sehingga sudah menjadi kewajiban warga desa untuk saling tolong – menolong, bahkan mereka melakukannya secara ikhlas sukarela tanpa dibayar dengan uang. 

Di lingkungan desa banyak sekali kegiatan – kegiatan kemasyarakatan yang melibatkan banyak warga contohnya kerja bakti membersihkan lingkungan, pemilihan kepala desa, hajatan, hari raya idul fitri dan idul adha, maulidan, dan lain sebagainya, sehingga ketika lingkungan desa mengadakan suatu kegiatan atau acara pasti melibatkan banyak warga yang mayoritas satu warga desa membantu secara bersama – sama.

Budaya gotong royong yang dilakukan oleh penduduk desa (Sumber Gambar ramadhan2020lucu.blogspot.com)
Budaya gotong royong yang dilakukan oleh penduduk desa (Sumber Gambar ramadhan2020lucu.blogspot.com)
Kemudian yang kedua mengenai gaya hidup antara masyarakat kota dan masyarakat desa. Terdapat perbedaan menonjol mengenai gaya hidup masyarakat kota dan desa contohnya masyarakat desa memiliki gaya hidup yang sederhana tampil apa adanya tidak menonjolkan barang - barang pribadi yang dimilikinya.

Tapi dengan gaya hidup yang sederhana banyak masyarakat desa yang mempunyai harta yang tidak bergerak seperti tanah, sawah dan kebun sehingga mereka mempunyai tabungan yang berharga untuk masa depannya nanti karena nilai harga dari harta yang tidak bergerak tersebut setiap tahunnya mengalami kenaikan dan menguntungkan bagi masyarakat desa. 

Berbeda lagi dengan gaya hidup masyarakat perkotaan, mayoritas masyarakat yang tinggal di perkotaan cenderung hedon untuk membeli suatu barang yang belum tentu kegunaannya pasti suatu saat nanti dan banyak masyarakat kota tampil dengan kemewahan yang dimilikinya untuk kepentingan pribadi.

Maka dari itu, banyak masyarakat kota menuruti ego pribadi tanpa berpikir untuk kedepannya nanti walaupun kehidupan masyarakat kota yang serba ada dengan fasilitas yang memadahi tapi belum tentu bisa menggunakannya dengan maksimal. 

Berbeda dengan masyarakat desa dengan gaya hidup sederhana karena mereka jauh dari pusat perkotaan dengan berbagai macam fasilitas yang mendukung, akan tetapi kehidupan masyarakat desa yang jauh dari pusat perkotaan justru setiap tahunnya mengalami kemajuan bahkan hampir menyerupai kota dengan kegiatan masyarakat dan fasilitas yang mendukung untuk menjalankan roda perekonomian masyarakat desa.

Selanjutnya yang ketiga mengenai perilaku sosial masyarakat kota dan masyarakat desa yang sebelumnya sudah dibahas terkait budaya gotong royong memiliki sifat kekeluargaan tinggi pada masyarakat desa dibandingkan masyarakat perkotaan. 

Selain itu, sikap saling mengenal tegur sapa sesama warga banyak terjadi di lingkungan masyarakat desa dan mayoritas penduduk desa pasti mengetahui tempat tinggal sesama warganya, maka ketika orang pendatang dari kota berkunjung ke desa pasti akan disambut dengan baik oleh warga desa. 

Perilaku sosial masyarakat kota dan masyarakat desa memiliki perbedaan tetapi belum tentu masyarakat desa memiliki perilaku yang baik dibandingkan masyarakat kota atau malah sebaliknya, namun perilaku seseorang pasti memiliki sifat yang berbeda – beda sehingga tidak ada yang salah dan tidak ada yang benar karena semua orang pasti pernah melakukan kesalahan dalam perilaku di lingungan masyarakat. 

Baca juga : Patologi Kesenjangan Sosial dalam Masyarakat Pedesaan

Maka dari itu, kehidupan  penduduk masyarakat kota dan masyarakat desa memang terdapat suatu perbedaan baik itu tradisi budaya, perilaku sosial, gaya hidup, dan perkembangan ekonomi. 

Akan tetapi, dari perbedaan itulah harus kita jaga rasa toleransi kebhinekaannya dalam lingkungan masyarakat karena kita sama – sama tinggal di wilayah NKRI ini, dimana setiap wilayahya mempunyai letak geografis dan keanekaragaman budaya yang berbeda – beda yang harus kita jaga sampai masa yang akan datang.

Sumber:
1. Agusniar Rizka Luthfia, “Menilik Urgensi Desa Di Era Otonomi Daerah”, Journal of Rular and Development Vol. IV No. 2,  Agustus 2008.

2. Suparmini, Agustina Tri Wijayanti, Buku Ajar Masyarakat Desa dan Kota (Tinjauan Geografis, Sosiologis, dan Historis), Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta, 2015.

3. Suasana Infrastruktur Perkotaan dan Pedesaan (Sumber Gambar 1 arsitur.com)

4. Budaya gotong royong yang dilakukan oleh penduduk desa (Sumber Gambar 2  Kaskus.co.id)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun