Perempuan itu masih duduk termenung seorang diri, membiarkan rambutnya tergerai tertiup angin malam yang masuk lewat jendela kamarnya yang terbuka. Hembusan dingin menyapu wajahnya dalam keheningan. Tetapi itulah yang diinginkannya, melambungkan segala angan melayang dan terbang jauh, menembus gugusan bintang dan redup cahaya rembulan yang tinggal separuh.
Episode panjang perjalanan hidup, dalam kesendirian dan kesepian menghempaskan hasrat hati, kini ia bimbang menentukan arah yang harus ia tempuh, demi masa yang akan dihadapi selanjutnya. Kesendirian itu sungguh menyiksa batinnya, karena ia tetaplah wanita biasa, tidaklah setegar namanya, gadis petualang. Dia juga butuh kasih, butuh cinta, butuh belaian manja, butuh tempat untuk berbagi. Butuh dada bidang dan tangan kekar untuk sekedar menyandarkan tubuhnya yang semakin letih menahan badai kehidupan yang yang silih berganti menerjang.
Malam itu akhirnya datang juga dalam kehidupannya, pemuda yang selama ini menjadi sahabat dekatnya. Pemuda itulah yang kini tengah mengusik ketenangan jiwanya, setelah ia mengungkapkan isi hatinya, ingin mengisi dan menemani hari-harinya yang selama ini kadang terasa hampa, tanpa ada seseorang yang spesial di sana.
Namun bukankah itu yang ditunggu-tunggu olehnya, kenapa selama ini ia harus marah ketika ada wanita lain yang dekat dengannya. Sungguh ia telah terjebak oleh permainan hati, ketika ada cemburu disana apalagi yang bisa dikatakan kalau itu bukan karena ada rasa. Ia tidak bisa menyembunyikan lagi, bahwa kini ada cinta di balik persahabatannya itu.
Ketika dia datang malam itu, Zwan masih dalam aksi bisu, setelah kejadian minggu lalu di rumah Miss. Rochma, walau hati berontak    antara ego dan rasa itu, yang terlalu sulit untuk digambarkan, sungguh ia ingin melihat tawa renyahnya, senyum polos dan tulusnya, canda dan kekonyolanya. Ah tapi Dia terlalu angkuh untuk mengakui bahwa ia sebenarnya butuh semua itu.
Malam itu adalah tepat malam ke sepuluh, semenjak tragedi Gladiol, ketika ketukan pintu rumahnya terdengar dia hanya melihat pemuda itu dari sudut jendela rumahnya. Hanya untuk memastikan bahwa pemuda itulah yang mengetuk pintu rumahnya, seperti malam-malam yang lalu, bukan pemuda lain, apalagi pemuda berseragam membawa pentungan yang biasanya datang menagih uang keamanan. Pintu maaf sebenernya telah ia berikan sejak malam-malam yang lalu, namun ia hanya ingin tahu seberapa besar tekad dan usaha pemuda itu untuk mendapatkan kata maaf darinya.
Suara ketukan pintu kembali terdengar, ketukan yang ketiga kalinya, karena sesudah itu biasanya dia tidak akan mengetuknya kembali, dia akan berdiri sejenak dan berlalu pergi. Kini keteguhannya meluluhkan hati Galang, aku harus membuka pintu rumahku untuknya, sebelum pemuda itu benar-benar pergi dan tak akan pernah kembali lagi.
"Silahkan masuk mas," hanya kata-kata itu yang terucap dari bibir Zwan lalu ia pun kembali duduk membisu, matanya mencuri pandang menantikan apa yang akan diucapkan oleh pemuda di hadapnnya.
"Galang maafkan aku, yang ingin kukatakan padamu bahwa kita selama ini saling bertahan dalam keangkuhan"
Hening.. detak jam seakan terdengar begitu keras, seirama dengan degup jantung dua insan yang tengah dilanda rasa. Ia masih membisu.
"Aku hanya ingin mengakhiri semua ini"
Pemuda itu menarik napas dalam, seolah ingin menguatkan hatinya.
Tidak jerit gadis itu dalam hatinya, ini bukanlah akhir tapi ini adalah awal dari segalanya. Tidak mas, aku tidak ingin mendengar kata-kata itu.
"Aku ingin mengakhiri semua ini Galang, karenanya izinkanlah aku mengisi sedikit saja sudut hatimu, menemani hari-harimu, dan menjadi kekasih hatimu"
Zwan hanya terpaku, tidak menyangka akan secepat itu pemuda di hadapannya mengungkapkan isi hatinya.
Sesaat kemudian sunyi kembali melanda, keduanya asik bermain dengan angannya masing-masing.
"Berikan aku waktu mas".
"Aku tau butuh waktu bagimu, untuk memikirkan semua itu Galang, aku hanya ingin menegaskan bahwa aku siap menerima apapun keputusanmu, walaupun itu pahit, temui aku jika engkau telah berfikir dan mengambil keputusan."
----****-----
Malam semakin larut dua insan yang tengah di landa rasa kini hanya memandang bintang-bintang di langit dari jendela kamar rumahnya masing-masing. Gelap dan semakin pekat, dingin semakin menusuk tulang, akhirnya mereka terbang dan terbuai dalam alam mimpinya masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H