"Ya, beginilah resiko naik kendaraan umum." Pemuda itu berkata ramah.
Diam-diam Rey mencuri-curi pandang, memperhatikan pemuda yang kini ada disampingnya, ternyata lumayan juga, tubuhnya tegap, wajah indo, hidung mancung, rambut ikal dan sorot mata yang tajam.
"Turun dimana mba?" Ia kembali menyapa.
"Setiabudi, mas sendiri dimana?" Rey balik bertanya.
"Ternyata tujuan kita sama, oh ya, kenalin namaku Aldi, lengkapnya Aldi  Rasyid." seraya tersenyum, Aldi  mengulurkan tangan penuh persahabatan.
"Aku Rey mas, Rey Narumiya" Rey menjabat tangan lelaki itu.
"Panggil Aldi saja Rey, sepertinya kita masih seumuran, namamu bagus seperti tokoh kartun"
"Hehe.. aku asli Malang Al, mungkin ibuku ketika mengandung, terobsesi dengan tokoh kartun Jepang, sehingga memberiku nama itu." Rey tertawa renyah.
Obrolan pun berlanjut, saling bertukar nomor handphone, mereka tidak perduli tatapan penumpang lain. Rey dan Aldi baru berpisah setelah turun di halte Setiabudi, karena gedung tempat mereka bekerja berbeda.
Itulah awal perkenalan Rey dengan Aldi. Semanjak itu, Rey selalu merasakan ada dorongan semangat, Â jika akan berangkat bekerja, berharap bertemu Aldi di dalam busway. Jika sebelumnya Ia paling benci dengan kemacetan di pagi hari, kini justru dia berharap macet sepanjang jalan, sehingga dia bisa lebih lama berada di dekat Aldi, berbincang apa saja, dari yang ringan sampai yang agak serius. Rey akan merasakan kesepian di dalam bus, jika tidak bertemu Aldi disana. Perasaan aneh, padahal belum lama mereka kenal.
*****