Mohon tunggu...
Riza Hariati
Riza Hariati Mohon Tunggu... Konsultan - Information addict

SAYA GOLPUT!!!! Tulisan yang saya upload akan selalu saya edit ulang atau hapus tergantung mood. Jadi like dan comment at your own risk. You've been warned!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Manajemen Teror terhadap Kematian

13 Agustus 2019   19:01 Diperbarui: 13 Agustus 2019   19:54 1203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang takut mati, setidaknya kebanyakan orang begitu. Sementara kematian itu adalah hal yang pasti datang pada setiap orang. Kapan saja, dimana saja dengan berbagai cara, kita semua pasti mati.

Kalau kita tidak punya cara untuk mengelola rasa takut mati kita, hidup kita akan menjadi tidak karu-karuan. Saat makan, takut tersedak sampai mati. Saat pergi kerja, takut ditabrak mobil sampai mati.

Bahkan tidurpun akan jadi menakutkan, bagaimana kalau sampai tidak bisa bangun lagi? Bagaimana kalau semuanya sudah aman tapi ternyata besok mendadak kiamat? Kita bagaikan diteror oleh kematian.

Makhluk lain, selain manusia, tidak ada yang setakut kita terhadap kematian. Ini karena kita satu-satunya makhluk yang dianugerahi kemampuan untuk berpikir jauh kedepan. Yang meskipun sangat berguna untuk merancang masa depan kita, tapi terkadang menyusahkan saat kita memprediksi sesuatu yang jelek. Seperti kematian

Karenanya muncul Teori Manajemen Teror yang menyatakan bahwa, manusia sepanjang hidupnya akan berusaha memanage atau mengelola teror kematian ini melalui berbagai macam cara, sadar maupun tanpa sadar, agar bisa hidup dengan tenang. Tidak lagi ketakutan. Teori Manajemen Teror (Terror Management Theory) ini pertama kali diperkenalkan oleh Ernest Becker, seorang antropolog peraih Pulitzer 1974, dalam bukunya The Denial of Death.

Teori ini menjelaskan bagaimana  manusia berusaha mengelola rasa takutnya akan kematian melalui berbagai cara. Dalam kehidupan sosial misalnya melalui penegakan hukum, pembentukan budaya, agama atau dengan menggunakan sistem simbol tertentu yang menyebabkan kematian tidak lagi terlalu menakutkan. Misalnya disimbolkan dengan keabadian dengan adanya generasi penerus, negara, dinasti dan sebagainya.

Pendeknya, hampir semua aspek dalam kehidupan manusia, sadar maupun tidak merupakan perwujudan pengelolaan Teror terhadap kematian.

Hukum menjelaskan bagaimana kita membuat kita bisa hidup dengan benar, tidak mengganggu kehidupan orang, bagaimana membangun negara yang kuat dan aman. Sehingga bisa menghindari kematian yang disebabkan oleh musuh, dan bisa diwariskan kepada generasi penerus. 

Agama dan budaya memberikan penjelasan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kematian kita, terutama untuk hal-hal yang tidak bisa dijelaskan secara logika. Misalnya apa yang akan terjadi setelah kematian kita.

Dalam Agama Islam dan Kristiani misalnya kita kelak akan abadi di surga atau neraka. Dalam Agama Hindu dan Budha misalnya, kita kelak akan bereinkarnasi selamanya sampai bisa melepaskan diri dari samsara dan bisa hidup abadi.

Manajemen Teror Kematian juga terwujud dalam bentuk kehidupan sosial kita. Orang Asia yang badannya kecil dan lemah punya kecenderungan untuk berkumpul bersama dalam satu komunitas yang kuat. Karena tanpa sadar mereka merasakan akan lebih mampu mengatasi kematian beramai-ramai.

Bandingkan dengan orang Eropa yang berbadan besar dan lebih mampu mengatasi tantangan alam dan serangan dari luar, sehingga komunitas mereka tidak serapat orang Asia.

Pada level perorangan, mengelola teror kematian ini diwujudkan melalui Manajemen Kepercayaan pada diri sendiri. Orang yang punya kepercayaan diri yang tinggi akan lebih mudah mengendalikan rasa takut akan kematian, yang memang pasti terjadi (Mortality Salience), sedang mereka yang punya rasa percaya diri rendah akan lebih mudah ketakutan.

Kematian tidak selalu diartikan sebagai kematian dirinya, tapi juga kematian simbol-simbol keabadian dirinya. Misalnya kematian generasi penerus, hancurnya lingkungan, atau hancurnya negara.

Peningkatan harga diri bisa dengan menjadi sangat materialistis. Semakin takut pada kematian, orang akan cenderung semakin materialistis.

Misalnya saat melihat berita pembunuhan, perang atau saat melihat kematian orang terdekat. Saat menyadari bahwa hidup ini sementara, orang dengan harga diri rendah tanpa sadar akan melakukan hal-hal yang paling membuat dirinya lebih merasakan hidup. Ada orang yang jadi gila kerja, punya target harus punya rumah, punya mobil, menikah, punya gelar, ini itu.

Semakin takut orang itu akan kematian  semakin terobsesi dia untuk memiliki semua benda yang dianggapnya bisa lebih memperkuat kenyataan bahwa dia hidup. Bahwa kematian tidak akan membuatnya mati, karena melalui benda-benda ini, melalui berbagai gelar dan kekuasaan yang dia punya, hidupnya seolah akan abadi.

Bagi pemeluk Agama atau budaya tertentu, jadi termotivasi untuk melakukan banyak kebajikan, supaya amalnya bisa membantu di akhirat kelak. Keabadiannya diberlangsungkan melalui berbagai sedekah.

Tapi ada juga yang malah main game terus-terusan, lalu jatuh kedalam narkoba, terobsesi pada hal-hal tertentu, agar bisa mengabaikan kenyataan bahwa kematian bisa datang setiap saat.

Manajemen Teror ini menjadi realitas kehidupan kita sehari-hari.

Lalu bagaimana jika Manajemen Teror kita bertemu dengan Manajemen Teror yang berbeda. Misalnya karena agama yang berbeda, hukum yang berbeda, budaya yang berbeda?

Reaksi pertama adalah berusaha mengacuhkannya. Meremehkan mereka yang memiliki manajemen yang berbeda. Misalnya Penganut agama yang taat, yang percaya pada kehidupan setelah kematian saat bertemu dengan Atheis yang mengatakan : tidak ada apa-apa setelah kematian akan menertawakan dan merasa Atheis itu bodoh dan sial.

Karena pengakuan atas kepercayaan yang berbeda, akan mengusik, menggoyahkan kepercayaan pada kebenaran Manajemen Teror kita sendiri. Menggoyahkan perlindungan kita terhadap rasa takut kita yang besar akan kematian.

Tapi jika jumlah mereka atau sikap argumentatif mereka terlalu besar untuk diacuhkan. Argumentasi mereka terlalu tajam untuk diremehkan, hal berikutnya yang muncul adalah kemarahan. Orang marah biasanya karena mulai ragu pada kepercayaannya sendiri. Sehingga tanpa sadar dirinya mulai ketakutan, diteror oleh rasa takut mati yang sudah berhasil dikelolanya dengan baik.

Orang marah karena keberlangsungan hidup mereka jadi terancam dengan keberadaan orang lain dengan Manajemen Teror yang berbeda.

Mereka yang Pancasila, marah setengah mati kepada Komunis dan Khilafah. Mereka tanpa sadar terteror rasa takut, bahwa perlindungan kehidupan, keabadian nilai yang bisa mereka wariskan kepada anak cucu akan goyah. Juga sebaliknya, penganut komunisme atau khilafah merasa takut, bahwa kehidupan mereka menjadi tidak berarti. Kelak saat mati, semuanya akan menjadi sia-sia.

Penganut komunisme, yang merasa kepercayaan mendalam terhadap Agama adalah racun yang akan mengganggu komunitas akan marah pada Pancasila DAN Khilafah. Karena dalam Pancasila ada Ketuhanan Yang Maha Esa. Demikian juga penganut khilafah, yang tidak bisa melihat jalan keselamatan lain selain negara Agama Islam, merasa terteror dengan Komunisme dan Pancasila.

Karena penganut Khilafah tidak sadar bahwa justru keabadian sebagai negara akan segera menghilang dengan Khilafah, karena jelas NTT, Papua dan Maluku akan langsung membebaskan diri dari negara Khilafah. Yang merasa terteror dengan Manajemen Teori Islam.

Pada akhirnya, jika kemarahan ini tidak bisa diselesaikan secara bijaksana. Misalnya jikalau kita memiliki presiden yang terlalu lemah sehingga bersikap sangat otoriter. Membuat orang merasa keberlangsungan Manajemen Teror mereka terganggu. Kemarahan ini meledak menjadi konflik bahkan peperangan.

Pixabay/Conflict
Pixabay/Conflict
Kita ingat diawal penjajahan penjajahan kulit putih diseluruh dunia, mereka akan memaksakan agar pribumi jajahan mereka untuk mengikuti Manajemen Teror mereka sendiri yaitu kristiani. Sehingga mereka mengkristenkan secara agama atau setidaknya secara budaya, negara-negara yang akan mereka kuasai.

Secara budaya hingga kini kita bisa lihat orang yang awalnya telanjang, menutupi dirinya dengan baju dan yang tadinya tidak peduli pada homoseksualitas berbalik menghujat homoseksualitas. 

--

Semakin goyah kepercayaan seseorang atau sekelompok orang pada Manajemen Teror mereka, maka semakin keras mereka menyerang orang lain yang tidak berasal dari golongannya sendiri. Semakin keras usaha mereka merekrut orang lain untuk bergabung dengan diri mereka.

Konflik akan mudah dipertajam saat orang menyaksikan kematian. Karena itulah orang yang ingin memunculkan konflik akan berulang kali memviralkan video tentang pembunuhan dan pembantaian tanpa sensor. 

Pembunuhan manapun tidak masalah. Jika menyerang satu pihak, akan lebih baik. Yang terpenting adalah mempertajam rasa takut akan kematian, sehingga orang semakin berpegang teguh, jadi luar biasa fanatik dengan Manajemen Teror mereka masing masing.

Mereka yang Manajemen Terornya materialistis akan berusaha meraup sebanyak mungkin uang, halal maupun tidak dan berlomba-lomba membelanjakannnya. Jangan lupa, tanpa sadar penganut Manajemen Teror Materialistis adalah yang terbanyak.

Mereka yang Manajemen Terornya Khilafah, Pancasila, Komunisme, atau bahkan Penyembah Alien, akan semakin fanatik dan berusaha memperluas pengaruhnya.

Mereka yang percaya pada simbol keabadian lewat penyelamatan lingkungan misalnya, akan jadi sangat membenci orang-orang yang dianggap akan mempercepat bumi ini kiamat. Itulah para aktivis Climate Change sangat membenci Donald Trump dan pengikutnya.

Jika semua fanatik ini diadu, maka orang-orang yang memunculkan konflik ini lah yang akan mendapat keuntungan. Sikap materialistis akan membuat bisnis booming, Perang terbuka akan membuat penjual senjata kaya raya, pertempuran antar penduduk akan membuat harga tanah jatuh dan tinggal diraup seperti kacang goreng.

Semua akan mendapat untung KECUALI korban dari konflik itu sendiri : Rakyat yang tidak mampu meredam konflik akibat Manajemen Teror yang berbeda.

--

Jadi apa yang bisa dilakukan untuk menghindari konflik antar Manajemen Teror yang berbeda? 

Satu hal yang diusulkan lewat banyak penelitian adalah dengan peningkatan rasa percaya diri. Baik secara individu maupun secara kelompok. Mereka yang punya rasa percaya diri yang tinggi tidak akan mudah terganggu terhadap mereka yang punya manajemen teror yang berbeda.

Selain itu ada perlindungan yang jelas, sehingga bisa dipastikan tiap-tiap orang memiliki kesempatan yang setara untuk survive dan hidup dengan terhormat dengan Manajemen Teror mereka masing.

Survival berarti ada kehidupan yang baik untuk mereka beserta seluruh generasi penerus mereka. Kehormatan yang berarti meningkatkan harga diri orang.Tiap-tiap orang aman dari gangguan mereka yang berbeda.

Juga dengan pembatasan paparan pembunuhan vulgar di berbagai games, film, media dan sosial media. Sehingga timbul rasa aman dari kematian.

Solusi ini tidak disukai orang yang ingin meraup keuntungan sebesar-besarnya dalam jangka waktu pendek. Tapi dalam jangka waktu panjang, akan sangat merugikan. Karena kehancuran berarti tidak ada yang bisa diwariskan kepada anak cucu, yang berarti kematian abadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun