Manajemen Teror Kematian juga terwujud dalam bentuk kehidupan sosial kita. Orang Asia yang badannya kecil dan lemah punya kecenderungan untuk berkumpul bersama dalam satu komunitas yang kuat. Karena tanpa sadar mereka merasakan akan lebih mampu mengatasi kematian beramai-ramai.
Bandingkan dengan orang Eropa yang berbadan besar dan lebih mampu mengatasi tantangan alam dan serangan dari luar, sehingga komunitas mereka tidak serapat orang Asia.
Pada level perorangan, mengelola teror kematian ini diwujudkan melalui Manajemen Kepercayaan pada diri sendiri. Orang yang punya kepercayaan diri yang tinggi akan lebih mudah mengendalikan rasa takut akan kematian, yang memang pasti terjadi (Mortality Salience), sedang mereka yang punya rasa percaya diri rendah akan lebih mudah ketakutan.
Kematian tidak selalu diartikan sebagai kematian dirinya, tapi juga kematian simbol-simbol keabadian dirinya. Misalnya kematian generasi penerus, hancurnya lingkungan, atau hancurnya negara.
Peningkatan harga diri bisa dengan menjadi sangat materialistis. Semakin takut pada kematian, orang akan cenderung semakin materialistis.
Misalnya saat melihat berita pembunuhan, perang atau saat melihat kematian orang terdekat. Saat menyadari bahwa hidup ini sementara, orang dengan harga diri rendah tanpa sadar akan melakukan hal-hal yang paling membuat dirinya lebih merasakan hidup. Ada orang yang jadi gila kerja, punya target harus punya rumah, punya mobil, menikah, punya gelar, ini itu.
Semakin takut orang itu akan kematian  semakin terobsesi dia untuk memiliki semua benda yang dianggapnya bisa lebih memperkuat kenyataan bahwa dia hidup. Bahwa kematian tidak akan membuatnya mati, karena melalui benda-benda ini, melalui berbagai gelar dan kekuasaan yang dia punya, hidupnya seolah akan abadi.
Bagi pemeluk Agama atau budaya tertentu, jadi termotivasi untuk melakukan banyak kebajikan, supaya amalnya bisa membantu di akhirat kelak. Keabadiannya diberlangsungkan melalui berbagai sedekah.
Tapi ada juga yang malah main game terus-terusan, lalu jatuh kedalam narkoba, terobsesi pada hal-hal tertentu, agar bisa mengabaikan kenyataan bahwa kematian bisa datang setiap saat.
Manajemen Teror ini menjadi realitas kehidupan kita sehari-hari.
Lalu bagaimana jika Manajemen Teror kita bertemu dengan Manajemen Teror yang berbeda. Misalnya karena agama yang berbeda, hukum yang berbeda, budaya yang berbeda?