Bukan hanya para pengawalnya saja yang terkejut, si Yahudi tua sendiri bukan alang kepalang herannya. Ditanyanya Amr, "Wahai Gubernur, ada apa dengan tulang yang kubawa itu?"
"Wahai Yahudi, ketahuilah, dengan tulang ini, sahabatku Umar Penguasa Madinah mengingatkanku. Kelak aku akan mati dan menjadi seonggok tulang juga. Sedangkan dengan torehan garis lurus, sahabatku itu mengharapkan, agar di sisa hidup ini, aku berlaku lurus dan menjadi pemimpin yang adil. Namun, apabila aku tidak lurus, maka sahabatku itu akan mendatangiku dan memenggal kepalaku, hanya demi menjaga agar sisa hidupku tak sempat bengkok. Itulah makna dari torehan garis yang melintang ini, wahai Yahudi."
Mendengar penjelasan Amr, si Yahudi tua tak kuasa menahan haru. Hanya demi membela dirinya yang kecil tak dikenal dan sama sekali tak memiliki arti, Umar sang Pemimpin Tertinggi bermaksud datang untuk memancung kepala sahabatnya sendiri, Amr ibn Ash. Dalam genangan air mata, si Yahudi tua akhirnya berbalik merelakan gubuknya dan mengizinkan Gubernur Amr membangun Masjid Raya Fushath diatas bekas sepetak tanahnya.
Â
Dalam mengambil keputusan, Umar tidak membedakan sejawat, bangsa, agama, bahasa, ataupun kedudukan. Yang lemah tidak ditindas dan yang kuat tidak kehilangan haknya. Yang miskin tak dipinggirkan dan yang kaya tak diperas. Dimasanya, kebhinekaan menjadikan masyarakatnya harmonis. Dan keadilannya menjadikan negaranya humanis. Umar ibn Khatab Ra, tidak ada sepasang mata yang tidak meneteskan airnya ketika namanya diperbincangkan oleh orang-orang yang mencintainya bahkan, sampai detik ini.
¤
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H