Dulu mungkin nenek moyang kita tidak perlu malu untuk merangkaikan puisi untuk pujaan hatinya dengan kata-kata yang mendakik-dakik, romantis meski tidak menggunakan kaidah sastra yang melangit-langit dan tentu saja menjadi picisan. Namun keunggulan orang dahulu adalah mereka tidak memaknai segala sesuatu secara kuantitatif, misal “aku rela mati untukmu” kalimat ini tentu saja gombal bagi manusia modern yang biasa berfikir kuantitatif, bahwa satu ya satu, namun jika dipahami dengan sedikit agak sabar kita menjumpai kebenaran dalam kalimat tersebut, yaitu kebenaran kualitatif, makna harfiah bisa saja salah sama sekali, namun ekspresi yang terkandung itu benar. Hal semacam ini sudah tidak hidup pada bahasa pergaulan kontemporer, kita menganggap ekspresi cinta itu cengeng. Sesungguhnya kecengengan itu ada karena malasnya berfikir dan memahami. Tuhan pun mengajari manusia untuk memahami kebenaran kualitatif tersebut, contoh Tuhan (dalam Islam) selalu memetaforkan jika kita melakukan ibadah tertentu itu lebih baik dari ibadah konvensional seribu kali. Bukan berarti kita tidak perlu melakukan kebaikan atau ibadah seribu kali setelahnya kan? Ini perlu pemahaman kualitatif. Misal juga Nabi pernah berujar, tidurnya orang berilmu lebih baik dari sholatnya orang bodoh? Lalu kalo sudah merasa berilmu apa lantas kita tidur saja? Atau kita anggap saja Tuhan itu gombal, sebab kita mungkin terlalu rasional, canggih dan modern untuk memahami kalimat yang sederhana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H