Mohon tunggu...
Riza AntikaPutri
Riza AntikaPutri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pendidikan Sosiologi-Antropologi

UNS

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Problematika Lonjakan Angka Perkawinan Anak di Masa Pandemi

1 November 2021   09:00 Diperbarui: 1 November 2021   09:13 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aspek pendidikan dan pengembangan diri juga menjadi terhambat yang dijelaskan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Pasal 26 tertuang bahwa "orangtua berkewajiban dan bertanggung jawab atas terjadinya perkawinan pada usia anak", namun saja masih banyak orangtua yang tidak peduli dengan ini. Orang tua yang sibuk dengan pekerjaan serta kurang tegas terhadap pendidikan anaknya. Pernikahan dini bisa memengaruhi kesehatan mental. 

Mulai dari emosi yang tidak terkontrol, tidak bisa mengurus diri sendiri, masalah keuangan dalam keluarga, dan lainnya. Juga anak enggan berinteraksi dengan masyarakat sekitar karena merasa tidak nyaman dan malu.  Tekanan-tekanan ini akan menyebabkan stres, depresi, bahkan bunuh diri.

Dampak tersebut tidak hanya dirasakan oleh pasangan menikah, namun juga bayi yang dilahirkan rawan terjadi gangguan down syndrome. Perkawinan anak menambah risiko kematian ibu dan bayi saat proses melahirkan. Panggul ibu yang sempit karena belum berkembang dengan baik menjadi salah satu faktor kematian pada ibu dan calon bayi. Sedangkan gangguan pada kesehatan, misalnya bayi terlahir prematur atau memiliki berat badan lahir rendah. Juga tulang belakang bayi yang gagal berkembang, terbentuk celah atau defek pada tulang belakang dan saraf tulang belakang (spina bifida).

Pengaruh perkawinan dini juga berdampak bagi masing-masing keluarga, apabila perkawinan di antara anak-anak mereka lancar, sudah barang tentu akan menguntungkan orang tuanya masing-masing. Namun apabila sebaliknya keadaan rumah tangga mereka tidak harmonis dan akhirnya akan terjadi perceraian. Hal ini akan menyebabkan bertambahnya biaya hidup mereka dan parahnya lagi akan memutuskan tali kekeluargaan diantara kedua belah pihak.

Atas kejadian ini, perlu dibentuk pola kesadaran akan pentingnya edukasi kepada para orangtua agar kejadian ini tidak terulang lagi. Orang tua harus memahami dan mempertimbangkan agar tidak menikahkan anaknya diusia dini sebagaimana diatur dalam UU nomor 23 Tahun 2002 bahwa "orang tua wajib dan bertanggungjawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak, menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya dan mencegah terjadinya perkawinan  pada usia anak-anak." Orang tua menjadi faktor terbesar dalam pengajuan dispensasi nikah akibat perkawinan dini.

Penurunan perkawinan anak merupakan salah satu target yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 -- 2024. Dalam rencana tersebut, Pemerintah berencana menurunkan kebiasaan pernikahan anak saat ini dari 11,2% (2018) menjadi 8,74% pada 2024. Pemerintah juga menargetkan untuk menurunkannya menjadi 6,94% pada tahun 2030 dalam upaya berkontribusi pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak di Indonesia disusun oleh perwakilan dari instansi pemerintah, LSM, mitra pembangunan, kelompok agama, akademisi, dan kelompok pemuda. Penyusunan strategi nasional ini secara teknis didukung oleh UNFPA, UNICEF, DFAT, dan Pemerintah Kanada.

Strategi tersebut memiliki lima dimensi. Dimensi pertama adalah optimalisasi kapasitas diri anak agar memiliki ketahanan dan mampu berperan sebagai agen perubahan. Kedua, lingkungan yang kondusif untuk mencegah perkawinan anak. Ketiga, meningkatkan ketercapaian dan perluasan layanan. Dimensi keempat adalah penguatan regulasi dan kapasitas kelembagaan. Dimensi kelima adalah penguatan koordinasi dan sinergi antar pemangku kepentingan yang berbeda untuk menangani perkawinan anak.

Meskipun generasi muda mewakili kelompok yang akan berperan dalam mengatasi konsekuensi ekonomi dan sosial jangka panjang dari pandemi, kebutuhan mereka sejauh ini belum diprioritaskan dan bahkan diakui dalam program. Sangat penting bahwa upaya program mendesak dilakukan untuk memperbaiki efek buruk pada generasi muda, termasuk upaya untuk menghentikan lonjakan perkawinan anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun