Pernikahan dini merupakan pernikahan yang dilakukan oleh pasangan sebelum mencapai usia 18 tahun. Melalui peraturan undang-undang di Indonesia, batas minimal usia untuk menikah yaitu 19 tahun, baik laki-laki maupun perempuan. Perkawinan anak didefinisikan  pelanggaran mendasar terhadap hak asasi anak, atas pendidikan, kesehatan, penghasilan, keselamatan, kemampuan dan juga membatasi status dan peran anak dalam hal kesehatannya sendiri, untuk hamil dan juga melahirkan.
Terbaru, beberapa pelajar dan guru di SMP Negeri 01 Namrole melakukan demonstrasi lantaran teman mereka, Nisa Karate dipaksa menikah padahal usianya baru 15 tahun dengan seorang Ustadz dari salah satu Pondok Pesantren Tangerang Selatan.
Di masa pandemi yang belum usai, terjadi lonjakan perkawinan anak di Indonesia. Angka perkawinan anak diprediksi akan terus meningkat hingga akhir dekade ini. Hal ini sangat berdampak buruk bagi lingkungan sosial, khususnya wanita, di mana rentan terjadi masalah kesehatan reproduksi.
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya perkawinan anak.Â
Pertama, masalah ekonomi yang rendah dan kemiskinan menjadikan orang tua tidak mampu mencukupi kebutuhan anaknya dan tidak mampu membiayai sekolah sehingga mereka memutuskan untuk menikahkan anaknya dengan harapan sudah lepas tanggung jawab untuk membiayai kehidupan anaknya ataupun dengan harapan anaknya bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Â
Kedua, kehamilan di luar nikah merupakan ketakutan orang tua terhadap putrinya dan yang mendorong anaknya untuk menikah diusia yang masih belia. Kehamilan di luar nikah biasanya terjadi karena pergaulan yang bebas serta kurangnya perhatian orang tua.Â
Ketiga, sosial-budaya atau adat istiadat yang diyakini masyarakat tertentu semakin menambah pencapaian perkawinan anak di Indonesia, misalnya keyakinan bahwa tidak boleh menolak pinangan seseorang pada putrinya walaupun masih dibawah usia 18 tahun terkadang dianggap tidak menghargai dan menghina ,menyebabkan orang tua lebih memilih untuk menikahkan putrinya.
Pandemi Covid-19 telah memperburuk situasi genting bagi jutaan perempuan muda. Sekolah-sekolah yang sedang ditutup, isolasi dari teman-teman dan orang pendukung, serta meningkatnya kemiskinan. Hari Perempuan Internasional berfungsi sebagai pengingat waktu tentang apa yang akan hilang dari para wanita muda, jika kita tidak bertindak cepat terhadap pendidikan, kesehatan, dan masa depan kita. Peringatan ini dilaksanakan untuk mengupayakan hak-hak atas anak perempuan, termasuk pelanggaran hak anak untuk tumbuh dan berkembang dengan baik diusia dini.
Kebijakan terhadap penutupan sekolah hingga diterapkan sistem pembelajaran Dalam Jaringan (Daring) juga menjadi salah satu pemicu maraknya perkawinan anak.
Pergaulan bebas merupakan penyebab kasus kehamilan anak yang berujung perkawinan dini. Di mana anak laki-laki maupun anak perempuan yang belum siap mentalnya sudah harus terikat tali pernikahan. Pernikahan anak yang terjadi ditengah-tengah masyarakat memberikan banyak dampak negatif, baik untuk anak laki-laki maupun untuk anak perempuan.
Nikah muda, pasangan biasanya belum siap menjalani kehidupan berumahtangga. Akibatnya, angka perceraian pada pasangan nikah muda sangat meningkat, hal tersebut karena konflik yang terus-menerus muncul, dan mereka tidak tahu solusi yang tepat untuk menyelesaikannya. Selain itu, masalah mental atau belum matangnya cara pikir anak juga memperparah keadaan. Masalah tersebut bahkan dapat memicu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Aspek pendidikan dan pengembangan diri juga menjadi terhambat yang dijelaskan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Pasal 26 tertuang bahwa "orangtua berkewajiban dan bertanggung jawab atas terjadinya perkawinan pada usia anak", namun saja masih banyak orangtua yang tidak peduli dengan ini. Orang tua yang sibuk dengan pekerjaan serta kurang tegas terhadap pendidikan anaknya. Pernikahan dini bisa memengaruhi kesehatan mental.Â
Mulai dari emosi yang tidak terkontrol, tidak bisa mengurus diri sendiri, masalah keuangan dalam keluarga, dan lainnya. Juga anak enggan berinteraksi dengan masyarakat sekitar karena merasa tidak nyaman dan malu. Â Tekanan-tekanan ini akan menyebabkan stres, depresi, bahkan bunuh diri.
Dampak tersebut tidak hanya dirasakan oleh pasangan menikah, namun juga bayi yang dilahirkan rawan terjadi gangguan down syndrome. Perkawinan anak menambah risiko kematian ibu dan bayi saat proses melahirkan. Panggul ibu yang sempit karena belum berkembang dengan baik menjadi salah satu faktor kematian pada ibu dan calon bayi. Sedangkan gangguan pada kesehatan, misalnya bayi terlahir prematur atau memiliki berat badan lahir rendah. Juga tulang belakang bayi yang gagal berkembang, terbentuk celah atau defek pada tulang belakang dan saraf tulang belakang (spina bifida).
Pengaruh perkawinan dini juga berdampak bagi masing-masing keluarga, apabila perkawinan di antara anak-anak mereka lancar, sudah barang tentu akan menguntungkan orang tuanya masing-masing. Namun apabila sebaliknya keadaan rumah tangga mereka tidak harmonis dan akhirnya akan terjadi perceraian. Hal ini akan menyebabkan bertambahnya biaya hidup mereka dan parahnya lagi akan memutuskan tali kekeluargaan diantara kedua belah pihak.
Atas kejadian ini, perlu dibentuk pola kesadaran akan pentingnya edukasi kepada para orangtua agar kejadian ini tidak terulang lagi. Orang tua harus memahami dan mempertimbangkan agar tidak menikahkan anaknya diusia dini sebagaimana diatur dalam UU nomor 23 Tahun 2002 bahwa "orang tua wajib dan bertanggungjawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak, menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya dan mencegah terjadinya perkawinan  pada usia anak-anak." Orang tua menjadi faktor terbesar dalam pengajuan dispensasi nikah akibat perkawinan dini.
Penurunan perkawinan anak merupakan salah satu target yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 -- 2024. Dalam rencana tersebut, Pemerintah berencana menurunkan kebiasaan pernikahan anak saat ini dari 11,2% (2018) menjadi 8,74% pada 2024. Pemerintah juga menargetkan untuk menurunkannya menjadi 6,94% pada tahun 2030 dalam upaya berkontribusi pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak di Indonesia disusun oleh perwakilan dari instansi pemerintah, LSM, mitra pembangunan, kelompok agama, akademisi, dan kelompok pemuda. Penyusunan strategi nasional ini secara teknis didukung oleh UNFPA, UNICEF, DFAT, dan Pemerintah Kanada.
Strategi tersebut memiliki lima dimensi. Dimensi pertama adalah optimalisasi kapasitas diri anak agar memiliki ketahanan dan mampu berperan sebagai agen perubahan. Kedua, lingkungan yang kondusif untuk mencegah perkawinan anak. Ketiga, meningkatkan ketercapaian dan perluasan layanan. Dimensi keempat adalah penguatan regulasi dan kapasitas kelembagaan. Dimensi kelima adalah penguatan koordinasi dan sinergi antar pemangku kepentingan yang berbeda untuk menangani perkawinan anak.
Meskipun generasi muda mewakili kelompok yang akan berperan dalam mengatasi konsekuensi ekonomi dan sosial jangka panjang dari pandemi, kebutuhan mereka sejauh ini belum diprioritaskan dan bahkan diakui dalam program. Sangat penting bahwa upaya program mendesak dilakukan untuk memperbaiki efek buruk pada generasi muda, termasuk upaya untuk menghentikan lonjakan perkawinan anak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H