Mohon tunggu...
Riza Almanfaluthi
Riza Almanfaluthi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

hamba Allah, abdi negara, penulis, blogger, rizaalmanfaluthi.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Madzi dan Koruptor

25 Februari 2012   18:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   09:18 838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ngetwit di Twitter bisa berpahala dan bisa juga dosa. Apalagi kalau ngetwitnya itu dilakukan oleh orang yang punya follower ribuan. Bisa berpahala jama’ah bahkan sebaliknya, dosa jama’ah pula.

Berpahala karena ini menginspirasi banyak pengikutnya untuk sadar dan melakukan kebaikan. Bukankah Kanjeng Nabi pernah bilang untuk orang yang menunjukkan kebaikan maka pahalanya sama dengan yang melakukan kebaikan itu sendiri.

Akan berdosa jika kicauan itu menginspirasi orang untuk berbuat keburukan atau menempatkan prasangka-prasangka yang belum pasti kebenarannya di hati dan pikiran masing-masing. Kalau sudah tersimpan dalam memori susah untuk dihilangkannya. Maka nilai dalam Islam sudah membuat sebuah rambu kalau dzan (sangkaan) itu kebanyakan adalah dosa.

Salah satunya bahas mani dan madzi panjang lebar di Twitter oleh @syukronamin yang JIL ini memang keterlaluan. Sampai akhirnya berkicau begini:

Kamu lagi berduaan dg pacar, keluar madzi? Jangan panik. Cukup basuh madzi tsb. Jadi tetep bisa shalat jamaah berdua kan?
Jadi buat yg pacaran misalnya. Waktu lagi puasa, gara2 horny keluarlah madzi. Maka puasanya tdk batal. Jelas kan?

Ya beginilah kalau orang-orang JIL punya pikiran. Karena dalam otak mereka adalah sebuah kewajaran sebuah energi kesalehan bercampur dengan energi kemaksiatan sekaligus. Ulil pintar mengaderisasi generasi penerusnya.
Belum lagi ghibah dan fitnahnya terhadap para ustadz dan keluarganya. Kepada Ustadz Yusuf Mansur yang dituduh sebagai ustadz matre, Anis Matta sebagai koruptor di Banggar, dan Salim Seggaf dan istrinya yang suka minta suap. Sama FPI? Apalagi.

Tahu sendiri bukan kalau bicara suatu aib, bila benar jatuhnya kepada ghibah bila salah jatuhnya fitnah. Salut kepada Ustadz Yusuf Mansur mengomentari lulusan Universitas Yaman itu dengan: “semoga makin tawadhu', banyak baik sangkanya, dan lebih banyak doanya.”
Nah, yang lebih seru lagi adalah saat @Gus_Sholah mengomentari pemberitaan Koran Tempo yang berjudul: Dhana, Kakak Kelas Gayus. Gus Sholah ngetwit begini: “Bg mrk, korupsi mgk adl cita2 sjk kuliah. Saya tahu dari retweet mbak @Listya_rien yang menanggapi Gus Sholah: “Statement anda menyakiti byk org gus..”

Terus terang yang tampak banget Gus Sholah sebut “mereka” itu bukan Dhana ataupun Gayus tetapi almamaternya. Apa? Sebut saja STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara). Ya sudah saya ikut komentari pernyataan beliau. Inilah egalitarianisme dunia maya. Seseorang yang sudah buka akun Twitter siap-siap untuk diuji argumentasi atas setiap pernyataan yang dibangunnya oleh siapapun ia. Dan itu harus diterima. Jika tak sudi, tutup saja akunnya.  Pindah ke Mount Everest. Sepi dan aman cuma berteman dengan Yeti.

Gus, perkenalkan saya Riza kakak kelas Gayus dan adik kelas Dhana. Yang pasti jadi koruptor bukan cita-cita saya. Saya juga orang yang banyak dosa, tapi ingin jadi lebih baik. Dan jadi koruptor sekali lagi bukan sebuah cita. Pesantren dan universitas terkenal seperti UI bisa juga kita tanyakan kepada para alumni atau mahasiswanya: koruptor jadi cita-cita? Karena ada juga para koruptor itu punya latar belakang pendidikan dari pesantren dan UI. Tentu tak elok saya generalisir kepada dua institusi itu bahwa santri dan mahasiswanya punya cita-cita sebagai koruptor. Itu saja Gus. Maaf mengganggu siangnya.

Gus Sholah membalasnya. Tentang cita-cita saya tidak menjadi koruptor, beliau bilang,  “Pasti dan syukur.” Tentang almamater beliau bilang, “dari pesantren dan ITB almamater saya tentu ada juga koruptor.”  Tentang pernyataan @Listya_rien, Gus Sholah bilang: “tak bermaksud menyakiti.” Tentang Dhana dan Gayus, beliau bilang: “2 orang itu oknum, tdk mewakili yg lain.”

Tentang oknum saya juga bisa bilang: “Maafkan saya Gus. Kalau Gayus saya bisa katakan oknum. Tapi untuk Dhana saya tak bisa katakan oknum, selagi saya tahunya dari koran dan selama Pak Hakim belum memutuskan bersalah. Saya hormati asas praduga tak bersalah, tak semata dia dari instansi yang sama, tapi siapapun ia.”

Ya, hanya ini yang bisa saya lakukan. Selagi jari bisa mengetik, selagi mata bisa melihat, selagi telinga masih bisa mendengar, selagi mulut masih bisa bicara. Kita semua, apapun almamaternya, Insya Allah tak punya cita-cita untuk jadi seorang koruptor sewaktu dilantik jadi sarjana.  Karena kita sepakat kalau korupsi itu harus dihilangkan seperti madzi yang najis itu. Kalau enggak, sholatnya batal, tidak sah. Sholat tapi masih korupsi, sholatnya jadi tanpa makna.

Semoga kita, termasuk saya yang masih belajar untuk jadi bersih dan dijauhi dari dosa ini, dilindungi oleh Allah swt. Amin.
***

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
00.37 26 Februari 2012.
Lain kali kita bahas tentang generalisasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun