Kalau yang namanya teman beneran, maka seharusnya kalau dia datang bertamu ya kudu disambut dengan gembira dan senang hati. Dijamu layaknya presiden kalau datang ke rumah kita. Tapi realitanya enggak sama sekali. Dia dibiarkan berkelana sendiri di kota Depok. Karena acara dan waktu yang tidak memungkinkan, juga sejuta tanya yang terlontar dari pemegang otoritas tertinggi keuangan rumah, Â maka yang terjadi saya benar-benar berasa jadi bukan teman yang sebenarnya buat teman saya itu. Padahal, bukankah teman itu ibarat harta?
Saya minta maaf yang sebesar-besarnya. Enggak tahu dah dia mau memaafkan saya enggak. Yang pasti siang ini berasa pula kalau saya jadi orang tak berguna. Pun, sebelum acara sore memanggil-manggil saya kembali, di sedikit waktu yang tersedia, saya mau bicara tentang kata yang sudah disebut di atas: keuangan. Kata ini berkaitan pula dengan harta yang dimiliki. So, kalau sudah bicara masalah harta biasanya begini: enggak mau gembar-gemborin seberapa harta yang dimiliki. Kebanyakan diam, sunyi. Terkecuali Bang Madit yang doyan pamer. Makanya pertanyaan paling sensitif buat para pria adalah "berapa besar gaji ente?"
Eh, diamnya kita itu bisa bahaya kalau KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang ikut campur. Sanksi dan penjara ganjarannya. Enggak bisa ente diam bae kalau ditanya: berapa gaji ente? Darimana ente dapetin entu mobil, entu rumah, entu hp, entu ipad, entu saham, entu sawah, entu minimarket, entu batangan emas? Kudu punya jawabannya. Kalau tidak bisa jawab ya siap-siap saja dicurigai.
Terutama bagi orang yang kerja di kantor pajak terutama Penelaah Keberatan seperti saya ini. Sebelum kasus Gayus mencuat, pegawai di Direktorat Jenderal Pajak yang wajib lapor harta kekayaannya hanya Eselon I, Eselon II, Kepala Kantor Pelayanan, Fungsional Pemeriksa Pajak, Pejabat Pembuat Komitmen, dan Bendaharawan.
Nah sejak Akhir Januari 2011 ditambah tuh yang wajib lapor yaitu semua Eselon III, Eselon IV, Account Representative, Penelaah Keberatan, Fungsional Penilai Pajak Bumi dan Bangunan, dan Juru Sita Pajak.
Apa yang perlu dilaporkan sih? Penghasilan bulanan. Pengeluaran setahun. Juga semua harta yang dimiliki mulai dari sendok karatan, sendok emas dan perak, hingga saham dan harta karun yang disimpan di Cayman Island. Jangan lupa dengan berapa banyaknya jumlah anggota keluarga, jumlah istri-kalau suami cukup satu-dan anak. Dengan identitas lengkap mereka tentunya. Pun dengan jumlah rupiah untuk ngutangin teman atau utang yang berceceran di warteg-warteg, mertua, engkong, koperasi, dan bank. Belum lagi sama Bang Samin, petugas bank keliling.
Dilaporkan melalui apa? Dengan formulir LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara). Mengisinya, swear dah, gampang beud. Cuma ngumpulin datanya ini yang susah. Saya saja yang cuma pegawai rendahan ini, yang hartanya juga bisa keitung dah, yang berangkat kerja saat gelap dan pulangnya juga gelap tapi belum kaya-kaya juga, yang kerja hanya untuk mencari sesuap nasi dan segenggam berlian-nasinya lebih dari sesuap didapat, yang berliannya nih, seperdelapan butir saja belum juga kepegang-berasa ribet sekali.
Enggak bisa ngebayangin tuh pejabat negara kayak Yusuf Kalla, Aburizal Bakrie, dan lain-lain yang punya harta puluhan miliar. Ribet? Enggak juga. Mereka tinggal sewa orang saja atau beri tugas sama anak buah untuk ngisiin LHKPN. Beres dah. Berasa ribet, karena saya ngisi dan ngurus sendiri. Mondar-mandir ke bank hanya untuk cetak buku tabungan dari yang sudah bulukan sampai yang masih kinclong sampulnya, minta sana-sini perjanjian kredit, statement info, dan saldo utang terakhir. Piutang? Sudah dari dulu direlain. Bayar syukur. Enggak bayar tonjok. J Paradoks.
Mengisinya saja lama. Dicicil. Ngerjain seriusnya sebentar, istirahatnya lama. Mikir lagi. Sudah fresh, ngerjain lagi. Begitu tuh ngisi LHKPN. Kalau enggak begitu, enggak tahu dah saya, jidat sudah banyak lipetan tambah lagi lipetannya.
Itu baru di dunia. Kalau di akhirat sono, tambah ribet lagi. Karena nanyanya lebih detil. Dari mana harta yang diperoleh dan buat apa. Maka pantas kalau orang sholeh yang kaya lebih lama masuk surganya daripada orang sholeh yang miskin. Yang pertama diperiksa harta dan amalnya, sedangkan yang terakhir amalnya saja.
Verifikasi dilakukan  di padang mahsyar. Di bawah matahari yang cuma beberapa inchi di atas ubun-ubun. Verifikasi itu orang per orang, satu demi satu, bukan sampling, di hadapan milyaran manusia. Bayangin tuh lama enggak. Dengan mulut terkunci pula. Anggota tubuh yang lain jadi saksi. Kaki, tangan, mata, telinga, hidung, dan lain-lain. Verifikatornya antisogok, antikolusi, anti nepotisme.
Nah, di sini, di dunia, yang memverifikasi manusia. Fitrahnya masih doyan duit. Bukan malaikat. Verifikasi pun dilakukan di ruangan ber-AC. Kalau ada yang keliru atau belum dilaporkan masih punya kesempatan untuk mengklarifikasi. Mulut juga masih terbuka. Bisa bicara dan nggedabrus apa saja. Anggota tubuh yang lain masih dibawah kendali mulut dan nafsu yang memerintahkan semua anggota tubuh untuk diam tak melawan. Tuhan saja masih bisa dibohongi apalagi cuma KPK.
Walaupun cuma KPK tapi itu bikin gentar, makanya gedubrakan mempersiapkan LHKPN. Seharusnya lebih mempersiapkan diri dengan pertanggungjawaban yang pasti akan datang di hari akhir itu karena yang memverifikasi lebih dahsyat dan mengerikan daripada KPK.
Jika dari hasil verifikasi atas Laporan Harta Kandidat Penghuni Nirwana itu ternyata sudah benar serta amal baik lainnya lebih berat timbangannya daripada amal buruk maka bersiaplah menerima dari depan buku catatan amal dengan tangan kanan. Jika tidak, maka akan dilempar kepada kita buku tersebut dari belakang atau dari kiri.
Merinding. Dan hari ini tiba-tiba saya teringat dengan doa ini: Allahummarzuqna rizqan halalan, katsiran, thayyiban, mudha'afan, mubarakah. Ya Allah berilah kepada kami rizki yang halal, banyak, baik, berlipat-lipat, dan berkah. Salah satu rizki yang baik juga adalah kalau kita dapat teman yang baik. Sudah?
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
19 Juni 2011
Thanks to Mbak Dewi Damayanti yang telah menyumbangkan
kalimat bagus ini: "bukankah teman itu ibarat harta?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H